Tuesday, October 13, 2015

(( Sosok )) Kartika Affandi: Jadi Perempuan Jangan Cengeng

SEBAGAI pelukis, maupun sebagai wanita Indonesia, Kartika Affandi telah membuat berbagai terobosan baru. Ia telah mematahkan batas-batas budaya, berkelana kemana saja, dan menjalani kehidupan dengan caranya sendiri. Meski kerap menentang kebiasaan umum, namun pada saat yang sama ia tetap memenuhi kewajibannya terhadap keluarganya. Kartika telah menjadi inspirasi bagi pelukis wanita.


Kini perempuan kelahiran Jakarta, 27 November 1934 ini masih aktif melukis. Ia berkarya tanpa ada latar belakang orderan. Anak tunggal dari pasangan Pelukis Affandi dan Maryati ini juga melukis di kanvas yang kemudian di print di atas kain, beberapa koleksinya diapresiasi oleh Toko Tas Dowa di Jln Mangkubumi Yogyakarta. Kartika juga masih mengurus Museum Affandi dan mengurus 25 lukisan yang harus direstorasi. Ia juga sedang mengusahkan pameran 50 tahun Museum Affandi yang rencananya bakal memamerkan ke 25 lukisan tersebut.
Pekan lalu, saya dan teman-teman berbincang panjang dengan putri maestro seni lukis Indonesia itu, kami juga diajak berkeliling ke galeri, menikmati koleksi lukisan maupun patung karya Kartika, dan beberapa seniman lain. Pada ruangan yang disebut sebagai Galeri utama bisa kita saksikan koleksi pribadi lukisan Kartika di antaranya ‘Potret Diri’, ‘Terlahir Kembali’, dan ‘Kepalaku Pecah’. Kebanyakan lukisan-lukisan ini menceritakan peristiwa hidup sang seniman, mulai dari problematika rumah tangga, hingga perceraian.




Di ruang selanjutnya terdapat koleksi karya patung yang dibuat sekitar tahun 2004 hingga 2005. Kartika mengaku tidak pernah secara khusus belajar mematung. Namun sejak kecil, bersama ayahnya ia sudah terbiasa bermain membuat patung dengan tanah liat. Halaman rumah Kartika penuh tanaman bunga, ia memang sangat hobi berkebun. Kartika tidak ingin menyebut kediamannya dengan museum, galeri, atau studio, nama ‘Omahe Kartika Affandi’ pun ia pilih karena lebih membumi. Di rumah tersebut ada pendopo yang bisa digunakan oleh siapa saja yang ingin berkarya, dan diutamakan kaum perempuan. Mengapa ia mengutamakan perempuan? Karena ia memiliki pengalaman kesulitan untuk berkarya ketika sudah menjadi ibu rumah tangga.

Mengawali kisahnya, Kartika bercerita bahwa di awal karirnya melukis, ia diberi target oleh mendiang ayahnya bahwa jika belum punya 100 lukisan, ia tidak boleh ikut pameran bersama, apalagi pameran tunggal. Ia sangat dekat dengan sang ayah yang ia panggil ‘papi’. Kartika kecil lebih suka mainan laki-laki, ”Saya merasa kamu itu lebih mirip laki-laki daripada perempuan, dan saya iri karena kamu bisa melahirkan,” ujar Kartika menirukan perkataan ayahnya.



Selama terjun dalam dunia seni rupa, Kartika dikenal dengan gaya yang sama dengan ayahnya, teknik melukis khas Affandi dengan cara langsung menorehkan cat dari tube-nya juga dilakukan oleh Kartika. Hasilnya, muncullah lukisan-lukisan yang sangat mirip dengan karya Affandi. Kartika mengakui keterpengaruhan itu, dan menganggapnya bukan sebuah masalah. Namun Kartika mengaku berusaha bisa lepas dari bayang-bayang ayahnya. Jika Affandi memulai dengan lukisan realis-naturalis baru kemudian ke ekspresionis, Kartika justru kebalikannya. Ia mengaku sempat dijadikan kelinci percobaan oleh ayahnya untuk langsung belajar ekspresionis. Selama menjadi ‘kelinci percobaan’ tersebut, Kartika kemudian banyak mengikuti ayahnya keliling dunia, yang kemudian mengasah pengalamannya.




Pendidikan formal Kartika hanya sampai kelas 1 SMP di Taman Dewasa Taman Siswa Jakarta pada tahun 1949. Ia kemudian belajar di Universitas Tagore di Shantiniketan di India sebagai mahasiswa luar biasa atas beasiswa dari Pemerintah India. Selain itu ia juga pernah belajar seni patung di Polytechnic School of Art di London.
Ketika ditanya soal lukisan palsu yang belakangan ini marak, Ia mengisahkan bahwa suatu ketika pernah didatangi seseorang yang mencoba menyogoknya untuk memberikan sertifikat pada lukisan palsu. Kartika memang dikenal sebagai salah satu restorator lukisan di Indonesia. Pada 1980 ia sempat belajar teknik pengawetan dan restorasi benda seni di Wina, Austria selama lima tahun, dan dilanjutkannya di Roma. Belum lama ini mantan istri RM Saptohoedojo ini juga menjadi saksi pada kasus lukisan palsu di Jakarta.



Kartika mempunyai target untuk menggelar pameran tunggal minimal setiap lima tahun sekali. Banyak hal yang membuatnya menjadi seniman yang berkarakter, bahkan dikenal kontroversial. Ia sempat diacuhkan oleh banyak teman-temannya, namun hal tersebut menjadikannya tidak takut untuk diasingkan. Ia selalu berusaha keras menjadi diri sendiri. Kartika berpesan kepada seniman-seniman perempuan, bahwa menjadi seniman harus jujur pada diri sendiri, apalagi terhadap orang lain. “Jangan cengeng meski kita perempuan, jalani  hidup tanpa dendam, dan nikmatilah hidup ini,” katanya lalu tersenyum lebar.


Mungkin karena semangat dan pola pikir tersebut, meski di usia senja, Kartika masih tetap bergairah dalam berkesenian. Kini, selain terus melukis, ia sedang menulis buku tentang Affandi, karena menurutnya banyak orang yang masih salah memahami Affandi. (*) 



Foto: Iris Gallery & Dari Handphone Penulis

1 comment:

Featured