Friday, April 8, 2011

Kampus Tercinta, Memang Begitu Namanya

seperti yang pernah dimuat di jurnal www.akumassa.org, Rabu, 24 Februari 2010

Gerimis sore itu tiba-tiba saja menderas menjadi hujan dan membasahi sudut sebuah gedung yang katanya kampus publisistik/ jurnalistik tertua di Indonesia. Kampus ini berdiri pada tahun 1953 di Jakarta. Sebelumnya kampus ini terletak di kawasan Menteng, Jakarta Pusat dan sejak tahun 1981 mulai melaksanakan kegiatan akademik di gedung sendiri di Lenteng Agung, Jakarta Selatan.


Aku memang masih sering datang ke kampus karena biasanya tiap Sabtu sore banyak kawan-kawan seangkatan yang nongkrong disana untuk sekedar ngerumpi dan bertukar cerita. Namun tak biasanya kawan-kawanku belum ada yang datang, hanya ada beberapa kawan yang duduk-duduk, kebetulan mereka memang masih terdaftar sebagai mahasiswa di sana. Hujan pun semakin deras dan tak biasanya aku merasa “mati gaya” berada di kampus.



Sudut kampus tempatku biasa nongkrong merupakan tikungan yang menghubungkan gedung belakang ke pintu gerbang yang hanya satu di kampus itu. Tembok yang berbentuk seperti bata merah biasa menjadi tempat bersandar ketika nongkrong, terkadang tembok itu juga dicorat-coret yang berisi curahan hati tentang perkuliahan atau sekedar gosip percintaan. Sudut itu biasa disebut “Tikma” yang berarti “tikungan maut”, entah sejak kapan disebut begitu, yang jelas sejak aku kuliah di sana sepuluh tahun yang lalu, kata tersebut belum akrab di telingaku. mungkin nama itu berasal dari anak-anak yang nongkrong di sanaMahasiswa yang nongkrong di “Tikma” biasanya adalah angkatan tua.

Waktu pertama masuk kampus itu, aku memang agak menghindar untuk lewat sana. Budaya senioritas memang tak ada, namun wajah angkatan tua yang sangar-sangar membuat mahasiswa baru segan lewat lokasi tersebut. Para wanita yang melewati “Tikma” juga kerap ‘dirayu’ oleh mereka. Waktu pun berputar, generasi berganti, membawaku dan kawan-kawan akhirnya nongkrong di sana juga.

Hujan belum juga reda, sambil menunggu datangnya kekasih dan kawan-kawan yang biasa nongkrong, aku mengaktifkan pemutar musik di mp3. Kali ini kebetulan lagu “A Rainy Night In Soho” milik The Pogues yang terdengar di telinga. Pada bagian lirik “We watched our friends grow up together, And we saw them as they fell, Some of them fell into Heaven, Some of them fell into Hell”, sekilas khayalanku berputar balik ke sepuluh tahun silam sejak pertamaku menginjakkan kaki di kampus tersebut.

klik: A Rainy Night In Soho - The Pogues

Banyak sudah kawan-kawan yang kini tumbuh sukses di bidangnya masing-masing. Rata-rata alumni maupun yang tak pernah lulus dari kampus tersebut berprofesi sebagai wartawan di berbagai media massa, namun ada juga yang kini menjabat di Parlemen, menjadi artis Ibukota, menjelma menjadi seniman, bahkan ada yang menjadi guru ngaji TPA (Taman Pedidikan Al-Qur’an) di kampungnya atau sekedar menjadi pengangguran banyak acara sepertiku. Memang banyak orang sukses yang pernah kuliah di kampus tersebut. Iwan Fals, penyanyi folk yang memiliki banyak penggemar fanatik pun pernah tercatat sebagai mahasiswa Kampus Tercinta.


Entah karena pertimbangan apa, pihak kampus seringkali memamerkan wajah-wajah orang terkenal yang katanya “alumni” di banner besar gerbang kampus. Apakah jurusan publisistik/ jurnalistik sudah kehilangan daya tarik sehingga perlu ditopang oleh ikon-ikon tersebut.


