Selasa, 29 Agustus 2017 lalu, saya
terlibat di ASCOLTACI, sebuah rangkaian seminar hasil
penelitian yang diselenggarakan di Pascasarjana Universitas Sanata Dharma.
ASCOLTACI memiliki makna "dengarlah kami", yang jika disangkutkan
dengan seminar tersebut, rangkaian kegiatan ini mengajak para peserta seminar
untuk mendukung para peneliti muda dengan mendengarkan hasil dari
temuan-temuannya.
Rangkaian ASCOLCATI yang digelar mengambil tema "Erotisme Dalam Film Horor
Indonesia". Salain saya sebagai pembicara tamu juga ada pembicara utama,
yaitu Clemens Felix Setyawan (Alumnus Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata
Dharma). Felix merupakan seorang akademisi yang sempat meneliti mengenai hal
tersebut untuk penelitian tesisnya. Dalam penelitiannya, Felix membatasinya
dengan film-film horor Indonesia yang diciptakan dalam kurun waktu tahun 2009
hingga 2014 lalu untuk menjadi obyek penelitiannya.
Beberapa
judul film yang menjadi obyek pengamatannya di antara lain seperti
"Tetesan Darah Perawan", "Darah Perawan Bulan Madu",
"Pacara Hantu Perawan", "Tali Pocong Perawan",
"Perawan Seberang" dan masih banyak lagi karya-karya sinema horor
yang menurutnya dicampurkan dengan unsur eksotisme.
"Kebetulan,
menonton film horor juga menjadi salah satu kegemaran yang saya miliki.
Beberapa hal yang saya pelajari dari film horor tersebut, selain musiknya, juga
jalan ceritanya, dan terutama kengerian yang hampir selalu berbalut erotisme.
Ada pertanyaan yang selalu mengganjal, yaitu bagaimana kengerian bertemu dengan
erotisme dalam satu panggung?" papar Felix saat berbicara dalam seminar tersebut.
Seperti yang dicatat oleh Bem Andry (jurnalis Tribun Jogja), menurut
pengamatan Felix tersebut, erotisme di era milenium menjadi sajian khas yang
terkandung dalam film horor Indonesia. Berbeda dengan era-era sebelumnya,
terutama di era tahun 1990-an. Menurutnya, film horor Indonesia lebih bercorak
tradisional dengan karakter penokohan yang kuat. Misalnya saja seperti
film-film yang dibintangi oleh mendiang Suzana.
"Film
horor masa kini cenderung urban, di mana aspek struktur teks visual menjadi
lebih penting dibanding alur cerita. Erotisme menjadi kian menonjol dengan
bermacam sajian, terutama tubuh perempuan. Pembatasan dilakukan dengan memilih
judul film yang menggunakan kata "perawan" sebagai reduksi atas obyek
penelitian," tuturnya.
Bagi Felix,
erotisme yang secara implisit dihadirkan dalam sajian film horor Indonesia
merupakan suatu fenomena yang menarik sabagai kajian budaya. Menariknya di sini
adalah melalui pengamatannya ia bisa bertamasya mempelajari berbagai aspek dan
tidak hanya pada latar belakang produksi film horor, melainkan pada aspek lain
yang melingkupinya.
"Seperti
dimensi psikologis penonton, politik ekonomi media dalam konteks industri,
estetika film, budaya dalam arti tidak hanya sebagai produk tapi aktualisasi,
dan yang utama adalah dimensi psikoanalisis yag kemudian dipakai untuk membaca
kaidah-kaidah emosional di dalam film horor erotis itu sendiri," pungkas
Felix.
Kata Felix,
indikasi erotisme dalam film horor Indonesia antara lain ditampakkan dengan
adanya unsur seks, seperti adanya adegan bercinta, pakaian perempuan yang serba
minim, kemolekan tubuh yang ditonjolkan hingga dialog-dialog secara langsung.
Jika disaksikan secara kronologis, menurutnya sebelum tahun 2005 masih terlihat
adanya idealisme dalam film horor Indonesia dengan tanpa menampilkan
eksploitasi perempuan.
"Film
horor masih mengedepankan kengerian belaka tanpa eksploitasi unsur seks. Namun
mulai tahun 2009 sampai dengan tahun 2013, secara perlahan-perlahan mulai
terdapat sajian erotisme perempuan dalam film horor Indonesia. Masa transisi
ini terjadi mulai dari tahun 2006. Sedangkan untuk tahun 2014, sejauh yang saya
teliti masih menjadi tanda tanya, karena baru ada tiga film horor yang beredar
di pasaran," jelas Felix.
Selain itu,
film horor Indonesia dalam jangka waktu yang diteliti olehnya, karya-karya
horor yang tercipta selalu menunjukan model alur cerita yang anti klimaks. Jika
dibandingkan dengan film horor tradisional, seperti halnya film-film yang
dibintangi Suzana, atau seperti film "Misteri Gunung Merapi",
"Si Manis Jematan Ancol", dan lainnya yang cenderung menciptakan alur
klimaks. Dalam film horor Indonesia urban pascamilenium, menurutnya kejadiannya
menjadi sebaliknya.
Misalnya saja
dari alur, menurut Felix dapat dilihat dari skrip cerita yang tidak terlalu
penting dalam film horor Indonesia pascamilenium yang cenderung fragmentatif
perbabaknya. Ia pun menyaksikan saat melakukan penelitian, bahwa unsur erotisme
dalam film horor Indonesia dari 2009 hingga 2013, kengerian yang terjadi di
seputar erotisme rata-rata disajikan tidak lebih dari 30 detik.
Sedangkan saya membuat makalah seminar yang menyajikan beragam fakta dari industri perfilman kita.
Saya mewawancarai beberapa sineas dan produser film yang telah malang melintang
di Industri ini, bahkan namanya sudah meroket ke jenjang internasional. Sebagai
sumber sekunder, saya juga mengutip beberapa artikel yang pernah ditulis oleh
beberapa orang yang saya anggap kompeten untuk berbicara perihal Erotisme Dalam
Film Horor Indonesia. (*)
..... Bersambung
No comments:
Post a Comment