Monday, January 8, 2018

Melihat Konflik Agraria di Pesisir Selatan

Awal Januari ini memulai riding dengan melintasi jalanan di pesisir selatan Jawa. Di sepanjang perjalanan aspal yang menghubungkan Bantul (Yogyakarta), Purworejo, Kebumen, hingga Cilacap yang memiliki panjang sekitar 130 kilometer ini dinamakan Belangrijke Wegenatau Jalan Raya Utama. Adalah A.D. Daendels yang menjabat sebagai asisten residen di wilayah Ambal (kini nama kecamatan di Kabupaten Kebumen) pada 1838. Nama jalan pantai selatan Jawa kerap disebut dengan nama Jalan Daendels hanya karena jalur tersebut melewati wilayah Ambal yang kala itu dipimpin oleh A.D. Daendels. (ini bukan Daendels yang Gubernur Hindia Belanda di Batavia itu yaak, beda lhoo..)

Sebelumnya, jalan ini sempat menyandang nama Jalur Diponegoro. Pangeran Diponegoro dan para pengikutnya pernah bergerilya di ruas jalan ini sejak 1825 hingga 1830. Jalan pesisir Pantai Selatan sudah ada sejak abad ke-14, yang dijadikan sebagai penghubung kerajaan-kerajaan di Jawa. 







Di tengah-tengah Jalan Daendels pesisir selatan sedang ada rencana pembangunan bandara New Yogyakarta International Airport (NYIA) Kulon Progo. Segelintir warga yang menolak menjual tanahnya ke PT Angkasa Pura I masih bertahan di Masjid Al-Hidayah yang dibangun pada 1984, dan menjadi masjid pertama di Dusun Palihan. Tempat ibadah warga setempat selain masjid adalah Gereja Kristen Jawa (GKJ) Palihan, sekitar 150 meter dari Masjid Al-Hidayah. Ini gereja peninggalan pemerintah kolonial. GKJ Palihan berdiri pada 17 Januari 1925.

Sekarang gereja itu hanya tinggal sejarah. Jika membuka peta Google, dan mengetik “GKJ Palihan”, kita bisa menemukan lokasi gereja tersebut. Namun, bila langsung mendatanginya, gereja itu sudah lenyap. Bangunan gereja dihancurkan oleh pihak Angkasa Pura I beberapa minggu sebelum Natal. Dinding-dinding gereja sudah rata tanah. Tidak terlihat lagi sisa bangunan gereja.



Kulon Progo kaya akan berbagai sumber daya alam yang berkembang cukup dinamis mulai dari Pertanian, Perikanan, Peternakan, Pertambangan dan Konservasi lingkungan hidup. Namun di tengah-tengah Jalan Daendels pesisir selatan ini sedang terjadi konflik agraria yang meresahkan. Konflik agraria yang diakibatkan kebijakan atau putusan pejabat publik (pusat dan daerah), melibatkan banyak korban dan menimbulkan dampak yang meluas, yang mencakup dimensi sosial, ekonomi, dan politik." Mengacu pada Undang-Undang Pokok Agraria tahun 1960, definisi agraria tidak hanya sebatas tanah/bumi, tapi juga air dan ruang angkasa.

Warga yang masih bertahan sekarang tidak lagi menjadi orang yang berproduksi, tetapi hanya mengonsumsi. Contoh sederhana: kompor buat memasak. Saat belum direlokasi masih menggunakan kayu bakar dari kebun. Begitu pula sayur dan beras dari hasil panen sendiri. Pola itu berubah. Mereka kini membeli gas, beras, sayur, dan lauk-pauk. Semuanya serba membeli. Sementara mereka belum mendapatkan pekerjaan baru.

“Kalau dibilang enak mana, ya enak dulu. Biar enggak punya duit, masih bisa makan dari kebun sendiri," kata seorang warga.
Mereka telah kehilangan sawah dan kebun yang menjadi sumber mata pencarian turun temurun. Kalau sudah enggak ada sawah, besok mau makan apa? Padahal kita semua makan nasi, bukan makan beton.





LBH menyatakan bahwa NYIA Kulon Progo tidak hanya akan menyingkirkan lahan pertanian subur, tetapi juga memiliki risiko bahaya amat tinggi. Sebab, NYIA Kulon Progo dibangun di atas ruang yang sangat rawan dengan bahaya tsunami.


Disunting dari Tirto ID dan berbagai sumber lain.


📷 @facundo.deni








No comments:

Post a Comment

Featured