Saturday, October 12, 2013

JOGJA ORA DIDOL | Arif: Pemuda Bernurani, Berani & Anarki


Potret Arif pemuda yang ditangkapan Satpol PP karena melakukan aksi mural di sudut Pojok Benteng Wetan mendapat sorotan besar dari masyarakat. Di media sosial isu ini juga menjadi topik hangat. Lelaki bernama lengkap Muhamad Arif Buwono adalah potret pemuda biasa yang geram dengan kebijakan Pemkot. Pemuda berusia 17 tahun ini juga aktif sebagai pesepeda, ia bergabung dengan komunitas BMX yang kerap meramaikan kegiatan Jogja Last Friday Ride (JLFR).
Arif pernah bersekolah sampai tingkat SMA, ia kemudian memutuskan untuk berhenti, dan bekerja sebagai pegawai swasta. Ia mengaku baru sekali membuat tulisan mural. Arif memang bukan seorang seniman yang akrab dengan kanvas dan cat minyak, meski kesehariannya ia bergulat dengan cat sablon di atas kaos. Artinya Arif adalah sosok warga berdaya yang dengan hati nuraninya berani membangkang melawan selangkangan para pelaku kesewenangan (penguasa,red). Jika Arif dilihat (seperti yang dilakukan media massa) sebagai seniman, orang akan melihat persoalan Yogyakarta itu lagi-lagi masalah kritik seniman belaka.

Arif mengaku awalnya tidak ada niat untuk melancarkan aksinya. Pada Senin, (7/10) pukul 20.00 malam ia masih berada di Angkringan di kawasan Kotagede, dan selanjutnya menuju warnet Gambiran. Di warnet itulah dari media sosial ia melihat foto dan tulisan tentang slogan 'Jogja Or Didol' yang sebelumnya dibuat seorang seniman di Pojok Benteng telah dihapus.

Bersama teman-temannya, Arif berinisiatif menebalkan tulisan tersebut. Ia pun pulang ke rumah untuk mengambil cat, sementara temannya melakukan survey tempat. Dengan sepeda, mereka menuju lokasi. Ini adalah satu di antara bentuk aksi Anarki, karena para pemuda tersebut melakukan aksi ini dengan inisiatif, tanpa komando. Ketika sedang mengecat, Arif sempat melihat ada mobil Satpol PP lewat, dan kemudian empat orang dari mobil kijang menghampiri dan menyuruh turun seraya teriak "Medun, nek ra iso, tak bedil ndasmu,". (Turun Lo, kalo gak bisa, gw tembak pala lo!, logat Betawi!)

penghapusan tulisan "JOGJA ORA DIDOL/ JOGJA TIDAK DIJUAL" oleh seorang tukang cat
yang dikawal oleh beberapa anggota satpol pp

Setelah turun, ia dan teman-temannya diangkut ke Balai Kota, dan di interogasi. Ia ditanyakan siapa yang menyuruhnya membuat tulisan tersebut, ia menjawabnya jujur bahwa tidak ada yang menyuruh, namun itu hanyalah aksi spontan karena ia sepakat dengan slogan tersebut. "Saya hanya menebalkan tulisan tersebut, karena sepakat dengan kalimat 'Jogja Ora Didol'," tegasnya.

Keesokan harinya Arif menjalani sidang, dan membayar denda Rp 1000, Arif mengaku tidak kapok membuat mural meski sementara masih ingin menenangkan diri. "Aku pasti ikut berpartisipasi lagi, namun tetap harus berhati-hati," ungkapnya.

***
Sosiolog Universitas Gadjah Mada (UGM) Deradjad Sulistyo Widhyharto menuturkan bahwa tindakan penangkapan aparat terhadap Arief merupakan aksi anti-klimaks pemerintah yang tidak mampu memaknai dinamika sosial budaya. "Di Yogyakarta terdapat kekuatan sosial budaya yang tidak ditangkap sebagai kekuatan, justru malah dianggap 'gangguan'," tegasnya.

