"SESUNGGUHNYA Kami menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal". Berikut kurang lebihnya yang tertulis dalam Al Qur’an pada Surat Al Hujuraat. Setiap daerah, suku, bangsa, maupun agama memiliki sesuatu yang dijadikan simbol, satu di antaranya lewat pakaian (fesyen). Gaya pakaian, dandanan, rambut, segala macam aksesoris yang menempel, bahkan selera musik, atau pilihan-pilihan kegiatan yang dilakukan, adalah bagian dari pertunjukan identitas dan kepribadian diri. Sorban, serban atau turban yang yang dikenakan di kepala, pada perkembangannya adalah simbol bagi suku, bangsa, dan agama tertentu. Sejarah pemakaian turban sebenarnya sudah populer sejak ribuan tahun dahulu. Pada mulanya, turban digunakan di negara-negara Asia, terutama di India, Timur Tengah, Afghanistan, Afrika Utara, hingga Jamaika.
Bagi masyarakat padang pasir, turban digunakan untuk menghindari deburan pasir ke wajah mereka. Anggota suku nomaden juga menggunakan turban, terutama untuk menyamarkan diri mereka. Warna sorban juga dapat digunakan untuk mengidentifikasi afiliasi suku. Di beberapa bagian Afrika Utara, biru dianggap warna yang baik untuk dipakai di gurun karena hubungannya dengan air dingin yang menyegarkan. Di India dan Pakistan, turban dikenali sebagai Pangri, nama lainnya ialah Phakeolis. Di India terkadang laki-laki memakai turban untuk menunjukkan kelas sosial mereka, kasta, profesi atau afiliasi keagamaan.
Beberapa model turban di India bisa jadi sangat rumit, terbuat dari
tenunan kain mewah dan dihiasi dengan perhiasan yang tidak kalah
uniknya. Bagi kaum Sikh dari India, Turban disebut juga sebagai Dastar,
sedangkan di Arab dikenal dengan imamah. Bagi kaum Sikh, turban menjadi
indentitas yang harus terus dilestarikan dan dibanggakan. Pada dasarnya,
turban Sikh ini adalah sepotong kain yang digunakan untuk mengatur
rambut panjang mereka, karena agama itu mereka penganutnya memotong
rambut. Begitu juga pada kaum Sadhu, orang-orang suci Hindu di Nepal.
Shadu adalah seseorang yang memiliki pengetahuan tertinggi tentang Tuhan
dan semua ciptaanNya.
Pada tradisi agama Abrahamik (Yahudi, Nasrani, Islam) penggunaan turban
juga menjadi satu keutamaan tersendiri. Kini kaum Yahudi di Palestina
biasa mengenakan kippa, yang juga disebut yarmulke. Topi ini digunakan
pria Yahudi untuk mengingatkan bahwa Tuhan mengawasi dari atas kepala
mereka. Mereka juga memakai semacam topi koboi berukuran besar. Berbeda
halnya dengan kaum Beta Israel (komunitas yahudi berkulit hitam di
Ethiopia) yang hingga saat ini masih tampak konsisten mengenakan turban
mereka. Beta Israel berarti “Rumah Israel”. Mereka juga di sebut Falasha
(Orang Asing atau Orang Buangan). Suku ini menurut legenda berasal dari
kisah Ratu Sheeba dan Raja Salomon yang membuahkan seorang anak,
Menelik I. Legenda lain menyebutkan bahwa asal usul Beta Israel berasal
dari suku Yehuda yang mengungsi ke Mesir saat Kerajaan Israel terpecah
di masa Raja Yeroboam.
Kaum Sabean/Sabiin atau Mandean di Irak Selatan juga mengenakan Turban. Mereka adalah kelompok yang mengakui dirinya sebagai pewaris ajaran Yohanes Pembaptis dan Adam. Menurut Al-Biruni (penulis abad ke 9), Mandean Sabean adalah sisa-sisa Yahudi pada pembuangan pertama yang masih tinggal di Irak, mereka tidak kembali ke Jerusalem pada jaman Cyrus dan Artaxerxes. Kaum Sabean kemudian mencampurkan Magisme dengan Judasime. Orang-orang Mandean Sabean menyebut diri mereka monotheisme, mereka percaya kepada nabi-nabi dan malaikat, tetapi menolak Musa dan Yesus. Nabi mereka adalah nabi-nabi Yahudi sebelum Musa, seperti Adam, Seth, Nuh ,Sem, Enoch, plus Zakaria dan Yohanes Pembaptis (Yahya).
