Saturday, July 28, 2012

Tentang Musik, Sufi, dan Cinta



SAYA memang awam dengan Islam, namun sebagai bentuk ‘kebudayaan’, adalah penting bagi saya untuk mengapresiasi musik, lukisan, sastra, bahkan fashion dari agama yang dibawa oleh Rasul Allah Muhammad SAW ini. Zaman kontemporer ini, banyak kesenian Islam yang masih sekedar topeng, bahkan parahnya menjadi ajang kepentingan industri untuk meraih keuntungan finansial. Bisa kita lihat bagaimana karya lukisan, novel, lagu, film, apalagi sinetron hanya menggunakan ‘simbol’ yang dianggap representasi Islam, sebut saja peci, gamis, jilbab, sajadah, dan lainnya. Di bulan Ramadan ini adalah kesempatan para pelaku industri untuk mengemas apapun yang berbau Islami untuk dijual.





Di dunia mainstream, belum banyak karya-karya yang menggali akar-akar terdalam nilai ‘Islami’. Oke, nggak usah terlalu banyak membahas kesenian Islam ‘Kekinian’. Sebab selain saya bukan seniman dan kritikus seni, saya juga bukan ulama dan anggota MUI yang berhak memutuskan mana seni Islam yang ‘benar’ dan seni Islam yang ‘palsu’.

Di agama Islam sendiri, yang saya tahu masih ada polemik yang menyatakan kehalalan bermain musik. Namun dari perspektif kesufian, musik adalah suara jiwa, sehingga para sufi menggunakan instrumen puisi dan prosa dalam mencapai Kesejatian Diri, penyatuan dengan Sang Pencipta. Para Sufi dari berbagai bangsa dan negara tentunya memainkan musik yang beragam, dan sesuai dengan kebudayaan yang ada  pada mereka. Banyaknya ragam dan alat musik yang digunakan, adalah karakteristik masing-masing sufi untuk membangkitkan Cinta kepada Sang Khalik.


Untuk kebutuhan rohani dan batin ini, sejak delapan tahun terakhir ini saya mencoba koleksi beberapa musik sufi dalam bentuk kaset, maupun hasil mengunduh di internet. Saya selalu ingin mencoba pahami berbagai warna musik nan menghanyutkan ini. Dalam tradisinya, musik Sufi adalah sarana pendekatan kepada Allah. Di antara musik sufi yang saya dengar, ada enam nama yang benar-benar saya sukai dan dengar sehari-hari, terutama di tiap Kamis malam hingga Jumat siang.

Ottoman Empire Soundsystem

Pernah dengar Shalawat Nabi dengan irama reggae? sebelumnya saya hanya bisa menghayal untuk memainkannya, namun sekelompok sufi muda dari Jerman berhasil memadukannya dengan apik. Saya menemukan grup ini setelah berselancar dan mengagumi sosok Matisyahu sang rabbi Yahudi yang mengampanyekan perdamaian lewat lirik-lirik dan irama reggae-nya.




Juli 2012 lalu, grup musik yang digawangi Chaldun (Gitar & Vokal), Suleyman (Bass & Vokal), Bilal (Saxophone, Perkusi & Vokal), Lukas (Bubblin keys), dan Manu (Drum) ini menelurkan albumnya berjudul ‘Today’s Guest’. Musik mereka seperti racikan musim panas di siang bolong dengan sedikit nuansa Arab, dimana kamu bisa melihat para darwis berputar dan terbang diiringi rhytm Afrika yang energik.

Hal ini memuncak menjadi perpaduan unik dari musik yang belum pernah saya lihat sebelumnya. Ada sesuatu yang tersembunyi bagi semua orang untuk menyerap dan mencicipi manisnya inti spiritualitas di setiap lagu mereka.













Kelima pemuda asal Freiburg im Breisgau ini memainkan Reggae, Ska, Latin, Polka, Rhumba, Hip Hop, hingga World Music yang dipengaruhi Manu Chao, Tiken Jah Fakoly, dan Jamaram. Mereka telah tur di Inggris pada event Spiritual Indoor Music Festival 2009, dan baru-baru ini bermain di Bristol, Glastonbury di mana penonton menerimanya dengan kehangatan. Sejak setahun lalu saya berkirim surat elektronik dengan Chaldun agar mereka sudi untuk datang dan mengadakan tur di Indonesia, semoga saja itu bisa cepat terjadi. Penaklukan baru saja dimulai, tetapi bukan dengan pedang, melainkan dengan Cinta.

