Tuesday, December 18, 2012

DS12: Street Art Bukan Sampah Visual


SEJAK akhir tahun 1997, Sigit serius menggeluti street art. Menurtnya media ini lebih menarik dan ia bisa menemukan esensi berkesenian dan dapat langsung melakukan presentasi karya dihadapan masyarakat saat melakukan pemasangan karya. Dalam berkarya, seniman yang dikenal dengan nama Digie Sigit aka DS12 ini mengunakan metode seni grafis dengan teknik stencil art dan ia menggunakan ruang publik sebagai medianya. Pria kelahiran Yogyakarta, 29 April 1977 ini juga menjadi Team Leader (Instructor) pada program Indoartamiks, sebuah program kolaborasi antara seniman street art dengan siswa sekolah SMK Bayat, Klaten, Jawa Tengah.



Media ekspresinya bukan hanya visual, pria yang pernah kuliah di jurusan seni grafis, seni murni, ISI Yogyakarta ini juga dikenal sebagai pemusik. Bersama grupnya yang memainkan elektronik rock bernama Teknoshit, Sigit telah menelurkan tiga album, di antaranya ‘Elektronik Revolution’, ‘Anti Diskriminasi Gender’, dan ‘Lifevolution’. Rencananya awal tahun depan, ia akan merilis albumnya yang ke 4.
Lantas bagaimana pengertian street art, apa itu sampah visual kota, hingga konsepnya dalam berkarya, berikut petikan wawancara saya dengan Digie Sigit aka DS12.




KKK: Belakangan ini seperti apa sih geliat dan perkembangan street art di Yogyakarta?

DS12: Sebenarnya perkembangan street art di kota Yogya sangatlah bagus, hanya saja dalam konteks pemahaman sepertinya perlu untuk dikoreksi agar dalam perkembangannya ke depan tidak menjadi sesuatu yang naif, hal ini menyangkut keterlibatannya seniman street art dalam upaya komersialisasi terhadap ruang publik.

KKK: Bagaimana hal ini bisa terjadi?

DS12: Hal ini dapat terjadi atas dasar ketidak-tahuan atau kurangnya pembelajaran seniman kepada sejarah kemunculan street art itu sendiri, maka disinilah esensi street art, sebab street art tidaklah semata-mata sebuah aktifitas penambahan sampah visual didalam ruang publik, yang dalam konteks kota Yogyakarta saat ini, sampah-sampah visual tersebut muncul secara membabi buta dengan adanya iklan-iklan komersial yang dengan brutal semakin mengkooptasi ruang publik kita saat ini.

KKK: Menanggapi sampah visual yang semakin banal ini, bagaimana menurutmu cara untuk menetralisirnya?

DS12: Mengenai hal ini tentunya banyak pihak yang harus memikirkan ulang, ini demi sehatnya mentalitas warga Yogyakarta. Mengingat kota Yogyakarta adalah salah satu titik penting dalam dinamika kebudayaan dunia saat ini. Untuk itu sudah sewajarnya jika street art memberikan sesuatu yang benar kepada masyarakat, bukan justru menjadikan masyarakat sebatas menjadi objek atas visual yang ada di ruang publik.

KKK: Apakah para pelaku street art sendiri bisa mengimbanginya?

DS12: Jika secara visual dan teknik, street art di kota Yogya sangatlah membanggakan seperti munculnya seniman-seniman mural, karakter, graffiti dan wheatpaste yang mampu mempresentasikan karya secara bagus, baik secara teknik, tema maupun dalam hal penempatan karya. Tentunya kehadiran mereka menambah nilai terhadap keberadaan kota Yogya itu sendiri, baik sebagai kota pendidikan ataupun sebagai kota kebudayaan.

KKK: Apa saja yang selalu menjadi kegelisahanmu dan bagaimana prosesmu merepresentasikan ide yang sudah ada?

DS12: Dalam berkarya aku selalu mendapatkan ide dari realita yang aku rasakan dan temukan, biasanya setelah ide tema muncul, maka aku segera mengolahnya untuk mendapatkan ilustrasi dari tema tersebut, proses simbolisasi ini bisa aku kerjakan dengan membuat sketsa ataupun tulisan, setelah rancangan kasar aku dapatkan maka aku menyempurnakannya dengan proses pengambilan gambar dengan menggunakan kamera foto, atau mengolah temuan gambar untuk dapat mengilustrasikan ide atau gagasan, setelah itu rancangan aku pindahkan kedalam master karya atau cetakan yang berupa kartas karton yang aku lubangi dengan mengunakan pisau potong, setelah proses master selesai maka aku tinggal mengaplikasikannya kedalam media dengan menggunakan cat semprot instan, media bisa berupa diding tembok atau papan seng.



