Poster-poster
tersebut dibuat oleh Anti-Tank yang merupakan proyek propaganda street artist
dari Yogyakarta. Dalam berkarya, Anti-Tank lebih sering menggunakan poster
sebagai media menyampaikan kritik. Namun tidak hanya poster, terkadang Anti-Tank
juga muncul dalam bentuk stensil, stiker, graffiti, dan mural. Lantas siapakah dibalik nama Anti-Tank yang
kerap membuat masyarakat terpukau dengan karya-karya kritiknya lewat street
art? adalah seorang pemuda bernama lengkap Andrew Lumban Gaol yang juga
mahasiswa Akademi Seni Rupa dan Disain Yogyakarta.
Nama Anti-Tank eksis sejak Andrew duduk di bangku SMA di Medan pada Tahun 2003-an. Awalnya nama tersebut ia usulkan untuk menjadi nama band punk yang dibentuknya bersama teman-temannya. Karena nama tersebut tidak diterima oleh rekan-rekan di band, lantas Andrew menggunakannya sebagai nama proyek street art yang bersuara kritis.
Sebagai seorang
punk, baginya amat cocok mempunyai nama yang ada kata ‘anti’ di dalamnya. Ia
terinspirasi dari slogan-slogan khas semangat punk seperti, Anti Capitalist,
Anti Fascist-Rascist Action, hingga nama band Punk Rock seperti Anti-Flag, Anti
Pasti, dan Anti Nowhere League.
Ide nama
Anti-Tank sendiri didapat setelah Andrew menyaksikan berita di televisi tentang
perang Irak pada 2005 silam. Pada berita tersebut, ia menyimak pembaca berita
mengatakan ‘Kendaraan lapis baja Amerika Serikat dihancurkan milisi dengan
menggunakan senjata roket anti tank’.
“Kesannya anti militeristik, tapi cukup paradoks. Makna dibalik nama ini saling
bertabrakan,” ujarnya ketika ditemui di kawasan Kampus ISI Yogyakarta.
Andrew juga
mengaku beruntung sempat bermain di skena punk. Baginya setelah mengenal punk, jendela dan saluran menjadi terbuka, “perkenalan
itu membawaku mengetahui banyak hal, kalau nggak kenal punk, aku akan berbeda
dengan apa yang dikerjakan saat ini,” ungkap pria berkarakter kalem ini. Pemuda asal
Pemantang Siantar, Sumatera Utara ini mengenal punk di saat dalam kondisi tidak
semudah sekarang, “Saat itu etos DIY (Do It Yourself) amat kental, harga mati,
disiplin, dan melakukan sesuatu nggak butuh ijin orang lain, terserah mau bikin
apa yang aku suka,” ungkapnya santai.
Dengan nama
Anti-Tank, Andrew mulai menempel poster sejak 2008 lalu. Karya pertamanya
adalah gambar pohon Bonsai dengan tulisan “Too many bonsai, too many
destruction, little tree, little oxigen!” dan “Stop create bonsai! Save the tree.
Little tree, Little oxigen!”.
Awalnya ia ingin
menulis di koran akan kritiknya terhadap para penghobi tanaman bonsai, namun
karena kemapuan menulisnya cukup minim, ia memutuskan membuat propaganda dengan media poster. “Pohon
itu harusnya berguna, rindang, dan teduh, tapi penyuka bonsai malah
mengeksploitasinya,” ujar Andrew.
Karya Anti-Tank
lainnya yang fenomenal adalah REST IN PEACE (2012) yang dibuat untuk JANEFO #1
(Jogja New Emerging Forces: The first batch); program dua-tahunan Langgeng Art
Foundation. Pada karya ini Andrew mengritik kotak pos di jalanan sudah tidak
berguna.
Anti-Tank menulisi
kotak pos berukuran besar dengan kata ‘RIP (Rest In Peace)’ dan dicat seolah
tampak seperti batu nisan. Ia memandang bahwa kotak pos tersebut bagaikan batu-batu
nisan di pekuburan, karena sudah tidak lagi berfungsi, karena digantikan oleh
teknologi yang lebih canggih.
“Berhubungan
surat menyurat, seseorang jadi malas menulis buku diary, karena kemajuan
teknologi, sehingga nggak ada lagi rasa personal,” ungkapnya.
Dalam setiap aksinya menempel poster di jalanan, biasanya Anti-Tank membawa lima lembar poster besar berukuran 1x1,5 meter, dan antara 30-50 lembar poster berukuran 48x32 cm.
Sebelum beraksi, Andrew mendata rute yang terdekat, dan paling jauh. Termasuk memilih jalur mana yang akan dilaluinya. Pada poster Udin, selama tiga minggu Andrew beraksi sebanyak enam kali. Dalam satu malam, antara 30-50 poster ditempelnya.