DEBU

Gerombolan sufi dari berbagai negara mendarat di Indonesia awal tahun 2000-an lalu. Mereka menamakan kelompok musiknya Debu yang saat ini beranggotakan 12 orang. Sebagian besar anggotanya berasal dari Amerika Serikat, ada juga yang asli Swedia, Inggris, dan juga anggota dari Indonesia. Di Amerika Serikat, nama kelompok musik mereka adalah ‘Dust on the Road’ (Debu di Jalanan). Personel ‘Dust on the Road’ adalah orang tua sebagian besar personel Debu yang sekarang.  

Nuansa musik Debu kaya akan dentaman rebana pada paduan alunan irama ala Timur Tengah, country,jazz dan world music. Pertama kali album mereka keluar ‘Makin Cinta’ (2003) saya langsung jatuh cinta, bukan karena sekedar musiknya yang belum pernah saya dengar sebelumnya saat itu, tapi karena artwork-nya yang riang gembira.








Tak lama, mereka menelurkan album kedua ‘Makin Mabuk’ (2004) yang berisi 13 lagu. lagu pembuka “Pesta Asyik” diawali dengan lirik yang menghasut untuk mengajak kita berputar bersama semesta. “Sudah mulai pesta kawan, dan Anggur sudah dituangkan..”

Lagu lainnya, “Angin Sepoi-sepoi”,  “Biduan IstanaNya”, “Mabuk-Mabuk”, dan “Ucapkanlah Bersama” adalah favorit saya sebelum berkencan denganNya. Berbagai alat musik dari berbagai negara mewarnai keragaman musik mereka, ada santur (Iran), tambura (Turki), gendok-gendok (Sulawesi Selatan) yang dipadukan dengan petikan harpa, gesekan biola, betotan bass dan berbagai jenis perkusi.



Soal lirik, Debu sangat sufistik, mistis, seolah membaca kembali kisah Rumi yang mabuk cinta dan kerinduan pada Allah SWT. Mereka berada di bawah bimbingan Syekh Fattaah, pendiri sekaligus guru tasawwuf mereka. Mereka hijrah ke Indonesia pada tahun 1999.

Mustafa, sang vokalis adalah pencipta kebayakan lagu-lagu yang dibawakan Debu. Menurutnya, orang-orang sekarang mengenal musik sufi sama seperti yang dibawakan oleh orang-orang sufi pada jamannya. Menurutnya musik sufi sendiri itu tetap, hanya saja jenis-jenis musiknya itu tergantung negaranya.


Pada 2006, Debu merilis album ketiga ‘Nyawa dan Cinta’. Track favorit saya adalah “Dendang Sufi”, dan “Kami Tak Keluar”, meski semua lagu di album ini cukup baik. Album ‘Gubahan Pecinta’ dirilis setahun kemudian dan berisi 13 lagu dalam bahasa Indonesia, Turki, Arab, Inggris, Cina, dan bahasa Italia. Di album ini Debu juga mengeluarkan buku berisi kumpulan syair Syekh Fattaah dalam berbagai bahasa.
                                                                                                               
Lagu-lagu Debu bercerita tentang manusia-manusia yang mabuk cinta. Bagi siapa saja yang mabuk cinta ilahi,  siapapun yang datang dihadapannya adalah penjelmaan cinta ilahinya. Namun sayang, seringnya mereka tampil di acara televisi, bahkan langganan di bulan Ramadan, bagi saya mengurangi aura mistisisme mereka, mungkin ini metode mereka untuk menebarkan isi syair mereka ke masyarakat yang lebih luas, silakan saja.

KIAI KANJENG

SETIAP sebulan sekali, pada Jumat malam, bersama beberapa teman, saya selalu datang ke Taman Ismail Marzuki (TIM) untuk merasakan Kenduri Cinta. Di sanalah saya berkenalan dengan Kiai Kanjeng. Kelompok musik ini sebenarnya adalah bagian dari pekerjaan sosial Emha Ainun Nadjib langsung di lapangan masyarakat, terutama ‘grassroot’ dan menengah bawah. Kegiatan yang meliputi budaya, keagamaan, spiritual, social problem solving, pendidikan politik dan sebagainya, Cak Nun dan Kiai Kanjeng hadir sebagai “sahabat masyarakat” yang berposisi independen penuh.


