BAND Rockabilly Jaksel, The Sleting
Down (TSD) akhirnya merilis album perdana mereka. Mengambil tajuk ‘Tuan Boogie’, album berisi delapan track ini kaya akan nuansa 50-60-an, dan tentunya enak
untuk mengiringi pesta dansa-dansi di sana-sini. Sebelum kita bicara apakah
album ini cukup ‘Rockabilly’, kita kupas dulu kulitnya satu-satu. Tapi
sebelumnya lagi gue mau cerita koneksi mereka dengan skena Yogyakarta. Oiya, biasanya
gue memakai kata ‘saya’ sebagai penulis, tapi khusus untuk anak-anak tengil
dari Jakarta Selatan ini, tepatnya Jaksel Pinggiran, kata ‘saya’ kita bunuh
aja. Nih gue mau cerita!
Sebaliknya, beberapa kali Kiki &
The Klan datang ke ibu kota, atau gue dateng ketengan ke Jakarta, sudah pasti
TSD bakal menyambut, nemenin nongkrong, juga memberikan asupan-asupan balasan
berupa gelapnya dunia Rock & Roll berselimuti kejamnya kehidupan di ibu kota.
Sesama anak Jaksel pinggiran, gue dan anak-anak TSD tentu aja gampang akrab,
gaya bahasa sama, logat, aksen mirip. Istilah-istilah dalam bahasa argot,
ngerti. Oiya argot adalah perbendaharaan kata yang bersifat rahasia dari suatu
kelompok, misalnya bahasa para copet, dsb. Istilah kerennya, bahasa prokem.
The Sleting Down adalah kumpulan pria
necis, klimis, dandy, kompak berseragam, mereka adalah Thole (vocal/piano),
Empeng (gitar), Bona (gitar), Reza (double bass), Erwin (drum). TSD juga
dibantu oleh empat pemain saxophone, satu trumpet, dan satu trombone. Terkadang
ada vokalis cewek yang mewarnai pertunjukan mereka, Hanum yang kini terkenal
sebagai presenter berita di stasiun televisi terkemuka. Hanum ini dulu adek
kelas gue di kampus, emaknya kebetulan temen nyokap gue. Jadi waktu kecil gue
sering dititipin di rumahnya Hanum. Oiya jangan lupakan Doni Octaviandra bekas
gitaris mereka yang dulu sempet sering banget bolak-balik JKT-YK. Hehehe.
Oke balik lagi ke album ‘Tuan Boogie’
yang honestly gue udah suka banget ngeliat sampulnya yang literally vintage
banget. Tapi anak Jaksel bilang ‘You Can’t Judge The Book By It’s Cover’, gak
percaya? Tanya aja Bo Diddley.
Sebagaimana band yang melabeli dirinya ‘Rockabilly’, lagu mereka bercerita tentang asiknya berpesta, motor tua,
dan kisah cinta para remaja. (meski sebagian besar personel mereka tidak lagi
bujangan tapi selalu bajingan..hehhe). TSD juga bercerita tentang kehidupan sehari-hari
dengan gaya mereka.
‘Tuan Boogie’ dibuka dengan tembang ‘Benci
Banci’ yang sepintas sih kalo baca judulnya terkesan tentang bigot pembenci LGBT, atau
bisa juga cowok macho yang kejam pula militeristik yang benci sama orang yang
lembek lagi cengeng. Tapi gue percaya mereka bukan tipe keduanya. Lagu ini gue
rasa asalnya dari pengalaman pribadi si Empeng, gitaris mereka yang doyan ngemil
snack gajah. Gue sendiri sempat agak phobia dengan banci, terutama yang pada
ngamen di pinggir-pinggir jalan. Tapi setelah kenalan dengan seorang waria,
bekas pengamen jalanan dan dengar tentang ceritanya, ketakutan gue berkurang drastis.
Tapi kalo sama banci ngamen yang pakai make up lebih kejam dari para personel
KISS, apalagi belom kenal, tetap aja gue takut, apalagi kalo tuh banci berani
nyolek-nyolek eike. Bah, mending gue melipir tipis-tipis.