Untuk masalah produksi, biasanya Anti-Tank memilih untuk mengeluarkan kocek sendiri. Sebagai desainer, dan seniman, sisa uang yang didapatkan Andrew diperuntukkannya untuk membuat poster. "Kalau ada karya yang laku, atau honor dari bikin cover buku saya gunakan buat aksi ini," ungkapnya.
Namun, tak jarang Anti-Tank juga bekerja sama dengan berbagai organisasi. Jika ada kesepahaman isu, maka Anti-Tank akan mengerjakannya. Selain dengan Aji Yogyakarta untuk poster Udin, belum lama ini, bersama street artist lainnya, ia juga bekerjasama dengan sebuah organisasi untuk mengampanyekan kekerasan domestik terhadap perempuan.
Meskipun mendapatkan dana produksi dari organisasi yang bekerjasama dengannya. Tak jarang, jika isu tersebut memang penting untuk disuarakan, Anti-Tank juga mengeluarkan kocek sendiri untuk meneruskan aksi kampanyenya. Baginya, semua orang berhak untuk berkarya di jalanan, dan merespon semua isu yang terjadi sehari-hari. Jika hanya membuat grafiti, coret-coret nama sendiri, atau nama genk, menurutnya itu sudah ketinggalan jaman. Ke depannya Andrew akan mengangkat isu soal Pemilu 2014. Dalam pandangannya banyak partai yang berubah wujud jadi pro masyarakat, namun kemudian membantai masyarakat dengan Satgas-Satgas mereka. “Karyanya sudah jadi, tinggal nunggu momen aja untuk eksekusi,” ungkapnya santai tapi pasti.
Maka, Panjang Umurlah Pembangkangan!!! (*)
*Dokumentasi dari
karya-karyanya Anti-Tank, bisa dilihat di blog pribadi Andrew dengan alamat
Baca lebih lanjut??? simak terus di bawah ini !
*****
ANTI-TANK: TENTANG PEMBUNUHAN WARTAWAN UDIN
BAGI Andrew dan proyek Anti Tank-nya, persoalan
kasus pembunuhan terhadap wartawan Udin bukanlah menjadi masalah para jurnalis.
Baginya isu ini adalah persoalan kemanusiaan yang ingin bersuara kebenaran
namun diperlakukan dengan kekerasan, hingga kematian. Udin adalah wartawan
Bernas yang dibunuh tahun 1996 oleh orang tak dikenal. Kematiannya diduga
karena menulis berita tentang korupsi mega proyek Parangtritis di Bantul.
Untuk mengangkat
kembali kasus yang hingga kini belum terkuak ini, Anti Tank membuat poster bergambar
siluet Udin berukuran 1X1,5 meter, dan berukuran lainnya yang lebih kecil.
Poster-poster tersebut ditempelkan di berbagai titik-titik kota, mulai dari
kawasan Kotabaru, Terban, Sagan, jembatan Kretek Kewek, Pasar Beringharjo, dan
lokasi strategis lainnya.
“Pembunuhan Udin
mengancamku, dan semua yang ingin bersikap kritis. Aku tertarik menggarap
poster ini karena tak ingin kasus ini kadaluarsa, energi ini harus banyak.
Tugasku adalah memopulerkan Udin, seperti Munir, aku berharap kasus ini terbongkar,”
tegas lelaki bernama lengkap Andrew Lumban Gaol ini.
Ia menambahkan,
meski kasus ini tidak juga terungkap, sudah menjadi tugasnya sebagai seniman
street art menyampaikan ke masyarakat bahwa permasalahan ini mengancam
masyarakat. Sebelumnya,
Andrew diminta AJI dengan memberinya draft dan kliping koran yang berisi
tentang kasus Udin. “Dulu aku pernah dengar, tapi kurang fokus dengan kasus ini,
tapi setelah mendalami, ternyata shock, Yogya adalah kota yang paling damai,
pusat budaya Indonesia, tapi hal ini bisa terjadi, nggak masuk akal, Ini ngeri
banget, isu ini darurat,” ungkapnya.
Poster dengan
dominan warna hitam itu berisi teks: Udin, Dibunuh Karena Berita 1996. Aksi penempelan
poster ini juga menjadi bagian dari peringatan kematian Udin yang meninggal 17
tahun lalu. (*)
****
FILM: The Man Comes Around
SEPUTAR kegiatan
Andrew dan proyek Anti Tank nya telah di dokumentasikan lewat film berjudul
‘The Man Comes Around’. Film bergenre dokumenter ini diproduksi oleh Blues Film,
Fakultas Seni Media Rekam, Institut Seni Indonesia Yogyakarta. Pada Selasa,
(1/10) lalu Film yang disutradarai oleh Adih Saputra P ini diputar di gedung
AUVI FSMR ISI. Selain pemutaran, sejumlah diskusi juga digelar usai para
penonton yang memadati gedung menyaksikan film tersebut. Film ini adalah sebuah
gambaran singkat yang menceritakan tentang aktifitas Anti Tank yang banyak
bekerja di ruang publik. Di dalamnya juga terangkum cerita di balik beberapa
karya yang pernah muncul di jalanan.
