Sekitar 1,5 km dari Candi Borobudur terdapat
sebuah desa yang tenang, jauh dari hiruk pikuk perkotaan. Di desa tersebut
terdapat sungai yang airnya mengaliri bebatuan, ada dua sungai yang bertemu,
Sungai Elo dan Sungai Progo. Di alam hijau yang subur, tepat di pinggir
pertemuan dua sungai tersebut terdapat sebuah bangunan yang ekstotis. Bagunan
sederhana namun megah itu berdiri di tanah yang menurut saya seluas tiga kali
lapangan sepakbola.
Tempat yang dinamakan Eloprogo Art House ini
terletak di Desa Bejen, Wanurejo, Borobudur, Magelang, Jawa Tengah. Saya
pertama kali ke sana sekitar tahun 2011, diajak seorang kawan dekat yang kerap
bersama saya saat berakhir pekan. Sebelum benar-benar menginjakkan kaki di
sana, berbulan-bulan sebelumnya kawan saya sering bercerita tentang tempat
tersebut, namun ia selalu bilang; “pokoknya nggak bisa gue jelasin dengan
kata-kata, lo harus ke sana lihat sendiri deh”. Persis seperti ucapannya
beberapa tahun silam, hingga kini saya pun sulit mendeskripsikan tempat itu.
Yang jelas, semua bangunan di Eloprogo Art
House dihiasi arsitektur yang dibangun dengan bahan-bahan alami. Bagi saya
tempat ini amat menakjubkan, bertengger tinggi di tebing yang di bawahnya
terdapat sungai yang mengalir cukup deras. Ketika langit cerah, kita bisa
menikmati pemandangan gunung Merapi dan gunung Merbabu. Dari Yogyakarta, lokasi
tersebut biasa ditempuh selama satu jam berkendara.
Selain tempatnya yang asik, pemiliknya Sony
Santosa juga nggak kalah asiknya. Sony adalah seorang pelukis, kelahiran
Sumatera yang pernah puluhan tahun tinggal di Bali. Setelah mempelajari seni
lukis dan patung, ia pindah ke Magelang dan membangun Eloprogo Art House ini.
Meski tinggal di pedesaan Jawa Tengah, Sony berbicara dengan logat betawi yang
kental. Ia memang dibesarkan di Jakarta, tumbuh di kerasnya jalanan ibukota.
Sabtu, 13 Oktober saya kembali ke Eloprogo,
mengendarai motor melewati pedesaan dan bukit-bukit indah, tentunya demi menghindari
jalan Magelang yang berdebu, penuh kendaraan besar, dan terkadang macet saat
akhir pekan. Setibanya di sana, Sony dan beberapa kawan sedang duduk santai di
salah satu teras Eloprogo Art House. Sekian lama tidak bersua, kami berbicara tentang
banyak hal.
Ada yang berbeda dari suasana Eloprogo Art
House malam itu, sebelum masuk gerbang pemuda sekitar dengan teliti memberikan
karcis parkir, lampu-lampu berwarna-warni memancar ke langit, tempat sunyi yang
biasa saya datangi ini tiba-tiba ramai oleh manusia dari berbagai kalangan,
bahkan berbagai suku bangsa, datang ke sini. Tercatat lebih dari 40 seniman
dari berbagai wilayah di Indonesia, Asia Tenggara dan Eropa merayakan sebuah
hajatan di sini. Hajatan meriah itu bernama Nusasonic. Ya, saya memang sengaja
datang untuk merayakan festival tersebut.
Nusasonic merupakan proyek multitahun yang
menyelami keberagaman budaya bunyi dan musik eksperimental di Asia Tenggara. Kegiatannya
dimulai sejak 2 Oktober 2018, dan dihelat di berbagai tempat di Yogyakarta. Nusasonic
dimulai sebagai laboratorium dimana sebuah hacklab, sekelompok Sonic Wilderness
dan pasangan-musisi/seniman baru bermain bersama serta mencipta karya, ide dan
kemungkinan musikal baru, dan berpuncak pada festival yang mempertunjukkan
hasil kerjasama tersebut dalam sebuah program yang mencakup konser, sebuah malam
klub, acara spontan di ruang publik, serta program diskusi, panel dan
lokakarya. Di Eloprogo Art House, 13 Oktober bisa dikatakan sebagai malam
puncak Nusasonic.
Saya tidak kenal banyak nama-nama seniman dan
musisi eksperimental yang tampil di sana. Tapi ada satu nama yang mencuri
perhatian, Potro Joyo. Duo yang terdiri dari Eko Potro Joyo dan Wukir Suryadi
ini memainkan oplosan antara neotribal, experimental, dengan musik tradisional
Jawa. Sejak 2011 silam saya kerap bertemu Wukir di Eloprogo Art House, kali ini
saya tidak hanya bincang-bincang santai, tapi juga menikmati pertunjukannya
bersama Potro Joyo. Malam itu mereka tampil di halaman belakang Eloprogo Art
House yang disulap menjadi panggung berkelas internasional. Menurut mereka banyak
hal yang bisa direspon di lokasi pertunjukan, “misalkan scape dan material
ruangnya seperti, bangunan, pohon, batu, dsb termasuk lingkungan sekitarnya”.