KKK: Dalam berkarya, kamu lebih nyaman bekerja sendiri atau berkelompok?

DS12: Biasanya aku ada yang membantu, baik dalam proses karya personal maupun karya kolaborasi. Mengenai kelebihan dan kekurangan berkarya secara kolektif, tentu saja dalam proses pengerjaannya akan lebih mudah jika dalam proses karya kolaborasi, namun jika dalam karya kolaborasi kita di tuntut untuk 
menemukan titik temu dalam eksekusi estetik maupun dalam hal ide.

KKK: Saat ini masih banyak masyarakat yang menganggap bahwa street art identik dengan vandalisme, apa pendapatmu akan hal ini?

DS12: Mengenai vandalisme, ini satu hal yang memiliki dua pengertian, yang terpenting adalah konsep, ketika satu tindakan dapat dijelaskan, maka hal itu tidaklah serta-merta merupakan vandalisme menurut pengertian umum. Menurut saya dalam sejarah street art terjadi peminjaman istilah, lantas dalam perkembangannya hal ini semacam menjadi identifikasi, meski sebenarnya street art dan vandalisme adalah dua hal yang secara pengertian sangatlah berbeda.


KKK: Lantas, bagaimana cara agar street art bisa benar-benar diakui sebagai karya seni kekinian (baca: Kontemporer)?

DS12: Agar benar-benar diakui sebagai seni kekinian, street art haruslah kembali menjadi produk kebudayaan rasional, dimana sesuatunya dapat dijelaskan secara ilmiah seperti halnya seni-seni visual yang lainnya. Harus ada kesadaran dari seniman untuk selalu belajar pentingnya sejarah, karena hal itu yang akan memunculkan pemahaman atas esensi street art agar kenaifan sejarah tidak terulang kembali, seperti terkooptasinya street art dalam ilusi bom seni rupa beberapa tahun yang lalu, dan terlibatnya seniman-seniman street art dalam komersialisasi terhadap ruang publik seperti yang terjadi saat ini. Sebab jika hal itu terjadi tentu saja seniman street art-lah beserta perkembangannya yang akan menjadi korban, dan sudah barang tentu dalam hal ini publik juga akan merasakan pengaruh buruk atas ketidak-pahaman seniman street art terhadap nilai dan esensi seni street art.

KKK: Apakah peranan institusi terkait juga berpengaruh?

DS12: Institusi kebudayaan haruslah segera menyadari bahwa "street art" merupakan disiplin ilmu seni rupa yang sarat dengan berbagai macam keilmuan, dan sangat menarik untuk dikaji sebagai hasil peradaban budaya ilmiah saat ini.

KKK: Bisa diceritakan apa saja karya-karya terbaru yang sedang kamu kerjakan?

DS12: Karya terbaru yang aku kerjakan adalah karya kolaborasi dengan Anti Tank dan Guerrilas, karya ini kami dedikasikan untuk KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) dengan semangat melawan budaya korupsi, karya ini kami tempatkan didekat tiga SD di kota Yogya, SD Tukangan, SD Timuran, serta SD Margoyasan dan satu di galeri publik, di jalan Mataram Yogyakarta. Pertimbangan kami atas karya ini adalah penting jika anak-anak bisa mendapatkan pengalaman estetik mengenai isu korupsi, sebab kepada merekalah kami berharap praktek dan mental ketidak-jujuran dapat dihentikan. karya ini juga kami buat dalam rangka peringatan hari anti korupsi sedunia yang jatuh pada tanggal 9 Desember lalu. Dan kami secara serentak melalui jaringan seniman street art dari 13 kota di Indonesia melakukan hal yang sama. Kota-kota tersebut adalah: Aceh, Medan, Pekan Baru, Padang, Jakarta, Tangerang, Cilacap, Kendal, Semarang, Wonosobo, Magelang, Solo dan Yogyakarta. 




KKK: Bagaimana cara alternatif agar karya-karya yang sarat akan isu sosial ini bisa didistribusikan kepada khalayak yang lebih luas lagi?

DS12: Kami membuat karya dengan esensi yang sama, namun secara visual karya kami saling berbeda satu dengan yang lainnya. Karya-karya ini juga kami publikasikan dokumentasinya dengan format video melalui youtube. Dan pada puncak peringatan hari anti korupsi sedunia yang diselenggarakan di Tugu Monas Jakarta, kami memamerkan dokumentasi foto yang disertai konsep karya dari masing-masing kota. 



 *kepingan cerita DS12 sebagai street artist juga dibingkai dalam video dokumenter 'Buruh Seni'



No comments:

Post a Comment

Featured