Film ‘The Man Comes Around’ ini ternyata mendapatkan apresiasi yang luar biasa di berbagai festival film. Adih dan rekan-rekannya di Blues Film telah menyabet penghargaan khusus juri atas pencapaian teknis sinematografi pada Denpasar Festival Film 2013, September lalu. Di waktu yang sama, film ini juga mendapat tempat di Castivity 2 Film Festival yang diadakan oleh Mercubuana Jakarta. Pada festival yang mengkhususkan pada kategori dokumenter dan film pendek ini, ‘The Man Comes Around terpilih menjadi film dokumenter terbaik, dan teknis produksi terbaik.
Menurut Adih, ide awalnya film ini adalah dari
apa yang ia lihat di jalanan. Baginya karya-karya poster Anti Tank bisa
menggugahnya untuk melek akan persoalan sekitar. “Dengan film ini kami ingin
mendokumentasikan Anti Tank lewat film. Kami juga ingin menyampaikan siapa yang
ada dibalik poster-poster tersebut, dan bagaimana persepsi si street artist
dalam membuat karyanya,” ungkap mahasiswa semester 9 FSMR ISI Yogyakarta ini usai
pemutaran.
Pada awalnya, Adih dan kawan-kawannya mengaku sulit untuk mengontak Andrew. Setelah bertemu pun, ada cukup banyak
persyaratan dari Andrew sebelum membuat film itu, di antaranya proposal dari
kampus, dan Kartu tanda bukti mahasiswa. Blues Film sendiri adalah kelompok tugas
dokumenter FSMR ISI Yogyakarta yang mewajibkan mahasiswanya untuk membuat
karya. “Ini adalah karya dokumenter pertama blues film, sebelumnya kami membuat
fiksi atau videoklip,” ujar sutradara muda kelahiran Curup Bengkulu pada tahun 1991
ini. Menurutnya dari
penghargaan yang didapat, masih ada dana untuk melanjutkan dokumenter ini
menjadi film panjang tentang Anti Tank. (*)
*****
Testimoni
Andi RHARHARHA*
Founder Indonesian Street Art Database (ISAD)
Anti Tank adalah sosok figur Seniman muda yang tiba-tiba membawa saya pada sebuah cerita bersejarah. Cerita tersebut tentang semangat inisiatif seni dan aktivisme di masa perjuangan kemerdekaan 1945, salah satu catatan sejarah tentang peran partisipasi Seniman dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia . Di antara contohnya adalah ketika Affandi mendapat tugas membuat poster propaganda dari Bung Karno. Affandi mengajak S.Sudjojono, Dullah, dan Chairil Anwar, maka lahirlah poster propaganda kemerdekaan yang sangat bersejarah. Poster “Boeng, Ajo Boeng“ yang bergambar orang di rantai tapi berhasil putus, menggengam bambu runcing dengan bendera merah putih berkibar diujungnya.
Semangat Anti Tank menurut saya hampir serupa, sebagai warga negara dan sosok seniman muda masa kini yang dengan sadar memakai karyanya, yaitu Poster propaganda di ruang kota untuk memperjuangkan ketidakadilan yang terjadi di Indonesia. Walaupun ada perbedaan yang sangat jelas dan memprihatinkan, ketika dulu para pejuang dan seniman ikut berjuang untuk melawan penjajah asing, sekarang Anti Tank melalui karyanya berjuang untuk melawan ketidakadilan yang dilakukan oleh sesama warga negaranya sendiri, yang atas nama kuasa mereka tega menghancurkan bangsa ini dengan korupsi bahkan sampai dengan tega menghilangkan nyawa orang lain.
Di jaman kemerdekaan dulu banyak seniman dan pejuang yang tidak dikenal, karena saat beraksi mereka lakukan dengan gerilya agar tidak diketahui oleh musuh. Tetapi Anti Tank sekarang kita semua tahu, dia seorang lelaki yang bernama Andrew Lumban Gaol yang memilih sikap dan jalannya untuk berjuang secara terang-terangan, baik di ruang kota dan juga kemunculannya di media nasional, baik televisi dan media cetak .
Karya Anti Tank adalah senjata mematikan bagi para musuhnya di ruang publik, semoga Anti Tank sadar managemen resiko, tetap waspada dan mempunyai tameng sakti, baik secara bantuan hukum dan kekuatan bina raga, agar suatu waktu siap menghadapi musuhnya yang balik menyerang tiba-tiba atas nama kuasa. Jangan takut dan jangan pernah berhenti berkarya melipatgandakan inspirasi seni dan aktivisme untuk ketidakadilan dan kemanusiaan di ruang kota. (*)
*Sekarang mendapat beasiswa sebagai Mahasiswa di Pascasarjana IKJ “Seni Urban & Industri Budaya“
BACA JUGA: street art bukan sampah visual
No comments:
Post a Comment