Secara konseptual, Potro Joyo mengeksplorasi
suluk dan mantera dengan elektronik ke dalam bentuk jawa eksperimental, dengan
berusaha menerjemahkan tradisi secara kontemporer dalam bentuk pengembangan
baru. Di balik musiknya yang menurut saya kontemplatif, mistis, juga bising,
kelompok ini menyelipkan beberapa pesan. Yang pertama adalah mengajak audiens
berdoa bersama, kemudian menurut mereka, nilai yang ingin disampaikan kepada penonton
adalah untuk tidak melupakan sejarah, dan jangan pernah memutuskan hubungan
dengan leluhur. Menyaksikan penampilan Potro Joyo, saya seolah bisa merasakan ‘koneksi
dengan para leluhur’. Apalagi sebelumnya Sony sering berkelakar “tempat bertapa
Atisha ada di sana”, sambil menunjuk hutan di seberang sungai tempat
pertunjukan Nusasonic ini.
Atisha adalah nama pendeta yang membawa
gelombang Buddha ke Tibet. Tahun 1011 ia belajar Buddhisme di Sriwijaya dan
setahun kemudian ia mengunjungi candi Borobudur. Bangsa kita adalah bangsa
dengan ilmu pengetahuan luas, bayangkan saja akar ajaran Buddha di Tibet hingga
saat ini, dibawa oleh Atisha yang belajar di Candi Borobudur. Saya sangat amat
sepakat akan isu yang dibawa oleh Potro Joyo, karena di era yang makin banal
ini, kita memang seharusnya kembali kepada jati diri sebagai pribadi yang
unggul, satu di antaranya belajar melalui suluk dan mantera yang disajikan
Potro Joyo.
Para ‘leluhur’ semakin berdatangan malam itu,
tidak hanya Atisha, tapi juga Raja Samaratungga, pendiri Candi Borobudur,
putrinya Ratu Pramudawardhani, hingga pewaris dinasti Sanjaya yang beragama
Siwa, Rakai Panangkaran. Lewat tembang yang dimainkan Potro Joyo, para leluhur
yang ‘datang’ itu seolah mengajarkan kita untuk selalu rukun dalam urusan
perbedaan agama, bahkan kalau perlu saling memberikan fasilitas ke umat agama
lain. Hal ini dicontohkan oleh Rakai Panangkaran yang menganugerahkan desa
Kalasan kepada Sangha (komunitas Buddha) dan kemudian mendirikan Candi Kalasan.
Agama memang sejatinya hadir untuk membawa kedamaian, namun nafsu politik, dan
haus kekuasaan menungganginya. Hingga agama kerap dekat dengan kekerasan, mau
menang sendiri, intoleransi, dan hal menyebalkan lainnya.
Bicara tentang politik, kekuasaan, dan
kekerasan, Potro Joyo memiliki tembang yang amat dahsyat, ‘Aku Bukan Pembunuh Tunggul Ametung’. Potro Joyo memiliki tafsir sendiri tentang Ken Arok, menurut mereka,
karena tidak ada literatur yang pernah kita pelajari secara teks maupun narasumber
yang menyebutkan bahwa Ken Arok adalah pembunuh Tunggul Ametung. Semua cerita
banyak mengandung intrik untuk kepentingan tertentu, terutama teks telah ditulis
untuk membelokkan sejarah yang sebenarnya. Begitu kira-kira tafsir Potro Joyo.
Tembang ini mengingatkan saya pada ‘Rock Opera Ken Arok’ karya Harry Roesli
yang dirilis pada 1977 silam. Namun tentu saja keduanya berbeda. Mungkin perihal
‘Rock Opera Ken Arok’ akan saya tulis di lain waktu.
Kembali ke Nusasonic, hal menarik lainnya dari
festival ini adalah relasi antara audiens dan musisi. Penonton memberikan
apresiasi yang baik kepada musisi di Nusasonic, mereka selalu menanti kejutan
karya para musisi di atas panggung. Antara audiens dengan musisi, keduanya nyaris
tidak berjarak. Tidak seperti yang biasa disaksikan pada pertunjukan rock,
apalagi musik pop. ‘Superstar telah mati di sini’. Kita bisa melihat semua
musisi yang tampil bisa bebas berkeliaran tanpa barikade dan LO yang selalu
melayani. Hahaha…
Secara keseluruhan, Nusasonic sebagai sebuah
festival pertunjukan adalah sesuatu yang keren banget. Hal tersebut juga
diamini oleh kedua personel Potro Joyo, “Ya Menarik, karena musisi diberi
keleluasaan, dan disediakan sound yang sangat memadai untuk mengekspresikan
dirinya. Bagi Potro Joyo, Nusasonic menjadi nuansa baru pertunjukan musik
elektronik di alam terbuka. Banyak audiens yang sengaja datang dari jauh untuk
menghadiri acara. “Tentunya sebuah penghargaan juga bagi kami, karena bisa ikut
serta mempresentasikan karya. Semoga bisa dilaksanakan di berbagai tempat yang
lain di Indonesia”.
