oleh:
Kiki Pea
Dibandingkan
dengan bentuk seni lainnya, film merupakan bentuk yang paling baru. Sedangkan
dibandingkan media elektronik lainnya, film merupakan medium yang paling tua. Dalam
menyampaikan pesan, film adalah medium yang paling komunikatif. Film adalah
media komunikasi massa yang sangat penting untuk menyampaikan suatu realita
yang terjadi dalam kehidupan sehari–hari. Film sebagai komunikasi massa
merupakan gabungan dari teknologi dan beragam disiplin seni lainnya seperti
fotografi, rekaman suara, seni rupa, teater, sastra, arsitektur, serta seni
musik. Kehadiran film di tengah kehidupan manusia dewasa ini semakin penting
dan setara dengan media lain.
Sayangnya
tolak ukur keberhasilan produk film selama ini masih berorientasi pasar. Perfilman
idealnya tidak sekadar digarap demi kepentingan ekonomi, tetapi juga mengarahkan
film sebagai produk kebudayaan, pendidikan, dan pengetahuan visual. Jadi,
kepentingannya tidak semata didasari untung-rugi pasar, tetapi lebih
mengutamakan kemajuan pada sebuah kebudayaan.
Namun, seiring berjalannya waktu,
dan komersialisasi ketakutan, muatan psikologis dan sosial politik hampir tidak
tampak pada kebanyakan film horor. Menurut Jaka, penonton film horor kemudian
hanya diberikan sesuatu yang ilusif, yang jauh dari kenyataan, dan membayangkan
hal-hal yang sama sekali melecehkan intelektualitas.
Di
Indonesia, film horor memang sangat diminati
dan memiliki pasar tersendiri.Sebagai medium seni, film pada
perjalannya telah menjadi sarana hiburan yang dikonsumsi khalayak.Film yang
selayaknya mampu menggambarkan realitas masyarakat seharusnya memiliki aspek
edukatif, informatif, dan juga hiburan dalam satu kemasan, namun di Indonesia masih
banyak menyajikan karya-karya film yang keluar jauh dari realitas sosialnya,
dan minus dengan informasi yang mendidik. Salah satu contohnya ialah di
bioskop-bioskop kita masih menjamur film horor yang lebih menonjolkan sisi
erotis, ketimbang merepresentasikan realitas sosial masyarakatnya.
Sebut saja film-film berjudul;
'Suster Keramas', 'Arwah Goyang Karawang', 'Pacar Hantu Perawan', 'Pocong Mandi
Goyang Pinggul', 'Pacar Hantu Perawan', 'Darah Perawan Bulan Madu', 'Rintihan
Kuntilanak Perawan', 'Air Terjun Pengantin', dan sederet judul sejenis.
Maraknya beredarnya film horor buatan dalam negeri ini juga menggambarkan
bagaimana minat pasar terhadap industri perfilman.
Pemanfaatan fisik perempuan ini
memang menjadi sasaran favorit dalam berbagai media. Dunia periklanan banyak
menggunakan daya tarik perempuan sebagai simbol untuk memberikan daya tarik
bagi calon konsumennya.Mungkin hal ini juga dilakukan oleh para pembuat film horor
erotis, yakni memanfaatkan segala sesuatu yang ada pada tubuh perempuan, dimana
dari ujung rambuthingga ujung kaki merupakan komoditas yang menjanjikan. Pada
kasus ini, unsur erotisisme akhirnya jadi lebih menonjol dibandingkan dengan
unsur horor itu sendiri.
Konstruksi
sosial selalu mengatasnamakan tubuh perempuan sebagai simbol
kecantikan. Kemudian industri perfilman mampu membaca konstruksi ini dimana
perempuan lalu dijadikan objek untuk dijual melalui industri perfilman dalam
kemasan film horor. Sejatinya, dalam industri ini pihak yang diuntungkan bukanlah perempuan itu
sendiri, melainkan pemegang modal yang terus meraup laba.
No comments:
Post a Comment