![]() |
Mandean Sabean di Irak |
![]() |
Suku Yahudi di Baghdad, Irak |
![]() |
Kaum Essene Nasrani sedang membaca Teks Qumran (Dead Sea Scrolls) |
![]() |
Rastaman di Kenya, Afrika |
![]() | ||||||||
Beta Israel di Ethiopia |
Berkorelasi dengan Beta Israel, pada generasi kulit hitam selanjutnya
muncul penganut Rastafarian. Pada tahun 1920-an ajaran ini berkembang
melalui ajaran Marcus Garvey, yang memimpin gerakan 'Kembali ke Afrika'.
Kaum Rasta biasanya juga mengikat rambut mereka dengan turban, dan
membungkusnya dalam bahan yang berwarna-warni. Untuk mengikat rambutnya
di turban, seorang Rasta membutuhkan karet gelang untuk mengamankan
sebagian besar gimbal yang mereka kuncir dengan gaya ekor kuda.
Seringkali, Rasta menggunakan kain dengan emas, hijau dan merah di
atasnya.
Komunitas Rasta paling populer saat ini adalah Bobo Shanti yang
didirikan pada tahun 1958 oleh Pangeran Charles Emanuel Edwards di
Jamaika. “Bobo” berarti hitam dan “Ashanti” mengacu pada kelompok etnis
Asante di Ghana. Rambut gimbal adalah sebagian dari ibadah sekte ini. Mereka meyakini bahwa selain Haile Selassie, Pangeran Emmanuel merupakan
reinkarnasi Kristus dan perwujudan Jah (YHWH), Mereka menekankan pada
'pemulangan' ke Afrika, dan tuntutan penggantian keuangan untuk
perbudakan.
Selain turban anggota Bobo Shanti juga memakai jubah
panjang. Mereka mematuhi erat Hukum Hukum Agama Yahudi, termasuk
ketaatan Sabat hari ketujuh dari matahari terbenam Jumat, sampai
matahari terbenam Sabtu, serta hukum untuk kebersihan menstruasi wanita.
Mereka hidup terpisah dari masyarakat Jamaika dan Rastafarian lain.
Terlepas dari ajaran agamanya, kaum Bobo Shanti ini sedikit mengingatkan
kita pada suku Badui yang tinggal di bagian paling barat pulau Jawa.
![]() |
Bobo Shanti di Jamaika |
![]() |
Suku Badui di Banten, Pulau Jawa bagian barat |
Para orang tua di Yaman sering mengenakan sorban melilit topi yang
dikenal dalam bahasa Arab sebagai kalansuwa. Gaya dan bentuknya pun
bervariasi, mulai dari setengah bola, atau kerucut, berwarna-warni atau
putih. Demikian pula, warna turban melilit kalansuwa bervariasi. Para
laki-laki di Afganistan juga memakai berbagai turban, dan bahkan di
dalam Taliban, ada perbedaan dalam cara menutup kepala mereka. Misalnya,
mengenakan turban yang sangat panjang, dengan satu ujung tergantung
longgar di bahu.
![]() |
Pashtun/Pathan Dresses |
![]() |
mix race & culture.... we are human |
Kata turban/sorban diduga berasal dari Persia yang
sekarang dikenal sebagai Iran, mereka menyebut tutup kepala dengan
istilah dulband. Para pemimpin Iran mengenakan turban hitam atau putih
yang dibungkus dalam beberapa gaya, satu di antaranya datar melingkar
yang ditampilkan dalam citra pemimpin tertinggi Iran Ayatollah Ali
Khomenei. Turban Hitam dalam tradisi mazhab Syiah hanya boleh dikenakan
oleh Ulama dari keturunan Nabi Muhammad SAW. Sedangkan ulama Syiah yang
bukan dari dzuriyah Nabi saw dikenal dengan Surban Putihnya. Dalam
sebuah riwayat disebutkan bahwa: Orang-orang Syiah senantiasa bertanya
kepada Imam Ja'far Shadiq terkait dengan pakaian hitam yang biasa
dikenakannya. Sang Imam berkata: "Putihkanlah hatimu, dan kenakanlah
warna pakaian sesukamu."
