*Cuma
sebuah catatan, siapa tahu bisa jadi rujukan sejarah
TREN dan gaya anak muda memang selalu
berubah-ubah, dan berulang. Lima tahun belakangan ini yang kembali lagi menjadi
hits yaitu para komunitas greaser. Budaya yang kini digandrungi kembali oleh
anak muda Indonesia ini sejatinya sudah eksis sejak tahun 1950-an silam,
terutama di Amerika dan Inggris. Fenomena mewabahnya kembali para Greaser ini
bisa dijumpai di berbagai kota besar Indonesia seperti, Jakarta, Bandung,
Yogyakarta, dan Bali. Eksistensi mereka pun cukup mengandalkan social media, simak
saja YouTube, website, facebook, instagram, twitter, dan lainnya.
Apa itu Greaser? Beliau ialah suatu
makhluk (baca: subkultur) yang berkembang di Amerika Serikat sekitar 1950-an.
Pada kisaran tahun tersebut banyak anak muda yang mencintai musik Rock & Roll,
dan kemudian mengembangkan kreasinya ke dalam seni otomotif, mural, fashion,
bahkan gaya rambut. Pada mulanya, Greaser adalah bentuk budaya tanding (counter-culture) yang menurut definisi
buku sih sebagai sebagian dari populasi suatu masyarakat yang secara kuat
menganut, atau memeluk satu atau lebih nilai-nilai budaya yang berbeda dengan
nilai-nilai yang ada dalam kebudayaan yang dominan.
Berlokasi di ibukota Jakarta, selama
tiga hari 10-12 April 2015 di Plaza Barat Senayan, Jakarta, para penggemar,
peminat, penyuka, atau sekedar pengintip kultur Greaser berkumpul, beratraksi,
dan berpesta bersama. Acara bertajuk Indonesia Greaser Party (IGP) 2015 ini
menyuguhkan berbagai hal yang dekat dengan kultur ini; mobil Hot-Rod, Motor Kustoms,
Low Rider, Die-Cast, Barbershop, Pomade, Clothing, Rockabilly, Pin-Up Girl,
Tattoo, Piercing, Mural dan banyak lagi.
IGP 2015 juga memperlihatkan
basis-basis komunitas Greaser yang berasal dari seluruh daerah di Indonesia.
Tercatat ada 180 komunitas yang berkumpul dalam acara tersebut. Komunitas
tersebut di antaranya; JHCC, Anjing Jalanan & Street Demon, Kustom Fest,
Jak Billy, Gardu House, BICC & Street Monkey, Sweet Iron Lowrider &
Pontianak Lowrider, JBI, Scooterhood, Indonesia Pomade Enthusiast, Scramble
& Sled, Warior, dan masih banyak lagi.
Sederet band yang lekat dengan gaya
Greaser diundang untuk meramaikan event yang digelar untuk pertama kalinya ini,
mereka adalah; Naif, Superman Is Dead, Superglad, Seringai, The Hydrant, dan
Hanche Presley & The King Creole. Selain itu juga ada band-band lainnya,
Prison Of Blues, D'Jenks, The Sleting Down, R-G-B, Flying Fortress, Young De
Brock, Backdoor, Draguars, Vespunk, Tenholes, Kucing Kampung, Orchest Stamboel,
Gorilla Trampoline’s, Ikat Kepala, MusiKecil, Negative Lovers, Kereta Susana,
Lord B, Gokilbillies, Foreva, Spank, Nonstop, Indoskull House & The
Peebless, dan Kiki & The Klan.
![]() |
Naif tampil di hari pertama IGP 2015 |
![]() |
The Hydrant tampil di hari kedua IGP 2015 |
Band saya & The Klan (KKK)
mendapat kesempatan tampil sore hari di hari terakhir IGP 2015. Ada sedikit
kurang puas rasanya tidak bisa menikmati band-band yang tampil di hari pertama
dan kedua. Maklum karena pekerjaan sebagai buruh kelas teri, saya dan rombongan
orkes dari Yogyakarta baru bisa hadir di hari ketiga.
