Saturday, February 2, 2013

Ketika Pemerintah Mandul, Kolektivitas Bertindak


*Aksi Kolektif Perbaikan Fasilitas Sepeda di Yogyakarta

RUANG-ruang publik, termasuk jalan raya merupakan elemen yang wajib diperhatikan oleh semua orang. Sebagai kota pelajar dan budaya, dalam hal ini Yogyakarta memiliki keunggulan tersendiri. Pada ruas-ruas jalannya memiliki lajur dan ruang tunggu yang memberi kemudahan bagi pesepeda. Kendati demikian, sebuah fasilitas pastilah membutuhkan perawatan dan peremajaan. Saat ini banyak ditemukan fasilitas sepeda yang terbengkalai dan sudah tidak layak. Bahkan tak sedikit pula yang dengan kesengajaan tidak dibuat lagi, bahkan terkesan dibiarkan hilang oleh Pemerintahan Kota Yogyakarta. 




Terbengkalainya fasilitas pesepeda di jalan ini kemudian direspon oleh masyarakat Yogyakarta yang peduli untuk meremajakan kembali ruang-ruang tunggu sepeda, dan beberapa lajur sepeda secara swadaya. Menurut Yoan Vallone, seorang pegiat sepeda Yogyakarta, secara umum aksi ini ditujukan sebagai advokasi publik mengenai keberdayaan masyarakat dalam menyikapi lemahnya peran pemerintah, terutama dalam menyelesaikan persoalan ruang di Yogyakarta. 


Selamat Malam Har!


Pada Jumat (1/2) dini hari para Pesepeda dan Praktisi Street Art kembali melakukan aksi dengan membenahi ruang-ruang tunggu sepeda yang terbengkalai di depan Hotel Melia Purosani, Jln Suryatmajan. Sebelumnya, sejak Senin (28/1) dini hari lalu, aksi serupa juga sudah dilakukan di beberapa tempat, di antaranya di Gondomanan, Perempatan Galeria, Perempatan Tugu, Perempatan Gramedia Kota Baru, Perempatan Tamansari dan beberapa titik lainnya. 





Digie Sigit dari perwakilan praktisi street art mengatakan bahwa ketika pemerintah itu mandul, masyarakat perlu ambil sikap. Ia dan rekan-rekannya meyakini bahwa keberdayaan masyarakat Yogyakarta itu adalah wujud nyata dari masyarakat yang Istimewa. “Melalui perbaikan fasilitas ini kami ingin sampaikan bahwa dengan, atau tanpa peran pemerintah, masyarakat tetap berdaya, baik itu secara material maupun secara moral,” ucapnya.

Bersama rekan kolektifnya, Sigit menegaskan bahwa bagaimana pun pemerintah harus kembali belajar menghargai, dan menghormati supermasi publik. Hal ini juga agar kearifan lokal sebagai dasar pengambilan kebijakan dapat kembali mewujud. “Ini juga untuk menyelamatkan kota Yogyakarta dari ketimpangan dan kekacauan budaya, hingga nantinya nilai estetika kota ini tidak lagi terhenti hanya pada wilayah kemasan saja,” ujar seniman street art yang juga bermain musik underground bersama Teknoshit ini. (*)

Bersepeda di Yogyakarta itu... SESUATUH!

mejeng di depan jurusan kampus orang


BACA JUGA: 



No comments:

Post a Comment

Featured