SAYA memang awam dengan Islam, namun sebagai
bentuk ‘kebudayaan’, adalah penting bagi saya untuk mengapresiasi musik, lukisan, sastra, bahkan
fashion dari agama yang dibawa oleh Rasul Allah Muhammad SAW ini. Zaman kontemporer
ini, banyak kesenian Islam yang masih sekedar topeng, bahkan parahnya menjadi
ajang kepentingan industri untuk meraih keuntungan finansial. Bisa kita lihat
bagaimana karya lukisan, novel, lagu, film, apalagi sinetron hanya menggunakan ‘simbol’
yang dianggap representasi Islam, sebut saja peci, gamis, jilbab, sajadah, dan lainnya.
Di bulan Ramadan ini adalah kesempatan para pelaku industri untuk mengemas
apapun yang berbau Islami untuk dijual.
Di dunia mainstream, belum banyak karya-karya yang menggali akar-akar
terdalam nilai ‘Islami’. Oke, nggak usah terlalu banyak membahas kesenian Islam
‘Kekinian’. Sebab selain saya bukan seniman dan kritikus seni, saya juga bukan
ulama dan anggota MUI yang berhak memutuskan mana seni Islam yang ‘benar’ dan
seni Islam yang ‘palsu’.
Di agama Islam sendiri, yang saya tahu masih ada polemik yang
menyatakan kehalalan bermain musik. Namun dari perspektif kesufian, musik
adalah suara jiwa, sehingga para sufi menggunakan instrumen puisi dan prosa
dalam mencapai Kesejatian Diri, penyatuan dengan Sang Pencipta. Para Sufi dari
berbagai bangsa dan negara tentunya memainkan musik yang beragam, dan sesuai
dengan kebudayaan yang ada pada mereka. Banyaknya
ragam dan alat musik yang digunakan, adalah karakteristik masing-masing sufi
untuk membangkitkan Cinta kepada Sang Khalik.
Untuk kebutuhan rohani dan batin ini, sejak delapan tahun terakhir
ini saya mencoba koleksi beberapa musik sufi dalam bentuk kaset, maupun hasil
mengunduh di internet. Saya selalu ingin mencoba pahami berbagai warna musik nan
menghanyutkan ini. Dalam tradisinya, musik Sufi adalah sarana pendekatan kepada
Allah. Di antara musik sufi yang saya dengar, ada enam nama yang benar-benar
saya sukai dan dengar sehari-hari, terutama di tiap Kamis malam hingga Jumat
siang.
Ottoman Empire Soundsystem
Pernah dengar Shalawat Nabi dengan irama reggae? sebelumnya
saya hanya bisa menghayal untuk memainkannya, namun sekelompok sufi muda dari
Jerman berhasil memadukannya dengan apik. Saya menemukan grup ini setelah
berselancar dan mengagumi sosok Matisyahu sang rabbi Yahudi yang mengampanyekan
perdamaian lewat lirik-lirik dan irama reggae-nya.
Juli 2012 lalu, grup musik yang digawangi Chaldun (Gitar
& Vokal), Suleyman (Bass & Vokal), Bilal (Saxophone, Perkusi &
Vokal), Lukas (Bubblin keys), dan Manu (Drum) ini menelurkan albumnya berjudul ‘Today’s
Guest’. Musik mereka seperti racikan musim panas di siang bolong dengan sedikit
nuansa Arab, dimana kamu bisa melihat para darwis berputar dan terbang diiringi
rhytm Afrika yang energik.
Hal ini memuncak menjadi perpaduan unik dari musik yang belum
pernah saya lihat sebelumnya. Ada sesuatu yang tersembunyi bagi semua orang untuk
menyerap dan mencicipi manisnya inti spiritualitas di setiap lagu mereka.
Kelima pemuda asal Freiburg im Breisgau ini memainkan Reggae,
Ska, Latin, Polka, Rhumba, Hip Hop, hingga World Music yang dipengaruhi Manu Chao,
Tiken Jah Fakoly, dan Jamaram. Mereka telah tur di Inggris pada event Spiritual Indoor Music Festival 2009, dan baru-baru ini bermain di Bristol,
Glastonbury di mana penonton menerimanya dengan kehangatan. Sejak setahun lalu saya
berkirim surat elektronik dengan Chaldun agar mereka sudi untuk datang dan
mengadakan tur di Indonesia, semoga saja itu bisa cepat terjadi. Penaklukan
baru saja dimulai, tetapi bukan dengan pedang, melainkan dengan Cinta.