Yang saya suka dari kelompok ini adalah kedekatannya dengan berbagai kelompok masyarakat di hampir semua wilayah Indonesia, yang tidak terbatas aliran politiknya, jenis dan mazhab keagamaannya, suku dan golongannya. Sebongkah kaset bertajuk Maiyah pun berhasil saya temukan di toko musik bawah tanah kawasan Blok M, Album yang ditujukan untuk meminta keselamatan bangsa ini berisi shalawat dan wirid, keseluruhannya didendangkan dengan iringan musik tradisional yang dikombinasikan oleh musik Arabia. Aransemen Thala ‘al Badru adalah favorit saya, seolah menunggangi kuda putih dan berlari cepat di atas samudera.




Eksplorasi musik KiaiKanjeng diwarnai dengan musik tradisional Jawa, Sunda, Melayu dan Cina, termasuk penggalian dari berbagai etnik lain seperti Madura, Mandar, Bugis dan lainnya. Berulang kali, mereka tampil dalam Festival Gamelan Internasional, dan juga tidak menutup diri untuk memainkan nomer-nomer Barat modern, pop, blues, jazz, juga dangdut.

Fana-Fi-Allah

Dalam terminologi sufi, Fana-Fi-Allah berarti Penyirnaan makhluk pada Tuhan.  Mungkin inilah yang paling ‘ekstim’ di antara kelompok musik yang saya sebutkan sebelumnya, atau mungkin mereka akan menjadi korban pemboikotan ormas Islam selanjutnya, setelah Lady Gaga. Sekelompok pemuda dari California ini berambut gimbal, namun mereka bermain musik sufi Qawali bukan Roots Reggae. Tapi jangan biarkan mereka menipu secara penampilan, karena Fanna-Fi-Allah sangat berbakat memainkan musik Qawali ala Nusrat Fateh Ali Khan. Syair-syair Rumi, serta sufi Persia besar India, Baba Farid dan Mouinudin Chisti mereka jadikan pijakan dalam penyampaian lirik.



Tahir Qawwali, yang bernama asli Geoffrey Lyons ini mulai mengeksplorasi musik Timur sejak remaja, ia dipengaruhi oleh The Beatles ketika legenda rock asal Liverpool itu bereksperimen dengan instrumen India. "Banyak orang melirik musik alternatif, dan saya benar-benar masuk ke Upanishad untuk mempelajari bahasa Sansekerta dan musik tradisional klasik Hindustani,” ujar Tahir dalam websitenya. 
Pada usia 16 tahun, setelah mempelajari tabla selama dua tahun, Tahir berkelana sendirian ke India, di sana ia belajat teori musik dari guru pertamanya, Pundit Pashupati Nath Mishra. Selain musik, Tahir juga belajar sendiri bahasa Hindi, Punjabi dan Urdu.





Setelah belajar di India, Tahir hijrah ke Pakistan dan menjadi murid Nusrat Fateh Ali Khan dan Muazzam Ali Khan. Menyoal sufi yang berambut dreadlock, di Senegal terdapat sebuah tarekat sufi sub dari Tarekat Sufi Qadiriyyah bernama Baye Fall, gerakan ini lahir sekitar tahun 1800. pendiri gerakan Baye Fall adalah Syekh Ibrahima Fall. ia mengajarkan murid-muridnya bahwa kewajiban agama Islam tidak cukup untuk mereformasi dan menghaluskan jiwa. Namun juga diperlukan untuk melakukan pekerjaan di komunitasnya. Tradisi Baye Fall dikenal dengan berbagai kerja keras mereka yang komunal seperti budidaya kacang tanah serta manufaktur garmen. Umumnya hasil dari karya-karya ini kembali ke membantu masyarakat luas yang mereka layani. Dreadlock (gimbal) panjang mereka yang disebut ‘ndiange’ berarti 'rambut kuat'. Menurut mereka ‘ndiange’ melambangkan kesopanan dan reservasi kesadaran dari dunia material.




Perlu dicatat bahwa Baye Fall memiliki akar bagi kebudayaan Afrika di akhir 1800-an. Rabut Gimbal juga ditemukan dalam berbagai persaudaraan Sufi lainnya di seluruh dataran Afrika Utara, Selatan, Timur, dan Barat.

