Saturday, March 16, 2019

Kayak apa sih 'Dutch psychedelic blues-rock band' itu?


Setelah lima hari opname, ditambah lima hari masa penyembuhan di rumah, sontak gw gak liat apa-apa selain tembok, buku, dan layar smartphone.

dari Facebook Ajie Wartono

Namun ada angin segar saat lihat poster acara yang dihelat Jumat, 15 Maret 2019, ada band dari Belanda, namanya DeWolff. Mereka menggelar konser di Gedung Societet Taman Budaya Yogyakarta.


Sebelumnya gue belom pernah denger ini band, tapi ngeliat tagline-nya udah lumayan memukau, 'Dutch psychedelic blues-rock band', wuidih kayak apa ini band? Tanya gue dalam hati. Belum lagi di posternya ditambah embel-embel Southern Rock! Anjiiir, langsung kebayang Lynyrd Skynyrd ngibarin bendera Confederate di atas panggung.

Intinya, mumpung body baru segeran, gue harus nonton nih band. Meski sempat kena hujan, dan takut gak kebagian kursi favorit, terobos terus! Rock masa takut becek?! Akhirnya, gue pun dapat tempat duduk di bagian paling tengah.

Meski sebelum pertunjukan, MC mengajak penonton untuk maju berdiri di depan stage, gue tetep bertahan duduk. Gue mau nonton musik yang katanya Psychedelic, apalagi di tubuh ini masih ada sisa-sisa suntikan obat penenang dari rumah sakit, kali aja ngefek! hehe.


Di awal pertunjukannya, DeWolff lebih banyak memainkan nuansa Southern Rock, yang mengingatkan kita pada band semacam the Allman Brothers, Lynyrd Skynyrd, ZZ Top, sampe the Black Crowes.

DeWolff beranggotakan tiga musisi dari Belanda; Pablo van de Poel (nyanyi/gitaris), Luka van de Poel (drums/nyanyi) dan Robin Piso (organ/bass). Sekilas formasi ini mengingatkan kita pada The Doors era Other Voice (1971) & Full Circle (1972) paska kepergian mendiang Jim Morrison.

Ya, Robin Piso adalah versi liar dari Ray Manzarek, bass di tangan kiri, organ di tangan kanan, dan Setan yang biasa hinggap di Jerry Lee Lewis ada di atas ubun-ubunnya. Luka van de Poel, selain drummer yang bagus, dia juga penyanyi yang baik.

Sedangkan, bertindak sebagai frontman, Pablo van de Poel cukup komunikatif di atas panggung, mengajak penonton sing-a-long dengan lagu-lagu mereka yang sama sekali nggak familiar di pasaran musik lokal.

Tapi, Hey! Musik itu bahasa universal bung! Gak peduli kalo kamu nggak ngerti lagunya, tapi permainan neo-psychedelia, jangly guitar rock, heavily distorted free-form jams yang mereka suguhkan seenggaknya bener-bener bikin bulu kuduk berdiri. (ah, ini mungkin ampas suntikan panti rapih aja kali?)

Sedikit informasi, neo-psychedelia adalah keturunan langsung genre musik psychedelic yang ngetop di tahun 1970-an. Musik ini sebenernya hasil dari perkembangan post-punk di Inggris, biasa juga disebut dengan 'acid punk'.

Perpaduan musik DeWolff yang luas, mulai Southern Blues Rock hingga neo-psychedelia membuat mereka mendapatkan kontrak rekaman pertama, setahun setelah terbentuk pada tahun 2007. Sejak itu mereka merilis sebuah EP, 5 album studio dan album live yang semuanya meraih kesuksesan di Negeri Belanda.




Tapi jangan lupa, kalau Bintang Rock Indonesia juga pernah merajai belantika musik Belanda di era 1968-1972, tepat saat musik yang diusung DeWolff ini lagi ngetop-ngetopnya. Jangan pernah lupakan Clover Leaf yang frontman-nya orang Indonesia, Achmad Albar!



No comments:

Post a Comment

Featured