Hal menarik dari acara ini adalah
suasana di backstage musisi yang biasanya sepi sepi aja. Kebanyakan para musisi
malah saling jaim (jaga imej),
apalagi buat band-band yang datang dari berlainan kota dan mereka jarang
ketemuan. Tapi hal itu nggak terjadi di hari terakhir IGP 2015. Atas nama Elvis,
para personel dari band SID, The Hydrant, KKK, King Creole, POB, The Sleting
Down, Flying Fortress, dll dll... berkumpul, bernyanyi, berdansa, dan
berteriak, liar gak karuan selama hampir 1,5 jam. “Terimakasih hujan yang bikin
kami semua menjadi lebih 'hangat'....
Watch "greaser party rockabilly
rebel! part 4" on YouTube: https://youtu.be/UccrRvvnnSM
Elvis Impersonator Indonesia yang
juga menjadi bintang tamu malam itu, Hanche Presley mengaku kalau sebetulnya
dari dulu ia selalu berharap bisa ada di satu komunitas dengan orang-orang yang
sehobi. “Saya seneng gaya ala Vintage rockabilly, dulu mikir harusnya ada
orang-orang yang sama, yang cowok berjambul, yang perempuan gaya pin up girls.
Baru sekarang saya nemuin ini setelah usia saya 21 tahun (bukan umur
sebenarnya,red),” kata Hanche.
![]() |
*********** |
Sebagai budaya tanding yang menjawab
hegemoni budaya dominan, keberadaan Greaser dan saudara-saudaranya tentu saja
dapat saja menimbulkan konflik. Dalam banyak masyarakat budaya tanding ini
memang banyak dihubungkan dengan kaum muda. Hal ini dapat dilihat dari gaya
hidup kaum muda yang seringkali berbeda dari gaya hidup kebanyakan orang dalam
masyarakat.
Mari kita sedikit menengok ke
belakang, di era Orde Lama saat Bung Karno berkuasa. Saat itu budaya popular
anak muda ialah Rock & Roll, Boogie Woogie, Beat Generation, hingga Flowers
Generations. Saat masa Demokrasi Terpimpin, Soekarno menentang semua hal-hal
yang berbau Barat, sebab barat dianggap imperialis dan kolonialis. Presiden
Soekarno pun amatlah membenci budaya anak muda kala itu.
Hal tersebut memang bukan tanpa
alasan, karena si Bung ingin pemuda Indonesia berkarakter kuat dan mempunyai
jiwa revolusioner yang tinggi. Sejarah mencatat bahwa pada 29 Juni 1965, si
Bung memenjarakan empat pemuda lantaran menyanyikan lagu-lagu Barat milik The
Beatles dan Elvis Presley. Mereka adalah Koes Brothers yang kemudian berganti
nama menjadi Koes Plus. Soekarno menegaskan kebenciannya kepada keempat pemuda
itu dalam sebuah pidato pada 17 Agustus 1965 di depan Corps Gerakan Mahasiswa
Indonesia.
"Jangan seperti kawan-kawanmu,
Koes Bersaudara. Masih banyak lagu-lagu Indonesia kenapa mesti
Elvis-elvisan?"
![]() |
Marshello (The Hydrant) The Black Elvis |
Lebih lanjut lagi Soekarno bahkan
menerbitkan Penetapan Presiden Nomor 11/1963 yang melarang musik-musik berbau
Barat. Larangan ini dikeluarkan lantaran lagu-lagu barat seperti karya The
Beatles dan Elvis Presley dianggap tidak menunjukkan karakter budaya Indonesia,
mengajarkan hura-hura, dan kontra-revolusi. Yang menjadi latar belakang ini
adalah hal politis, saat itu Indonesia sedang berseteru dengan Inggris yang
ingin membentuk negara federasi Malaysia.