Derajad juga mengatakan sudah seharusnya kekuatan ini dimaknai pemerintah kota secara positif. Belakangan ini bisa kita cermati berkurangnya kegiatan seni dan budaya, kegiatan komunitas juga kurang diangkat. Menurutnya Yogyakarta adalah gudangnya kekuatan ide, gagasan, dan kreatifitas.
"Sudah seharusnya mereka diperlakukan sebagai subyek (pelaku) bukan sebagai obyek," tukas dosen Fisipol UGM ini.

Derajad menambahkan bahwa Fenomena mural dan street art lainnya sudah biasa bagi masyarakat Yogyakarta. Masyarakat sudah meihat ini sebagai bentuk ekspresi, protes, dan sebagainya. Karenanya dengan melihat sosok Arief sebagai warga biasa yang ikut bersolidaritas pada aksi seniman, itu akan membuka ruang luas untuk solidaritas.
karya ANTI-TANK
Di sisi lain, street artist Digie Sigit yang juga ikut mengawal sidang Arif beropini bahwa Muhammad Arif adalah warga kota Yogyakarta, dan sosok pemuda yang mengagumkan. "Dia memilih meninggalkan kekakuan dan mahalnya pendidikan formal, hanya demi dapat bekerja guna mencarikan uang bagi Ibundanya," ujar seniman yang dikenal dengan inisial DS13 ini.

Nilai tersebutlah yang membuat Arif merasakan betul ketidakadilan akan sebuah kebijakan politik seperti halnya penyelenggaran manajemen kota Yogya saat ini."Ini yang mendorong Arif memiliki gagasan untuk merapikan tulisan "Jogja ora didol", agar dapat terlihat dan terbaca dengan baik oleh masyarakat," kata frontman Teknoshit ini.

Karena disalahkan dan diseret ke persidangan, lanjutnya, kita semakin mengetahui kalau penghakiman ini sangatlah mengada-ada dan juga merupakan upaya untuk mendangkalkan, serta usaha untuk mengkriminalisasikan­ ekspresi yang dilakukan oleh publik atau warga kota. Namun, tegas Sigit, yang terjadi di masyarakat justru adalah gelombang solidaritas yang memposisikan Arif sebagai pahlawan muda, dan kesadaran publik semakin membesar.

Seniman lainnya, Marzuki Mohamad dari Jogja Hip Hop Foundation juga ikut bersuara dan mengawal sidang Arif. Ketika dulu isu keistimewaan digoyang oleh pemerintah pusat, Yogyakarta mempunyai musuh bersama dan itu mudah melawannya. "Tapi setelah keistimewaan, kita dihadapkan pada masalah-masalah internal untuk bisa membuktikan bahwa kita memang istimewa," ungkap Juki.
aksi kritikArif bersama para pesepeda Jogja
beberapa pekan lalu
Rapper yang dikenal dengan nama Kill The Dj ini melanjutkan, tentunya hal ini tidaklah mudah karena dituntut kerja keras, dan komitmen yang luar biasa. Dalam kasus 'Jogja Ora Didol', menurutnya, Arif yang ditangkap Satpol PP dan ditindak pidana ringan tidak tahu apa-apa tentang Festival Seni MencariHaryadi yang sedang diselenggarakan. Tindakan reaktif pemerintah kota dengan bahasa kekuasaan itu, lanjut Marzuki, sesungguhnya adalah pengkhianatan atas spirit kepemimpinan yang bercermin di kalbu rakyat seperti yang tertulis dalam lagu Jogja Istimewa.

"Ini sebuah peringatan buat siapa pun pemimpin di Yogyakarta. Saya yakin rakyat Yogya mampu membuktikan bahwa mereka memang layak disebut istimewa," tutupnya. (*)



*ini adalah tulisan tanpa edit/sensor yang juga dimuat di Harian Tribun Jogja, Sabtu, (12/10)

No comments:

Post a Comment

Featured