![]() | |
Para Pemuka Syiah, Iran |
Putih oleh beberapa Muslim menjadi warna turban yang suci, hal ini
berdasarkan teks bahwa Nabi Muhammad mengenakan sorban putih. Sedangkan
warna Hijau, dianggap warna surga, warna juga disukai oleh beberapa
muslim. Sebagaimana yang terjadi bagi penganut agama lain, di kalangan
Muslim penggunaan turban juga menjadi bahan diskusi tersendiri. Ada yang
mengatakan bahwa turban ini awalnya berasal dari budaya Arab. Yang
menjadi sedikit perdebatan adalah apakah memakai turban ini dikatakan
pakaian yang Islami? Apakah memakai turban ini lebih utama dan dinilai
sebagai ibadah yang berpahala?
Seorang Kyai yang akrab disapa Gus
Mus pernah berkata bahwa “Islam kita itu ya Islam Indonesia bukan Islam
Saudi Arabia, bukan berarti kalau tidak pakai jubah dan sorban, Islam
kita tidak diterima?” katanya. Hal ini ia pesankan kepada umat Islam di
Indonesia untuk meneladani Nabi Muhammad SAW secara tepat. Menurut dia,
Nabi termasuk pribadi yang menghargai tradisi setempat dan berperangai
menyenangkan. “Rasulullah SAW memakai jubah, sorban dan berjenggot ya
karena tradisi orang Arab seperti itu. Abu Jahal juga berpakaian yang
sama, berjenggot pula. Bedanya kalau Rasul wajahnya mesem (sarat senyum)
karena menghargai tradisi setempat. Nah, kalau Abu Jahal wajahnya
kereng (pemarah). Silahkan mau pilih yang mana?” katanya.
![]() |
Naqsbandhi Sufi Way |
Jika memang hal tersebut benar adanya, maka sudah selayaknya umat Islam
di Indonesia, khususnya di Jawa lebih afdol jika mengenakan blangkon.
Ada sejumlah teori yang menyatakan bahwa pemakaian blangkon merupakan
pengaruh dari budaya Hindu dan Islam yang diserap oleh orang Jawa.
Menurut para ahli, orang Islam yang masuk ke Jawa terdiri dari dua etnis
yaitu dari Daratan Tiongkok dan para pedagang Gujarat. Para pedagang
Gujarat ini adalah orang keturunan Arab, mereka selalu mengenakan
turban. Sorban inilah yang menginspirasi orang jawa untuk memakai iket
kepala seperti halnya orang keturunan arab tersebut.
![]() |
(alm) R. Ng. Surakso Hargo alias Mbah Marijan memakai blangkon |
(alm) Habib Munzir dan gurunya, Habib Umar Bin Hafid mengenakan turban
dengan Style yang sama. Mereka mengenakan turban dengan ujung imamah
diletakkan pada sisi kanan kepala jauh di atas telinga, lalu diarahkan
ke depan secara miring hingga diatas dahi, dan diteruskan ke kepala kiri
hingga mencapai bagian bawah kepala yang hampir menutupi telinga kiri,
lalu diteruskan ke belakang dan ditindihkan pada kain yang sudah menutup
sisi kepala bagian kanan, dengan posisi setingkat lebih rendah dengan
jarak seperti lebarnya jari telunjuk, dengan posisi tumpuk tapi sedikit
lebih rendah, lalu diteruskan kedepan dan diteruskan kearah kiri atas
namun sejari lebih tinggi dari yang sudah ada, demikian seterusnya.
Panjang kain boleh 5 hasta, 7 hasta atau lebih.
Menurut Habib Munzir, ada beberapa riwayat mengatakan Rasul SAW memakai turban berkuncir di belakang antara kedua pundaknya, riwayat lain sorban beliau SAW tak memakai buntut/kuncir, riwayat lain beliau memakai turban dengan kedua telinga terlihat, riwayat lain beliau memakai sorban dan kedua telinganya tertutup. Sang Habib berkata bahwa memakai turban dalam sholat itu sunnah. Ada sebagian umat Islam yang berpendapat bahwa mengenakan sorban harus melakukan haji lebih dulu, menuntut ilmu di pesantren dulu, harus berijazah, dll. Menurut Habib Umar bin Hafidz mengenakan turban hukumnya sunnah, semua muslim boleh memakainya, namun sebagian ulama menjadikan turbannya lebih besar sebagai tanda bahwa ia siap ditanya dan memberi kejelasan atas hukum dan syariah, semakin besar turbannya maka semakin luas ilmunya.