Pada sebuah pidato resmi memperingati
proklamasi 17 Agustus 1959, Soekarno menegaskan kebenciannya pada hal-hal
berbau asing:
“Dan engkau, hei pemuda-pemuda dan pemudi-pemudi; engkau jang tentunja
anti-imprialisme ekonomi, engkau jang menentang imprialisme politik; kenapa di
kalangan engkau banjak jang tidak menentang imprialisme kebudajaan? Kenapa di
kalangan engkau banjak jang masih rock ‘n roll - rock‘n rollan, dansi-dansian
ala cha-cha-cha, musik-musikan ala ngak-ngik-ngok, gila-gilaan, dan lain-lain
sebagainja lagi? Kenapa di kalangan engkau banjak jang gemar membatja
tulisan-tulisan dari luaran, jang njata itu adalah imprialisme kebudajaan?”
Hal lainnya, meski si Bung amatlah
cintanya pada para wanita cantik, tapi beliaunya tidak suka wanita yang
mengenakan rok mini. Si Bung pernah berkata pada Fatmawati saat akan menikah. “Kukatakan padanya, aku menyukai perempuan
dengan keasliannya, bukan wanita yang pakai rok pendek, baju ketat dan gincu
bibir yang menyilaukan (baca: Pin-up Girls,red),” kata Soekarno.
Menurut seorang Soekarnois yang tidak
saya ingin sebutkan namanya, ternyata musik jenis ini (Rock & Roll, red) bisa
menjadi pembuka bagi masuknya gaya hidup sangat pragmatis, cair dan hedonis,
dan buntutnya adalah konsumtif. “Itulah yang ingin dicegah Bung Karno. Dengan ngak-ngik-ngok yang mendayu-dayu para
pemuda mudah terlena dan mudah tercerabut dari nilai-nilai idealism,” katanya
sih begitu.
Setelah si Bung jatuh pada 1966, maka
suasana politik dan kebudayaan pun sangat cepat berubah. Di Jakarta dan
kota-kota besar lainnya bermunculan pemancar radio yang dikelola oleh anak-anak
muda. Lalu membanjirlah lagu-lagu Barat yang sebelumnya dilarang. Maka bukan
hanya musik, tari, dan lagu, semua produk budaya pop dan gaya hidup yang sebelumnya
ditentang si Bung pun jadi semakin membanjir.
Fenomena merebaknya musik bawah tanah
(baca: musik underground) di Indonesia, ternyata tak hanya menjadi sebatas
trend bermusik di luar jalur industri semata, khususnya pasca keruntuhan rezim
Soeharto. Ia telah berkembang menjadi sebuah gerakan budaya tanding yang
dimotori oleh anak-anak muda untuk melakukan perlawanan terhadap kebobrokan
sistem serta korupnya aparatur pemerintahan di negara ini, beserta hegemoni
budaya yang dibentuk dan dikuasai oleh para pemilik modal (kaum kapitalis)
dalam skenario `budaya pop’ (pop culture).
![]() |
The Sleting Down |
![]() |
Prison Of Blues: Psychobilly Pertama di Pulau Jawa |
Balik lagi ke Indonesia Greaser Party
(IGP) 2015, selain sebagai ajang kumpul dan tatap wajah, mata bertemu mata,
kulit betemu kulit, dan daging bertemu daging, acara ini juga merupakan bentuk
kepedulian, kepekaan dan respon terhadap pergolakan yang terjadi di Indonesia
mengenai masalah lingkungan hidup.
Angkat topi buat penyelenggara acara ini yang bersimpati dengan gerakan ‘Bali
Tolak Reklamasi’. Berbagai rupa-rupa merchandise tersedia di gerai ForBALI (Forum
Rakyat Bali Tolak Reklamasi) pada acara Indonesia Greaser Party (IGP) ini.
