Wednesday, September 13, 2017

Kengerian dan Erotisme Dalam Satu Panggung

Selasa, 29 Agustus 2017 lalu, saya terlibat di  ASCOLTACI, sebuah rangkaian seminar hasil penelitian yang diselenggarakan di Pascasarjana Universitas Sanata Dharma. ASCOLTACI memiliki makna "dengarlah kami", yang jika disangkutkan dengan seminar tersebut, rangkaian kegiatan ini mengajak para peserta seminar untuk mendukung para peneliti muda dengan mendengarkan hasil dari temuan-temuannya.

Rangkaian ASCOLCATI yang digelar mengambil tema "Erotisme Dalam Film Horor Indonesia". Salain saya sebagai pembicara tamu juga ada pembicara utama, yaitu Clemens Felix Setyawan (Alumnus Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma). Felix merupakan seorang akademisi yang sempat meneliti mengenai hal tersebut untuk penelitian tesisnya. Dalam penelitiannya, Felix membatasinya dengan film-film horor Indonesia yang diciptakan dalam kurun waktu tahun 2009 hingga 2014 lalu untuk menjadi obyek penelitiannya.



Beberapa judul film yang menjadi obyek pengamatannya di antara lain seperti "Tetesan Darah Perawan", "Darah Perawan Bulan Madu", "Pacara Hantu Perawan", "Tali Pocong Perawan", "Perawan Seberang" dan masih banyak lagi karya-karya sinema horor yang menurutnya dicampurkan dengan unsur eksotisme.

"Kebetulan, menonton film horor juga menjadi salah satu kegemaran yang saya miliki. Beberapa hal yang saya pelajari dari film horor tersebut, selain musiknya, juga jalan ceritanya, dan terutama kengerian yang hampir selalu berbalut erotisme. Ada pertanyaan yang selalu mengganjal, yaitu bagaimana kengerian bertemu dengan erotisme dalam satu panggung?" papar Felix saat berbicara dalam seminar tersebut.

Seperti yang dicatat oleh Bem Andry (jurnalis Tribun Jogja), menurut pengamatan Felix tersebut, erotisme di era milenium menjadi sajian khas yang terkandung dalam film horor Indonesia. Berbeda dengan era-era sebelumnya, terutama di era tahun 1990-an. Menurutnya, film horor Indonesia lebih bercorak tradisional dengan karakter penokohan yang kuat. Misalnya saja seperti film-film yang dibintangi oleh mendiang Suzana.

"Film horor masa kini cenderung urban, di mana aspek struktur teks visual menjadi lebih penting dibanding alur cerita. Erotisme menjadi kian menonjol dengan bermacam sajian, terutama tubuh perempuan. Pembatasan dilakukan dengan memilih judul film yang menggunakan kata "perawan" sebagai reduksi atas obyek penelitian," tuturnya.


Bagi Felix, erotisme yang secara implisit dihadirkan dalam sajian film horor Indonesia merupakan suatu fenomena yang menarik sabagai kajian budaya. Menariknya di sini adalah melalui pengamatannya ia bisa bertamasya mempelajari berbagai aspek dan tidak hanya pada latar belakang produksi film horor, melainkan pada aspek lain yang melingkupinya.

"Seperti dimensi psikologis penonton, politik ekonomi media dalam konteks industri, estetika film, budaya dalam arti tidak hanya sebagai produk tapi aktualisasi, dan yang utama adalah dimensi psikoanalisis yag kemudian dipakai untuk membaca kaidah-kaidah emosional di dalam film horor erotis itu sendiri," pungkas Felix.

Kata Felix, indikasi erotisme dalam film horor Indonesia antara lain ditampakkan dengan adanya unsur seks, seperti adanya adegan bercinta, pakaian perempuan yang serba minim, kemolekan tubuh yang ditonjolkan hingga dialog-dialog secara langsung. Jika disaksikan secara kronologis, menurutnya sebelum tahun 2005 masih terlihat adanya idealisme dalam film horor Indonesia dengan tanpa menampilkan eksploitasi perempuan.

"Film horor masih mengedepankan kengerian belaka tanpa eksploitasi unsur seks. Namun mulai tahun 2009 sampai dengan tahun 2013, secara perlahan-perlahan mulai terdapat sajian erotisme perempuan dalam film horor Indonesia. Masa transisi ini terjadi mulai dari tahun 2006. Sedangkan untuk tahun 2014, sejauh yang saya teliti masih menjadi tanda tanya, karena baru ada tiga film horor yang beredar di pasaran," jelas Felix.

Selain itu, film horor Indonesia dalam jangka waktu yang diteliti olehnya, karya-karya horor yang tercipta selalu menunjukan model alur cerita yang anti klimaks. Jika dibandingkan dengan film horor tradisional, seperti halnya film-film yang dibintangi Suzana, atau seperti film "Misteri Gunung Merapi", "Si Manis Jematan Ancol", dan lainnya yang cenderung menciptakan alur klimaks. Dalam film horor Indonesia urban pascamilenium, menurutnya kejadiannya menjadi sebaliknya.

Misalnya saja dari alur, menurut Felix dapat dilihat dari skrip cerita yang tidak terlalu penting dalam film horor Indonesia pascamilenium yang cenderung fragmentatif perbabaknya. Ia pun menyaksikan saat melakukan penelitian, bahwa unsur erotisme dalam film horor Indonesia dari 2009 hingga 2013, kengerian yang terjadi di seputar erotisme rata-rata disajikan tidak lebih dari 30 detik.  


Sedangkan saya membuat makalah seminar yang menyajikan beragam fakta dari industri perfilman kita. Saya mewawancarai beberapa sineas dan produser film yang telah malang melintang di Industri ini, bahkan namanya sudah meroket ke jenjang internasional. Sebagai sumber sekunder, saya juga mengutip beberapa artikel yang pernah ditulis oleh beberapa orang yang saya anggap kompeten untuk berbicara perihal Erotisme Dalam Film Horor Indonesia. (*)


..... Bersambung

No comments:

Post a Comment

Featured