DEBU
Gerombolan sufi dari berbagai negara mendarat di Indonesia
awal tahun 2000-an lalu. Mereka menamakan kelompok musiknya Debu yang saat ini
beranggotakan 12 orang. Sebagian besar anggotanya berasal dari Amerika Serikat,
ada juga yang asli Swedia, Inggris, dan juga anggota dari Indonesia. Di Amerika
Serikat, nama kelompok musik mereka adalah ‘Dust on the Road’ (Debu di Jalanan).
Personel ‘Dust on the Road’ adalah orang tua sebagian besar personel Debu yang
sekarang.
Nuansa musik Debu kaya akan dentaman rebana pada paduan
alunan irama ala Timur Tengah, country,jazz dan world music. Pertama kali album
mereka keluar ‘Makin Cinta’ (2003) saya langsung jatuh cinta, bukan karena sekedar
musiknya yang belum pernah saya dengar sebelumnya saat itu, tapi karena
artwork-nya yang riang gembira.
Tak lama, mereka menelurkan album kedua ‘Makin Mabuk’ (2004) yang
berisi 13 lagu. lagu pembuka “Pesta Asyik” diawali dengan lirik yang menghasut
untuk mengajak kita berputar bersama semesta. “Sudah mulai pesta kawan, dan
Anggur sudah dituangkan..”
Lagu lainnya, “Angin Sepoi-sepoi”, “Biduan IstanaNya”, “Mabuk-Mabuk”, dan
“Ucapkanlah Bersama” adalah favorit saya sebelum berkencan denganNya. Berbagai
alat musik dari berbagai negara mewarnai keragaman musik mereka, ada santur (Iran),
tambura (Turki), gendok-gendok (Sulawesi Selatan) yang dipadukan dengan petikan
harpa, gesekan biola, betotan bass dan berbagai jenis perkusi.
Soal lirik, Debu sangat sufistik, mistis, seolah membaca
kembali kisah Rumi yang mabuk cinta dan kerinduan pada Allah SWT. Mereka berada
di bawah bimbingan Syekh Fattaah, pendiri sekaligus guru tasawwuf mereka. Mereka
hijrah ke Indonesia pada tahun 1999.
Mustafa, sang vokalis adalah pencipta kebayakan lagu-lagu
yang dibawakan Debu. Menurutnya, orang-orang sekarang mengenal musik sufi sama
seperti yang dibawakan oleh orang-orang sufi pada jamannya. Menurutnya musik
sufi sendiri itu tetap, hanya saja jenis-jenis musiknya itu tergantung
negaranya.
Pada 2006, Debu merilis album ketiga ‘Nyawa dan Cinta’. Track
favorit saya adalah “Dendang Sufi”, dan “Kami Tak Keluar”, meski semua lagu di
album ini cukup baik. Album ‘Gubahan Pecinta’ dirilis setahun kemudian dan
berisi 13 lagu dalam bahasa Indonesia, Turki, Arab, Inggris, Cina, dan bahasa
Italia. Di album ini Debu juga mengeluarkan buku berisi kumpulan syair Syekh
Fattaah dalam berbagai bahasa.
Lagu-lagu Debu bercerita tentang manusia-manusia yang mabuk
cinta. Bagi siapa saja yang mabuk cinta ilahi,
siapapun yang datang dihadapannya adalah penjelmaan cinta ilahinya.
Namun sayang, seringnya mereka tampil di acara televisi, bahkan langganan di
bulan Ramadan, bagi saya mengurangi aura mistisisme mereka, mungkin ini metode
mereka untuk menebarkan isi syair mereka ke masyarakat yang lebih luas, silakan
saja.
KIAI KANJENG
SETIAP sebulan sekali, pada Jumat malam, bersama beberapa
teman, saya selalu datang ke Taman Ismail Marzuki (TIM) untuk merasakan Kenduri
Cinta. Di sanalah saya berkenalan dengan Kiai Kanjeng. Kelompok musik ini
sebenarnya adalah bagian dari pekerjaan sosial Emha Ainun Nadjib langsung di
lapangan masyarakat, terutama ‘grassroot’ dan menengah bawah. Kegiatan yang meliputi
budaya, keagamaan, spiritual, social problem solving, pendidikan politik dan
sebagainya, Cak Nun dan Kiai Kanjeng hadir sebagai “sahabat masyarakat” yang
berposisi independen penuh.
Yang saya suka dari kelompok ini adalah kedekatannya dengan berbagai
kelompok masyarakat di hampir semua wilayah Indonesia, yang tidak terbatas
aliran politiknya, jenis dan mazhab keagamaannya, suku dan golongannya.