Menurut Habib Munzir, ada beberapa riwayat mengatakan Rasul SAW memakai turban berkuncir di belakang antara kedua pundaknya, riwayat lain sorban beliau SAW tak memakai buntut/kuncir, riwayat lain beliau memakai turban dengan kedua telinga terlihat, riwayat lain beliau memakai sorban dan kedua telinganya tertutup. Sang Habib berkata bahwa memakai turban dalam sholat itu sunnah. Ada sebagian umat Islam yang berpendapat bahwa mengenakan sorban harus melakukan haji lebih dulu, menuntut ilmu di pesantren dulu, harus berijazah, dll. Menurut Habib Umar bin Hafidz mengenakan turban hukumnya sunnah, semua muslim boleh memakainya, namun sebagian ulama menjadikan turbannya lebih besar sebagai tanda bahwa ia siap ditanya dan memberi kejelasan atas hukum dan syariah, semakin besar turbannya maka semakin luas ilmunya.
![]() |
Habib Munzir dan gurunya, Habib Umar Bin Hafid |
![]() |
Habib Umar Bin Hafid |
Berdasarkan pengalaman saya sehari-hari, pakaian dipilih sesuai dengan
apa yang akan dilakukan pada hari itu, bagaimana suasana hati. Pakaian
sejatinya adalah topeng yang dikenakan untuk memanipulasi tubuh, sebagai
cara untuk membangun dan menciptakan citra diri. Saya sendiri cukup
senang dan nyaman mengenakan turban pada tempatnya, yaitu ketika
berlatih zikr, beribadah di Masjid yang sudah biasa saya datangi dimana
masyarakatnya sudah terbiasa dengan turban, dan tidak menganggap
seseorang yang menggunakannya adalah teroris, hehehe...
Dalam
banyak tradisi sufi, selain untuk menutupi kepala, turban juga digunakan
untuk melindungi pusat-pusat spiritual. Ketika berlatih 'rasa',
kekuatan spiritual yang terletak di sekitar kepala cenderung naik ke
atas, dan turban memegangnya. Menggunakan turban juga mengingat
kematian, terutama jika terbuat dari bahan kain kafan. Topi tinggi yang
dikenakan penari darwis berputar mengingatkan pada batu nisan. Mahkota
seorang darwis itu adalah kematian, dengan cara ini ia membawa kesadaran
bahwa tidak ada yang permanen, dan segalanya harus dilepaskan. Darwis
adalah seorang yang hidup di ambang pintu, orang yang duduk di ambang
antara dua dunia, ia tidak pernah lupa kematian. Pakaian para darwis
terinspirasi oleh jubah Surga. Beberapa malaikat mengenakan mantel
panjang dan turban seperti yang diadopsi oleh para darwis, semua Nabi
telah melihat hal itu. Inilah mengapa mereka mengadopsinya. Darwis
memakai pakaian jiwa yang menghubungkan dia ke dunia jiwa.
![]() |
Naqshbandiyya Nazimiyya Sufi Order |
![]() |
Naqshbandiyya Nazimiyya Sufi Order of America |
Dari uraian panjang di atas, maka ketahuilah apa yang kita pakai, jangan
cuma mengikuti tren, jadilah pribadi yang berkehendak bebas,
sebebas-bebasnya, seluas-luasnya, "Know What You Wear!". Dalam
Subculture: The Meaning of Style (1979) Dick Hebdige melihat gaya
sebagai sesuatu yang otonom. Ia menyelidiki gaya dalam tingkat
keotonomiannya sebagai penanda. Gaya adalah sebuah praktek penandaan,
gaya adalah sebuah arena penciptaan makna. Di dalam kode-kode pembeda,
gaya merupakan pembentuk identitas kelompok. Dalam subkultur anak muda,
barang-barang komoditas melalui konsumsi brikolase dijadikan alat
perlawanan terhadap nilai-nilai dominan. Gaya adalah sebuah perang
gerilya semiotik.
Perkembangan dunia globalisai mutakhir ini telah menembus batas
peradaban dimana batas-batas sosial sudah tak lagi begitu penting,
kearifan lokal hanyalah slogan tanpa makna. Semua itu bermuara pada
kondisi krisis identitas dan persoalan integritas yang lemah, di
kalangan remaja hal ini lebih pada persoalan kebimbangan jati diri
menuju ideologi yakni fesyen. Semua hal yang telah dipertontonkan lewat
tubuh: gaya pakaian, gaya rambut, serta asesoris pelengkapnya, lebih
dari sekedar demonstrasi penampilan, melainkan demonstrasi ideologi. (*)
No comments:
Post a Comment