Ketika lulus SMU, aku memang tidak mengikuti UMPTN (Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri). Walaupun guru pembimbingku mempromosikanku untuk masuk ke salah satu PTN (Perguruan Tinggi Negeri) jurusan seni rupa di Jakarta, namun pilihanku tertuju pada beberapa kampus seni rupa di Bandung dan Yogyakarta, selain itu aku juga mendaftar di salah satu kampus jurusan sinema di Jakarta. Sewaktu SMU, aku memang bekerja sebagai karikaturis di salah satu tabloid remaja Ibukota. Redakturnya saat itu menyarankan agar aku mendaftar jurusan jurnalistik di STP (Sekolah TInggi Publisistik) Lenteng Agung.

Setelah diselidiki, ternyata sejak 1985 dengan SK Mendikbud No. 0333/O/1985, bentuk Sekolah Tinggi Publisistik (STP) dikembangkan menjadi Institut dengan nama Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (IISIP) Jakarta. Dengan mengendarai sepeda motor dan ditemani karibku di SMU, aku mencari kampus yang katanya biasa mencetak para wartawan handal itu. Tak terlalu sulit memang mencari kampus itu, walau tembok depannya ditutupi pepohonan yang lebat namun masyarakat sekitar semua tahu letak keberadaannya.


Melihat gerbangnya, sekilas tampak seperti pabrik di mana banyak buruh di dalamnya yang bergejolak menuntut kenaikan upah. Ketika berdiri di jendela ruang administrasi yang kala itu diteralis besi, petugasnya berkata bahwa pendaftaran akan segera ditutup tiga hari lagi. Akhirnya niat sekedar mengambil brosur terpaksa bergeser dengan mambayar uang pendaftaran mahasiswa baru sebesar Rp. 75.000,-. Uang disaku saat itu hanya berjumlah Rp 50.000,- dan karibku menambal sisanya. Beberapa minggu setelah menjalani tes penerimaan mahasiswa baru, aku dinyatakan lulus. Di kampus lain yang juga sudah terdaftar namaku di dalamnya sebagai calon mahasiswa baru, harus kutinggalkan. Karena alasan biaya masuk yang terjangkau dan masih bisa bekerja di tabloid remaja Ibukota, aku memilih IISIP sebagai tempat melanjutkan pendidikanku.

Di hari pertama kuliah, aku harus benar-benar beradaptasi dengan teman-teman yang 100% belum pernah kukenal sama sekali. Duduk di bangku kuliah memang berbeda dengan SMU. Dahulu para guru di SMU selalu menegurku ketika baju dikeluarkan dan digulung lengannya. Mereka juga tak bosan selalu menegur gaya rambut dan merampas gelang, kalung yang selalu kukenakan sebagai aksesoris. Namun dibangku kuliah, para dosen tak lagi peduli dengan gaya rambut, berpakaian apalagi gaya hidup mahasiswanya. Bagi mereka yang penting hadir di kelas tanpa absen minimal tiga kali, mengerjakan tugas kuliah dan nilai yang baik saat ujian. Setelah beberapa bulan kuliah, tabloid tempatku bekerja terpaksa gulung tikar, entah karena persaingan media memang ketat atau apa, sampai saat ini aku kurang tahu penyebabnya. Peristiwa ini membuatku fokus kuliah dan lebih banyak menghabiskan waktu di Lenteng Agung.
Tujuh tahun kemudian, akhirnya aku lulus juga dengan predikat biasa-biasa saja. Banyak teman beserta pengalaman manis dan pahit di kampus itu. Sejenak lirik “A Rainy Night In Soho” bertutur “I’m not singing for the future, I’m not dreaming of the past, I’m not talking of the first time, I never think about the last” menusuk telingaku. Ya, aku memang tidak ingin bermimpi dari masa lalu, aku juga tidak pernah berkhayal tentang masa depan. Tak lama kekasihku datang dengan senyuman sambil membawa setumpuk hardcover skripsinya yang sudah ditandatangani dosen pengujinya. Ia mengajakku jalan-jalan di Sabtu malam meninggalkan Kampus Tercinta. Kusebut demikian bukan karena kecintaanku yang besar dengan kampus tersebut, tetapi memang namanya demikian, Yayasan Kampus Tercinta Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jakarta.

No comments:

Post a Comment

Featured