Sebongkah kaset bertajuk Maiyah pun berhasil saya temukan di toko musik bawah
tanah kawasan Blok M, Album yang ditujukan untuk meminta
keselamatan bangsa ini berisi shalawat dan wirid, keseluruhannya didendangkan
dengan iringan musik tradisional yang dikombinasikan oleh musik Arabia. Aransemen
Thala ‘al Badru adalah favorit saya, seolah menunggangi kuda putih dan berlari
cepat di atas samudera.
Eksplorasi musik KiaiKanjeng diwarnai dengan musik
tradisional Jawa, Sunda, Melayu dan Cina, termasuk penggalian dari berbagai
etnik lain seperti Madura, Mandar, Bugis dan lainnya. Berulang kali, mereka tampil
dalam Festival Gamelan Internasional, dan juga tidak menutup diri untuk
memainkan nomer-nomer Barat modern, pop, blues, jazz, juga dangdut.
Fana-Fi-Allah
Dalam terminologi sufi, Fana-Fi-Allah berarti Penyirnaan makhluk pada
Tuhan. Mungkin inilah yang paling ‘ekstim’ di antara kelompok musik yang saya sebutkan sebelumnya, atau mungkin mereka akan menjadi korban
pemboikotan ormas Islam selanjutnya, setelah Lady Gaga. Sekelompok
pemuda dari California ini berambut gimbal, namun mereka bermain musik sufi
Qawali bukan Roots Reggae. Tapi jangan biarkan mereka menipu secara penampilan,
karena Fanna-Fi-Allah sangat berbakat memainkan musik Qawali ala Nusrat Fateh
Ali Khan. Syair-syair Rumi, serta sufi Persia besar India, Baba Farid dan
Mouinudin Chisti mereka jadikan pijakan dalam penyampaian lirik.
Tahir Qawwali, yang bernama asli Geoffrey Lyons ini mulai
mengeksplorasi musik Timur sejak remaja, ia dipengaruhi oleh The Beatles ketika
legenda rock asal Liverpool itu bereksperimen dengan instrumen India. "Banyak
orang melirik musik alternatif, dan saya benar-benar masuk ke Upanishad untuk
mempelajari bahasa Sansekerta dan musik tradisional klasik Hindustani,” ujar
Tahir dalam websitenya.
Pada usia 16 tahun, setelah mempelajari tabla selama dua tahun, Tahir berkelana sendirian ke India, di sana ia belajat teori musik dari guru pertamanya, Pundit Pashupati Nath Mishra. Selain musik, Tahir juga belajar sendiri bahasa Hindi, Punjabi dan Urdu.
Pada usia 16 tahun, setelah mempelajari tabla selama dua tahun, Tahir berkelana sendirian ke India, di sana ia belajat teori musik dari guru pertamanya, Pundit Pashupati Nath Mishra. Selain musik, Tahir juga belajar sendiri bahasa Hindi, Punjabi dan Urdu.
Setelah belajar di India, Tahir hijrah ke Pakistan dan menjadi
murid Nusrat Fateh Ali Khan dan Muazzam Ali Khan. Menyoal sufi yang berambut
dreadlock, di Senegal terdapat sebuah tarekat sufi sub dari Tarekat Sufi
Qadiriyyah bernama Baye Fall, gerakan ini lahir sekitar tahun 1800. pendiri
gerakan Baye Fall adalah Syekh Ibrahima Fall. ia mengajarkan murid-muridnya
bahwa kewajiban agama Islam tidak cukup untuk mereformasi dan menghaluskan jiwa.
Namun juga diperlukan untuk melakukan pekerjaan di komunitasnya. Tradisi Baye
Fall dikenal dengan berbagai kerja keras mereka yang komunal seperti budidaya
kacang tanah serta manufaktur garmen. Umumnya hasil dari karya-karya ini
kembali ke membantu masyarakat luas yang mereka layani. Dreadlock (gimbal)
panjang mereka yang disebut ‘ndiange’ berarti 'rambut kuat'. Menurut mereka ‘ndiange’
melambangkan kesopanan dan reservasi kesadaran dari dunia material.
Perlu dicatat bahwa Baye Fall memiliki akar bagi kebudayaan
Afrika di akhir 1800-an. Rabut Gimbal juga ditemukan dalam berbagai
persaudaraan Sufi lainnya di seluruh dataran Afrika Utara, Selatan, Timur, dan
Barat.