Para panitia IGP pun menghibahkan
gerai gratis untuk aksi ini. ForBALI adalah aliansi masyarakat sipil lintas
sektoral yang terdiri dari gerakan mahasiswa, LSM, musisi, seniman, dan
individu-individu yang peduli lingkungan hidup dan mempunyai keyakinan bahwa
perencanaan reklamasi seluas 838 hektar di Teluk Benoa adalah bagian dari
kebijakan penghancuran Bali.
Sebelum Superman Is Dead tampil,
kawan-kawan ForBALI melakukan kampanye dengan berorasi soal permasalahan yang
terjadi di Pulau Dewata tersebut. Drummer SID, JRX berkoar bahwa tak seperti
acara 'anak muda' lain yang seringkali hanya menonjolkan sikap hedon/konsumtif,
IGP 2015 ini dikemas apik, esensial namun tetap membawa pesan perlawanan yang
substansial.
“Hal ini penting, anak muda tak hanya diajarkan untuk terlihat keren,
namun juga ditantang untuk punya pemikiran yang tak kalah keren; berani
bersikap saat penguasa berlaku tak adil. Cantik, gagah, terkenal, semua itu tak
ada artinya saat alam kamu hancur. Pintar dan jago bergaul juga tak ada gunanya
jika hanya bisa jadi kacung penguasa. Saat ditindas dan dibodohi, anak muda
harus berani bersuara melawan kekuatan yang lebih besar.” JRX.
Maka jikalau di era Bung Karno, Rock
& Roll dan Greaser merupakan sebuah kebudayaan para penjajah, imperialis
dan kolonialis. Maka tidak ada salahnya jika saat ini kultur tersebut menjadi
simbol perlawanan dan pengusiran terhadap imperialis, kolonialis, dan
penjajahan itu sendiri. Meminjam ucapan seorang kawan saya yang lain, memang
apapun bisa dikomodifikasi, dalam sejarah....perjuangan kaum punk, rastafarian,
dan lainnya telah dikooptasi menjadi komoditas fashion dan musik yang mereproduksi
dunia seolah-olah. Pemikiran dan cita-cita telah dilepaskan dari
"tubuhnya" secara brutal.
Namun saya pun berujar jika kini
saatnya anak muda kembali pada khittah-nya, yakni pembangkang, satu di
antaranya dengan menggunakan seni sebagai perlawanan. Kembali ke tulisan awal
bahwa tren dan gaya anak muda yang memang selalu berubah dan berulang. Begitu
juga dengan bentuk penjajahan yang juga selalu berubah-ubah, dan berulang. Maka
apa salahnya jika budaya yang dulu katanya milik ‘penjajah’ ini kita gunakan untuk
melawan, memukul, dan membasmi para ‘penjajah’ yang ternyata juga datang dari
bangsa sendiri. (*)
Sebagian teks dan foto saya comot secara brutal dari berbagai akun Facebook ...
BACA JUGA: Subkultur Rockabilly di Yogyakarta, Makna 'Rebel Flag' , LEATHER JACKET; "bejat, berbahaya, unpredictable, kejiwaan yang kompleks, namun rentan", Elvis Impersonator Ada Sampai Kiamat !
BACA JUGA: Subkultur Rockabilly di Yogyakarta, Makna 'Rebel Flag' , LEATHER JACKET; "bejat, berbahaya, unpredictable, kejiwaan yang kompleks, namun rentan", Elvis Impersonator Ada Sampai Kiamat !
Nice Post ??Muda Beda dan Berbahaya
ReplyDeletekeren bgt sob..
ReplyDeleteMantap joss!
ReplyDeleteyang muda yang bergairah :)
ReplyDeleteulasan jurnalistik ente emang bergairah sob, mantap joss, keren bgt, Muda Beda dan Berbahaya... ga percuma lulusan publisistik sob
ReplyDeleteSaya akui, artikel mas sangat menarik untuk model bahasanya, laki banget,..
ReplyDeletebaca jadi betah...
blog yang menarik dan wajib di kunjungi,