Potro Joyo artinya adalah simbol dari karakter
manusia untuk memiliki perilaku atau sikap yang unggul dalam kehidupan. Secara
Harfiah kata 'Potro' berasal dari kata Patrap (bahasa Jawa) yang berarti
perilaku atau sikap yang memiliki kesadaran. dan 'Joyo' berarti unggul. Untuk
menjadi Potro Joyo mesti memahami jati diri, maka semangat inilah yang diusung
dalam karya yang sarat makna.
Potro Joyo pernah tampil di banyak festival
dari berbagai skala, di antaranya; Di depan Candi Jago, Tumpang, Lereng Semeru
Barat, Malang, Sinau bareng Caknun, Yes no Klub, Ruang Rupa, Gudang Sarinah Ekosistem,
Oxen Free, Signore Cafe Malang, Semeru Art Galery Malang, Hidden Point Pantai Pancer, Lasem Festival,
Festival 5 Gunung, hingga tur antar kampung, Balai RW, Balai Desa, Tur Pesantren,
Gereja, dan Vihara. Saat ini Potro Joyo mengaku sedang berusaha untuk semakin
meningkatkan kualitas musiknya. “Ada rencana untuk buat album ke dua juga”.
Di Nusasonic yang digelar di Eloprogo Art
House ini juga menampilkan kolaborasi Erick Calilan dan Duto Hardono. Mereka mengeksplorasi
Eloprogo Art House dengan mengambil inspirasi dari jaring besi yang menyatu
pada jendelanya, sebagaimana jaring-jaring indah yang dijalin oleh laba-laba
Eloprogo. Mereka merespon ruang galeri milik Sony yang bangunannya panjang
mengular. Performans site-spesific ini diadakan dua kali selama program berlangsung
di Eloprogo Art House.
Sementara itu rekan Wukir Suryadi di grup
Senyawa, Rully Shabara menjadi pengarah proyek benama Kombo. Proyek ini dimulai
dengan demonstrasi oleh partisipan lokal, dilanjutkan aksi improptu oleh duo,
trio dan kelompok musisi dari Asia Tenggara, termasuk Yuen Chee Wai, Sudarshan,
Caliph8, Kok Siew-Wai, Setya RKJ, Mahamboro, dan lainnya. Pada 9 Oktober,
musisi Mesir Nadah el Shazly, dan Ruben PatiƱo anggota duo asal Berlin, N.M.O
juga bergabung. Sebagai partisipan Yuen Chee Wai menjelaskan bahwa suasananya
sangat santai dan kasual, sehingga pemain baru berani mencoba gaya baru yang
benar-benar berbeda dari yang biasa mereka mainkan. “Awalnya kami kesulitan dengan
bunyinya, terutama karena begitu banyak musisi yang bermain, beberapa hari yang
kami lewatkan bersama merupakan waktu berbagi dan mengerti bebunyian serta
pendekatan improvasi satu sama lain. Seluruh proses ini sungguh bermakna.”
Proyek lainnya, Sonic Wilderness mengekplorasi
pendengaran dan pembuatan musik dengan alam sekitar. Kelompok musisi muda
perempuan yang terlibat datang dari beragam latar belakang, membawa serta
sejumlah alat musik, instrumen, elektronik dan ide ke dalam kelompok. Ekspedisi
outdoor mereka mencakup sawah, sekolah lokal, kuburan tionghoa-katolik, dan
lokasi lainnya di sekitar Yogyakarta. 13 Oktober lalu di Eloprogo Art House
merupakan performans final Kombo dan Sonic Wilderness.
Dilansir dari kanal resminya, dengan mengadopsi pendekatan multi-perspektif,
Nusasonic merupakan hasil kolaborasi antara Yes No Klub (Yogyakarta), WSK
Festival of the Recently Possible (Manila), Playfreely/BlackKaji (Singapore) dan
CTM Festival for Adventurous Music & Art (Berlin). Nusasonic merupakan
inisiatif Goethe-Institut di Asia Tenggara. Selepas inaugurasi di Yogyakarta,
Nusasonic akan mengambil bentukan serta format berbeda dan mengunjungi Manila,
Singapura dan lokasi lainnya di Asia Tenggara dalam beberapa tahun mendatang. Inisiatif
ini juga akan menghubungkan Berlin serta negara asing lainnya. (*)
Foto-foto oleh: Doni Maulistya & Swandi Ranadila |
wuih bener-bener jadi pengin ke sini, liat tempatnya di foto udah kagum
ReplyDeletegimana kalau langsung ke sana ya, nambah asoy...
semoga di aamiin-i untuk bisa ke sana