Haqqani Rabbani Band
Bersenjatakan musik dan iman, Haqqani Rabbani Band adalah kelompok
pejuang Cinta. Melalui bahasa universal musik, Haqqani Rabbani Band ingin
berbagi Cinta, akan kehadiranNya di antara kita.
Ekspresi cinta dari album mereka "From Rabbani With
Love", berdasarkan pada puisi sejarah Islam yang dikenal sebagai Shalawat,
atau pujian untuk Sayidina Rasulullah Muhammad SAW. Mereka menguraikanya dalam
gaya yang lebih modern dan fleksibel, tetapi juga menjaga unsur tradisional.
Didirikan pada Maret 2006, Haqqani Rabbani meluncurkan album
pertamanya akhir 2007 lalu, band ini terbentuk karena cinta yang datang dari
hati Guru mereka, dan terbentuk sebagai tanda penghargaan kepada semua manusia.
Grup ini berbasis di Jakarta, sekitar 2006 lalu, beberapa kali saya berkunjung
ke Rumi Café di kawasan Blok M, dan Zawiyah Tarekat Haqqani di bilangan Cinere.
Dua gitaris yang ikut bermain di kelompok ini cukup saya kenal yaitu, Sangkan,
dan Edi Kemput. Sebelumnya, mereka terkenal di ranah musik Rock, Sangkan adalah
jebolan gitar klinik yang juga pernah membantu grup metal legendaris Rotor, sedangkan
Edy Kemput adalah mantan gitaris Grass Rock.
Itulah beberapa grup musik sufi yang berhasil membuat saya
selalu mengingat Keesaan Yang Maha Ada. Selain nama-nama tersebut, saya juga
mengagumi sosok Salman Al Jugjawy (Sakti eks-Sheila On 7) yang memilih jalur
musik nasyid. Musik yang ditawarkan mantan gitaris Sheila On 7 ini sekilas
merujuk pada musik Yusuf Islam setelah mengganti namanya dari Cat Stevens. Hingga
tulisan ini diunduh, saya masih menunggu kiriman album perdana Chandra Malik
bertajuk kidung sufi ‘Samudera Cinta’ yang baru saya order beberapa hari lalu.
Sambil menunggu album tersebut, saya ingin mendengar kembali
lagu rohani yang pertama kali saya beli ‘Cinta Rasu’ (Haddad Alwi & Sulis),
musik mereka cukup mistis jika diputar dengan volume rendah dan lampu lima
watt, namun jangan coba-coba memutarnya dengan volume keras, sebab kalian akan
disangka panitia pembangunan mesjid di jalan-jalan raya. Apalagi kalau memutar
album tersebut via toa yang mesjid dengan tingkat ke 'sember'an yang maksimum.
** Teks dan Foto disadur dan diterjemahkan dari berbagai sumber, saya cukup malas untuk bikin catatan kaki, mohon maaf jika ada yang kurang berkenan, yang salah saya punya nafsu, yang benar dari Sang Cahaya
Baca Juga:
Ganja Menuju Manunggaling Kawulo Gusti
Gimbal: simbol pemberontakan magis
Rotor: Musik Metal, dan Dakwah Islam Non Komersial
Baca Juga:
Ganja Menuju Manunggaling Kawulo Gusti
Gimbal: simbol pemberontakan magis
Rotor: Musik Metal, dan Dakwah Islam Non Komersial
Grup "Republik Cinta"-nya Pak Jenggot gak masuk ke dalam kategori "huuu" musik ya? Huehue :p
ReplyDeleteAda album debu yang baru pe, "dianggap gila"..coba lo denger lagunya yang "malam ini" yakin akan moksa loh..hahhahaa
ReplyDeletehi hi...keerennn mas Rustammm
ReplyDeleteSaya tdk ykin sufi nih,nih mau mnidurkan umat islam,
ReplyDeleteKiai Kanjeng di Jogja juga ada semacam pagelaran dan pertemuan rutinnya, mas. Di Jakarta namanya Kenduri Cinta, di Jogja namanya Mocopat Syafaat. Tiap malam tanggal 17, di halaman TK asuhan Emha di Bantul.
ReplyDeleteSekedar berbagi juga mas, saya juga termasuk penikmat sajian musik Sufi, saya sering mendengarkan Shaam di album Mawlid at Abbey Road, dan Nader Khan... sensasinya menyegarkan spiritual tatkala kering. :D
ReplyDeleteBand stoner rock/doom OM yg haqul yaqin ama sinai enak buat spiritual trip
ReplyDelete