SEJAK
akhir tahun 1997, Sigit serius menggeluti street art. Menurtnya media ini lebih
menarik dan ia bisa menemukan esensi berkesenian dan dapat langsung melakukan
presentasi karya dihadapan masyarakat saat melakukan pemasangan karya. Dalam
berkarya, seniman yang dikenal dengan nama Digie Sigit aka DS12 ini mengunakan
metode seni grafis dengan teknik stencil art dan ia menggunakan ruang publik
sebagai medianya. Pria kelahiran Yogyakarta, 29 April 1977 ini juga menjadi
Team Leader (Instructor) pada program Indoartamiks, sebuah program kolaborasi
antara seniman street art dengan siswa sekolah SMK Bayat, Klaten, Jawa Tengah.
Media ekspresinya bukan hanya visual, pria yang pernah kuliah di jurusan seni grafis, seni murni, ISI Yogyakarta ini juga dikenal sebagai pemusik. Bersama grupnya yang memainkan elektronik rock bernama Teknoshit, Sigit telah menelurkan tiga album, di antaranya ‘Elektronik Revolution’, ‘Anti Diskriminasi Gender’, dan ‘Lifevolution’. Rencananya awal tahun depan, ia akan merilis albumnya yang ke 4.
Lantas bagaimana pengertian street art, apa itu sampah visual
kota, hingga konsepnya dalam berkarya, berikut petikan wawancara saya dengan Digie Sigit aka DS12.
KKK: Belakangan ini seperti apa sih geliat dan perkembangan
street art di Yogyakarta?
DS12:
Sebenarnya perkembangan street art di kota Yogya sangatlah bagus, hanya saja
dalam konteks pemahaman sepertinya perlu untuk dikoreksi agar dalam
perkembangannya ke depan tidak menjadi sesuatu yang naif, hal ini menyangkut
keterlibatannya seniman street art dalam upaya komersialisasi terhadap ruang
publik.
KKK: Bagaimana hal ini bisa terjadi?
DS12:
Hal ini dapat terjadi atas dasar ketidak-tahuan atau kurangnya pembelajaran
seniman kepada sejarah kemunculan street art itu sendiri, maka disinilah esensi
street art, sebab street art tidaklah semata-mata sebuah aktifitas penambahan
sampah visual didalam ruang publik, yang dalam konteks kota Yogyakarta saat
ini, sampah-sampah visual tersebut muncul secara membabi buta dengan adanya
iklan-iklan komersial yang dengan brutal semakin mengkooptasi ruang publik kita
saat ini.
KKK:
Menanggapi sampah visual yang semakin banal ini, bagaimana menurutmu cara untuk
menetralisirnya?
DS12:
Mengenai hal ini tentunya banyak pihak yang harus memikirkan ulang, ini demi
sehatnya mentalitas warga Yogyakarta. Mengingat kota Yogyakarta adalah salah
satu titik penting dalam dinamika kebudayaan dunia saat ini. Untuk itu sudah
sewajarnya jika street art memberikan sesuatu yang benar kepada masyarakat,
bukan justru menjadikan masyarakat sebatas menjadi objek atas visual yang ada
di ruang publik.
KKK:
Apakah para pelaku street art sendiri bisa mengimbanginya?
DS12:
Jika secara visual dan teknik, street art di kota Yogya sangatlah membanggakan
seperti munculnya seniman-seniman mural, karakter, graffiti dan wheatpaste yang
mampu mempresentasikan karya secara bagus, baik secara teknik, tema maupun
dalam hal penempatan karya. Tentunya kehadiran mereka menambah nilai terhadap
keberadaan kota Yogya itu sendiri, baik sebagai kota pendidikan ataupun sebagai
kota kebudayaan.
KKK:
Apa saja yang selalu menjadi kegelisahanmu dan bagaimana prosesmu
merepresentasikan ide yang sudah ada?
DS12:
Dalam berkarya aku selalu mendapatkan ide dari realita yang aku rasakan dan
temukan, biasanya setelah ide tema muncul, maka aku segera mengolahnya untuk
mendapatkan ilustrasi dari tema tersebut, proses simbolisasi ini bisa aku
kerjakan dengan membuat sketsa ataupun tulisan, setelah rancangan kasar aku
dapatkan maka aku menyempurnakannya dengan proses pengambilan gambar dengan
menggunakan kamera foto, atau mengolah temuan gambar untuk dapat
mengilustrasikan ide atau gagasan, setelah itu rancangan aku pindahkan kedalam
master karya atau cetakan yang berupa kartas karton yang aku lubangi dengan
mengunakan pisau potong, setelah proses master selesai maka aku tinggal
mengaplikasikannya kedalam media dengan menggunakan cat semprot instan, media
bisa berupa diding tembok atau papan seng.
