SEBAGAI pelukis, maupun sebagai wanita
Indonesia, Kartika Affandi telah membuat berbagai terobosan baru. Ia telah
mematahkan batas-batas budaya, berkelana kemana saja, dan menjalani kehidupan
dengan caranya sendiri. Meski kerap menentang kebiasaan umum, namun pada saat
yang sama ia tetap memenuhi kewajibannya terhadap keluarganya. Kartika telah
menjadi inspirasi bagi pelukis wanita.
Kini perempuan kelahiran Jakarta, 27
November 1934 ini masih aktif melukis. Ia berkarya tanpa ada latar belakang
orderan. Anak tunggal dari pasangan Pelukis Affandi dan Maryati ini juga melukis
di kanvas yang kemudian di print di atas kain, beberapa koleksinya diapresiasi
oleh Toko Tas Dowa di Jln Mangkubumi Yogyakarta. Kartika juga masih mengurus
Museum Affandi dan mengurus 25 lukisan yang harus direstorasi. Ia juga sedang
mengusahkan pameran 50 tahun Museum Affandi yang rencananya bakal memamerkan ke
25 lukisan tersebut.
Pekan lalu, saya dan teman-teman berbincang panjang dengan
putri maestro seni lukis Indonesia itu, kami juga diajak berkeliling ke galeri, menikmati koleksi lukisan maupun patung karya
Kartika, dan beberapa seniman lain. Pada ruangan yang disebut sebagai Galeri
utama bisa kita saksikan koleksi pribadi lukisan Kartika di antaranya ‘Potret Diri’,
‘Terlahir Kembali’, dan ‘Kepalaku Pecah’. Kebanyakan lukisan-lukisan ini
menceritakan peristiwa hidup sang seniman, mulai dari problematika rumah
tangga, hingga perceraian.
Di ruang selanjutnya terdapat koleksi
karya patung yang dibuat sekitar tahun 2004 hingga 2005. Kartika mengaku tidak
pernah secara khusus belajar mematung. Namun sejak kecil, bersama ayahnya ia
sudah terbiasa bermain membuat patung dengan tanah liat. Halaman rumah Kartika
penuh tanaman bunga, ia memang sangat hobi berkebun. Kartika tidak ingin menyebut
kediamannya dengan museum, galeri, atau studio, nama ‘Omahe Kartika Affandi’
pun ia pilih karena lebih membumi. Di rumah tersebut ada pendopo yang bisa
digunakan oleh siapa saja yang ingin berkarya, dan diutamakan kaum perempuan. Mengapa
ia mengutamakan perempuan? Karena ia memiliki pengalaman kesulitan untuk
berkarya ketika sudah menjadi ibu rumah tangga.
Mengawali kisahnya, Kartika bercerita bahwa di awal
karirnya melukis, ia diberi target oleh mendiang ayahnya bahwa jika belum punya
100 lukisan, ia tidak boleh ikut pameran bersama, apalagi pameran tunggal. Ia
sangat dekat dengan sang ayah yang ia panggil ‘papi’. Kartika kecil lebih suka mainan
laki-laki, ”Saya merasa kamu itu lebih mirip laki-laki daripada perempuan, dan
saya iri karena kamu bisa melahirkan,” ujar Kartika menirukan perkataan ayahnya.
Selama terjun dalam dunia seni rupa,
Kartika dikenal dengan gaya yang sama dengan ayahnya, teknik melukis khas
Affandi dengan cara langsung menorehkan cat dari tube-nya juga dilakukan oleh
Kartika. Hasilnya, muncullah lukisan-lukisan yang sangat mirip dengan karya
Affandi. Kartika mengakui keterpengaruhan itu, dan menganggapnya bukan sebuah
masalah. Namun Kartika mengaku berusaha bisa lepas dari bayang-bayang ayahnya.
Jika Affandi memulai dengan lukisan realis-naturalis baru kemudian ke
ekspresionis, Kartika justru kebalikannya. Ia mengaku sempat dijadikan kelinci
percobaan oleh ayahnya untuk langsung belajar ekspresionis. Selama menjadi
‘kelinci percobaan’ tersebut, Kartika kemudian banyak mengikuti ayahnya
keliling dunia, yang kemudian mengasah pengalamannya.
Pendidikan formal Kartika hanya
sampai kelas 1 SMP di Taman Dewasa Taman Siswa Jakarta pada tahun 1949. Ia
kemudian belajar di Universitas Tagore di Shantiniketan di India sebagai
mahasiswa luar biasa atas beasiswa dari Pemerintah India. Selain itu ia juga
pernah belajar seni patung di Polytechnic School of Art di London.
Ketika ditanya soal lukisan palsu
yang belakangan ini marak, Ia mengisahkan bahwa suatu ketika pernah didatangi
seseorang yang mencoba menyogoknya untuk memberikan sertifikat pada lukisan
palsu. Kartika memang dikenal sebagai salah satu restorator lukisan di
Indonesia. Pada 1980 ia sempat belajar teknik pengawetan dan restorasi benda
seni di Wina, Austria selama lima tahun, dan dilanjutkannya di Roma. Belum lama
ini mantan istri RM Saptohoedojo ini juga menjadi saksi pada kasus lukisan
palsu di Jakarta.
Kartika mempunyai target untuk
menggelar pameran tunggal minimal setiap lima tahun sekali. Banyak hal yang
membuatnya menjadi seniman yang berkarakter, bahkan dikenal kontroversial. Ia sempat
diacuhkan oleh banyak teman-temannya, namun hal tersebut menjadikannya tidak
takut untuk diasingkan. Ia selalu berusaha keras menjadi diri sendiri. Kartika berpesan kepada
seniman-seniman perempuan, bahwa menjadi seniman harus jujur pada diri
sendiri, apalagi terhadap orang lain. “Jangan cengeng meski kita perempuan,
jalani hidup tanpa dendam, dan nikmatilah
hidup ini,” katanya lalu tersenyum lebar.
Mungkin karena semangat dan pola
pikir tersebut, meski di usia senja, Kartika masih tetap bergairah dalam berkesenian. Kini, selain
terus melukis, ia sedang menulis buku tentang Affandi, karena menurutnya banyak
orang yang masih salah memahami Affandi. (*)
Foto: Iris Gallery & Dari Handphone Penulis
Cool
ReplyDelete