Tembang kedua berjudul ‘Tengsin’, gue
rasa ini bahasa anak Jakarta banget, soalnya hampir sepuluh tahun tinggal di
Jogja, gue nyaris nggak pernah denger lagi nih istilah. Tengsin adalah bahasa
prokem yang artinya ‘malu’, atau ‘gengsi’. Lagu ini cocok untuk para pemburu
cinta bermental besi. Salah satu lagu favorit gue di album ini adalah ‘Asikin
Aja Lagi’ yang hingga saat artikel ini ditulis merupakan satu-satunya lagu TSD
yang ada di Spotify. Lagu ini sebelumnya menjadi soundtrack ‘Dagelan’. Entah
kenapa gue paling suka sama lagu-lagu bertema ‘Hip-Hip Hura’ nya Chrisye.
Ceria, riang, gembira, bergoyang kanan-kiri, asik.
Cuma menurut gue vokal Thole di ‘Asikin
Aja Lagi’, bisa lebih keren kalau bergaya crooner ala Bobby Darin, Sinatra,
atau Bob Tutupoly. Hal ini juga sedikit gue sayangkan pada lagu ‘Rockabilly
Boogie’ yang sebelumnya pernah masuk di album Kustomfest: Indonesian Rockabilly
Compilation vol 1. Lewat piano yang dimainkan sang vokalis, The Sleting Down memang
amat terpengaruh oleh Jerry Lee Lewis, tapi sayangnya gaya bernyanyi Thole
masih agak jauh dari pengaruh sataniknya “The Killer” Jerry Lee. Tapi
seenggak-enggaknya, hingga saat ini Thole adalah satu-satunya biduan rockabilly
di Indonesia yang bermain piano.
Secara musikal, album perdana The
Sleting Down ini memang tidak murni Rockabilly. Meski menggunakan dua gitaris, isian
lead gitar jarang keluar, kalah didominasi sama brass section yang justru
additional musician di TSD. Nggak salah kalau TSD menyantolkan istilah ‘Boogie’
di album dan lagu mereka, ‘Rockabilly Boogie’. Jika Rockabilly berakar dari
hillbilly dan country music, Boogie-Woogie adalah salah satu gaya musik blues yang
bertempo lebih cepat dari musik blues kebanyakan saat itu. Boogie-Woogie popular
sebelum meletus perang dunia. Selanjutnya, makhluk ini menjadi dasar dari
musik Rhythm & Blues, Jazz Swing, dan Rock & Roll.
The Sleting Down nyaris menyampingkan
hillbilly dan country music sebagai akar Rockabilly lalu menggantinya dengan
Boogie-Woogie dan Swing yang jika ditarik ke belakang merupakan perkembangan
dari musik jazz yang berkembang pada awal 1930-an. Musik jazz telah melewati
sejarah yang cukup panjang. Berawal dari New Orleans, jazz telah menjelma
menjadi beragam warna, satu di antaranya swing yang memiliki irama dan
hentakan-hentakan yang bisa meracuni para penikmatnya untuk bergoyang.
Bicara soal musik swing gue jadi
ingat Cherry Poppin Daddies, band Amerika yang mengawinkan Rock, Swing, dan
Ska. Di album ‘Soul Caddy’ mereka bahkan memasukkan unsur punk rock,
psychedelic folk, dan funk. Nggak lupa album kompilasi ‘Next Generation Swing’
yang menampilkan; Louis Prima, Brian Setzer Orchestra, The Mighty Blue Kings,
hingga The Mighty Mighty Bosstones. Mungkin racikan seperti itulah yang
diinginkan oleh The Sleting Down. Kedua album tersebut sengaja gue putar
setelah mendengarkan ‘Tuan Boogie’ di rumah Athonk.
Selamat buat The Sleting Down, penantian
panjang selama kurang lebih tujuh tahun akhirnya terealisasikan. Untuk mengakhiri
tulisan ini gue sengaja mengutip Bron Zelani dari wawancaranya dengan Rio
Tantomo di Jakarta Vodkabilly “kalau lo mau (Rockabilly) dari Jakarta, ya Sleting Down. Kalau cari
enak, ya dengerin mereka dari Jakarta Selatan. Tapi kalau cari kampung, ya
Borock n Roll dari pinggiran Jakarta Timur. Lo tahu gimana bedanya, kan? (*)
The food at this venue was excellent, as was the service, many of our friends and family still rave about it. My wife and I highly recommend the home studios NYC. We came here again for dinner and everything was again good and the service was extremely fast.
ReplyDelete