KKK:
Dalam berkarya, kamu lebih nyaman bekerja sendiri atau berkelompok?
DS12:
Biasanya aku ada yang membantu, baik dalam proses karya personal maupun karya
kolaborasi. Mengenai kelebihan dan kekurangan berkarya secara kolektif, tentu
saja dalam proses pengerjaannya akan lebih mudah jika dalam proses karya
kolaborasi, namun jika dalam karya kolaborasi kita di tuntut untuk
menemukan
titik temu dalam eksekusi estetik maupun dalam hal ide.
KKK:
Saat ini masih banyak masyarakat yang menganggap bahwa street art identik
dengan vandalisme, apa pendapatmu akan hal ini?
DS12:
Mengenai vandalisme, ini satu hal yang memiliki dua pengertian, yang terpenting
adalah konsep, ketika satu tindakan dapat dijelaskan, maka hal itu tidaklah
serta-merta merupakan vandalisme menurut pengertian umum. Menurut saya dalam
sejarah street art terjadi peminjaman istilah, lantas dalam perkembangannya hal
ini semacam menjadi identifikasi, meski sebenarnya street art dan vandalisme
adalah dua hal yang secara pengertian sangatlah berbeda.
KKK:
Lantas, bagaimana cara agar street art bisa benar-benar diakui sebagai karya
seni kekinian (baca: Kontemporer)?
DS12:
Agar benar-benar diakui sebagai seni kekinian, street art haruslah kembali
menjadi produk kebudayaan rasional, dimana sesuatunya dapat dijelaskan secara
ilmiah seperti halnya seni-seni visual yang lainnya. Harus ada kesadaran dari
seniman untuk selalu belajar pentingnya sejarah, karena hal itu yang akan
memunculkan pemahaman atas esensi street art agar kenaifan sejarah tidak
terulang kembali, seperti terkooptasinya street art dalam ilusi bom seni rupa
beberapa tahun yang lalu, dan terlibatnya seniman-seniman street art dalam
komersialisasi terhadap ruang publik seperti yang terjadi saat ini. Sebab jika
hal itu terjadi tentu saja seniman street art-lah beserta perkembangannya yang
akan menjadi korban, dan sudah barang tentu dalam hal ini publik juga akan
merasakan pengaruh buruk atas ketidak-pahaman seniman street art terhadap nilai
dan esensi seni street art.
KKK:
Apakah peranan institusi terkait juga berpengaruh?
DS12:
Institusi kebudayaan haruslah segera menyadari bahwa "street art"
merupakan disiplin ilmu seni rupa yang sarat dengan berbagai macam keilmuan,
dan sangat menarik untuk dikaji sebagai hasil peradaban budaya ilmiah saat ini.
KKK:
Bisa diceritakan apa saja karya-karya terbaru yang sedang kamu kerjakan?
DS12:
Karya terbaru yang aku kerjakan adalah karya kolaborasi dengan Anti Tank dan
Guerrilas, karya ini kami dedikasikan untuk KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi)
dengan semangat melawan budaya korupsi, karya ini kami tempatkan didekat tiga
SD di kota Yogya, SD Tukangan, SD Timuran, serta SD Margoyasan dan satu di
galeri publik, di jalan Mataram Yogyakarta. Pertimbangan kami atas karya ini
adalah penting jika anak-anak bisa mendapatkan pengalaman estetik mengenai isu
korupsi, sebab kepada merekalah kami berharap praktek dan mental ketidak-jujuran
dapat dihentikan. karya ini juga kami buat dalam rangka peringatan hari anti
korupsi sedunia yang jatuh pada tanggal 9 Desember lalu. Dan kami secara
serentak melalui jaringan seniman street art dari 13 kota di Indonesia melakukan
hal yang sama. Kota-kota tersebut adalah: Aceh, Medan, Pekan Baru, Padang,
Jakarta, Tangerang, Cilacap, Kendal, Semarang, Wonosobo, Magelang, Solo dan
Yogyakarta.
KKK:
Bagaimana cara alternatif agar karya-karya yang sarat akan isu sosial ini bisa
didistribusikan kepada khalayak yang lebih luas lagi?
DS12:
Kami membuat karya dengan esensi yang sama, namun secara visual karya kami
saling berbeda satu dengan yang lainnya. Karya-karya ini juga kami publikasikan
dokumentasinya dengan format video melalui youtube. Dan pada puncak peringatan
hari anti korupsi sedunia yang diselenggarakan di Tugu Monas Jakarta, kami
memamerkan dokumentasi foto yang disertai konsep karya dari masing-masing kota.
*kepingan cerita DS12 sebagai street artist juga dibingkai dalam video dokumenter 'Buruh Seni'
No comments:
Post a Comment