Wednesday, September 13, 2017

Esek-Esek Film Horor Indonesia

oleh: Kiki Pea

Dibandingkan dengan bentuk seni lainnya, film merupakan bentuk yang paling baru. Sedangkan dibandingkan media elektronik lainnya, film merupakan medium yang paling tua. Dalam menyampaikan pesan, film adalah medium yang paling komunikatif. Film adalah media komunikasi massa yang sangat penting untuk menyampaikan suatu realita yang terjadi dalam kehidupan sehari–hari. Film sebagai komunikasi massa merupakan gabungan dari teknologi dan beragam disiplin seni lainnya seperti fotografi, rekaman suara, seni rupa, teater, sastra, arsitektur, serta seni musik. Kehadiran film di tengah kehidupan manusia dewasa ini semakin penting dan setara dengan media lain.



Sayangnya tolak ukur keberhasilan produk film selama ini masih berorientasi pasar. Perfilman idealnya tidak sekadar digarap demi kepentingan ekonomi, tetapi juga mengarahkan film sebagai produk kebudayaan, pendidikan, dan pengetahuan visual. Jadi, kepentingannya tidak semata didasari untung-rugi pasar, tetapi lebih mengutamakan kemajuan pada sebuah kebudayaan.

Sebagaimana genre film lainnya, film horor juga merupakan gambaran masyarakat pada zamannya. Sejatinya film horor bukan sekadar gambaran rasa takut yang intim dari pribadi-pribadi.Film horor, dalam beberapa sisi, mampu merepresentasikan rasa takut masyarakat itu. Menurut Mirza Jaka Suryana, salah satu penggiat di Forum Lenteng dan kontributor tetap untuk ‘Jurnal Footage’, secara implisit film horor mempertunjukan ketakutan akan kondisi sosial politik yang tidak menentu, kediktatoran seorang penguasa, dan lain-lain. Sebab, rasa takut merupakan sesuatu yang asali. Hampir semua manusia memiliki rasa ini. Dengan film horor, rasa takut itu dapat dikembangkan sampai ke titik puncak. Darah, teriakan histeris, menjadi sangat identik dengan film horor.Penonton kemudian diberikan sugesti bahwa ketakutan yang tertuang dalam gambar itu adalah nyata.

Namun, seiring berjalannya waktu, dan komersialisasi ketakutan, muatan psikologis dan sosial politik hampir tidak tampak pada kebanyakan film horor. Menurut Jaka, penonton film horor kemudian hanya diberikan sesuatu yang ilusif, yang jauh dari kenyataan, dan membayangkan hal-hal yang sama sekali melecehkan intelektualitas.


Di Indonesia, film horor memang sangat diminati dan memiliki pasar tersendiri.Sebagai medium seni, film pada perjalannya telah menjadi sarana hiburan yang dikonsumsi khalayak.Film yang selayaknya mampu menggambarkan realitas masyarakat seharusnya memiliki aspek edukatif, informatif, dan juga hiburan dalam satu kemasan, namun di Indonesia masih banyak menyajikan karya-karya film yang keluar jauh dari realitas sosialnya, dan minus dengan informasi yang mendidik. Salah satu contohnya ialah di bioskop-bioskop kita masih menjamur film horor yang lebih menonjolkan sisi erotis, ketimbang merepresentasikan realitas sosial masyarakatnya.

Sebut saja film-film berjudul; 'Suster Keramas', 'Arwah Goyang Karawang', 'Pacar Hantu Perawan', 'Pocong Mandi Goyang Pinggul', 'Pacar Hantu Perawan', 'Darah Perawan Bulan Madu', 'Rintihan Kuntilanak Perawan', 'Air Terjun Pengantin', dan sederet judul sejenis. Maraknya beredarnya film horor buatan dalam negeri ini juga menggambarkan bagaimana minat pasar terhadap industri perfilman.

Pemanfaatan fisik perempuan ini memang menjadi sasaran favorit dalam berbagai media. Dunia periklanan banyak menggunakan daya tarik perempuan sebagai simbol untuk memberikan daya tarik bagi calon konsumennya.Mungkin hal ini juga dilakukan oleh para pembuat film horor erotis, yakni memanfaatkan segala sesuatu yang ada pada tubuh perempuan, dimana dari ujung rambuthingga ujung kaki merupakan komoditas yang menjanjikan. Pada kasus ini, unsur erotisisme akhirnya jadi lebih menonjol dibandingkan dengan unsur horor itu sendiri.

Konstruksi sosial selalu mengatasnamakan tubuh perempuan sebagai simbol kecantikan. Kemudian industri perfilman mampu membaca konstruksi ini dimana perempuan lalu dijadikan objek untuk dijual melalui industri perfilman dalam kemasan film horor. Sejatinya, dalam industri ini pihak yang diuntungkan bukanlah perempuan itu sendiri, melainkan pemegang modal yang terus meraup laba.


No comments:

Post a Comment

Featured