Haqqani Rabbani Band

Bersenjatakan musik dan iman, Haqqani Rabbani Band adalah kelompok pejuang Cinta. Melalui bahasa universal musik, Haqqani Rabbani Band ingin berbagi Cinta, akan kehadiranNya di antara kita.

Ekspresi cinta dari album mereka "From Rabbani With Love", berdasarkan pada puisi sejarah Islam yang dikenal sebagai Shalawat, atau pujian untuk Sayidina Rasulullah Muhammad SAW. Mereka menguraikanya dalam gaya yang lebih modern dan fleksibel, tetapi juga menjaga unsur tradisional.











Didirikan pada Maret 2006, Haqqani Rabbani meluncurkan album pertamanya akhir 2007 lalu, band ini terbentuk karena cinta yang datang dari hati Guru mereka, dan terbentuk sebagai tanda penghargaan kepada semua manusia. Grup ini berbasis di Jakarta, sekitar 2006 lalu, beberapa kali saya berkunjung ke Rumi Café di kawasan Blok M, dan Zawiyah Tarekat Haqqani di bilangan Cinere. Dua gitaris yang ikut bermain di kelompok ini cukup saya kenal yaitu, Sangkan, dan Edi Kemput. Sebelumnya, mereka terkenal di ranah musik Rock, Sangkan adalah jebolan gitar klinik yang juga pernah membantu grup metal legendaris Rotor, sedangkan Edy Kemput adalah mantan gitaris Grass Rock.




Itulah beberapa grup musik sufi yang berhasil membuat saya selalu mengingat Keesaan Yang Maha Ada. Selain nama-nama tersebut, saya juga mengagumi sosok Salman Al Jugjawy (Sakti eks-Sheila On 7) yang memilih jalur musik nasyid. Musik yang ditawarkan mantan gitaris Sheila On 7 ini sekilas merujuk pada musik Yusuf Islam setelah mengganti namanya dari Cat Stevens. Hingga tulisan ini diunduh, saya masih menunggu kiriman album perdana Chandra Malik bertajuk kidung sufi ‘Samudera Cinta’ yang baru saya order beberapa hari lalu.

Sambil menunggu album tersebut, saya ingin mendengar kembali lagu rohani yang pertama kali saya beli ‘Cinta Rasu’ (Haddad Alwi & Sulis), musik mereka cukup mistis jika diputar dengan volume rendah dan lampu lima watt, namun jangan coba-coba memutarnya dengan volume keras, sebab kalian akan disangka panitia pembangunan mesjid di jalan-jalan raya. Apalagi kalau memutar album tersebut via toa yang mesjid dengan tingkat ke 'sember'an yang maksimum.





** Teks dan Foto disadur dan diterjemahkan dari berbagai sumber, saya cukup malas untuk bikin catatan kaki, mohon maaf jika ada yang kurang berkenan, yang salah saya punya nafsu, yang benar dari Sang Cahaya

Baca Juga:
Ganja Menuju Manunggaling Kawulo Gusti
Gimbal: simbol pemberontakan magis
Rotor: Musik Metal, dan Dakwah Islam Non Komersial

7 comments:

  1. Grup "Republik Cinta"-nya Pak Jenggot gak masuk ke dalam kategori "huuu" musik ya? Huehue :p

    ReplyDelete
  2. Ada album debu yang baru pe, "dianggap gila"..coba lo denger lagunya yang "malam ini" yakin akan moksa loh..hahhahaa

    ReplyDelete
  3. hi hi...keerennn mas Rustammm

    ReplyDelete
  4. Saya tdk ykin sufi nih,nih mau mnidurkan umat islam,

    ReplyDelete
  5. Kiai Kanjeng di Jogja juga ada semacam pagelaran dan pertemuan rutinnya, mas. Di Jakarta namanya Kenduri Cinta, di Jogja namanya Mocopat Syafaat. Tiap malam tanggal 17, di halaman TK asuhan Emha di Bantul.

    ReplyDelete
  6. Sekedar berbagi juga mas, saya juga termasuk penikmat sajian musik Sufi, saya sering mendengarkan Shaam di album Mawlid at Abbey Road, dan Nader Khan... sensasinya menyegarkan spiritual tatkala kering. :D

    ReplyDelete
  7. Band stoner rock/doom OM yg haqul yaqin ama sinai enak buat spiritual trip

    ReplyDelete

Featured