Friday, April 24, 2015

Turban Segala Bangsa: Know What You Wear !


"SESUNGGUHNYA Kami menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling  kenal-mengenal". Berikut kurang lebihnya yang tertulis dalam Al Qur’an pada Surat Al Hujuraat. Setiap daerah, suku, bangsa, maupun agama memiliki sesuatu yang dijadikan simbol, satu di antaranya lewat pakaian (fesyen). Gaya pakaian, dandanan, rambut, segala macam aksesoris yang menempel, bahkan selera musik, atau pilihan-pilihan kegiatan yang dilakukan, adalah bagian dari pertunjukan identitas dan kepribadian diri. Sorban, serban atau turban yang yang dikenakan di kepala, pada perkembangannya adalah simbol bagi suku, bangsa, dan agama tertentu. Sejarah pemakaian turban sebenarnya sudah populer sejak ribuan tahun dahulu. Pada mulanya, turban digunakan di negara-negara Asia, terutama di India, Timur Tengah, Afghanistan, Afrika Utara, hingga Jamaika.



Bagi masyarakat padang pasir, turban digunakan untuk menghindari deburan pasir ke wajah mereka. Anggota suku nomaden juga menggunakan turban, terutama untuk menyamarkan diri mereka. Warna sorban juga dapat digunakan untuk mengidentifikasi afiliasi suku. Di beberapa bagian Afrika Utara, biru dianggap warna yang baik untuk dipakai di gurun karena hubungannya dengan air dingin yang menyegarkan. Di India dan Pakistan, turban dikenali sebagai Pangri, nama lainnya ialah Phakeolis. Di India terkadang laki-laki memakai turban untuk menunjukkan kelas sosial mereka, kasta, profesi atau afiliasi keagamaan. 




Beberapa model turban di India bisa jadi sangat rumit, terbuat dari tenunan kain mewah dan dihiasi dengan perhiasan yang tidak kalah uniknya. Bagi kaum Sikh dari India, Turban disebut juga sebagai Dastar, sedangkan di Arab dikenal dengan imamah. Bagi kaum Sikh, turban menjadi indentitas yang harus terus dilestarikan dan dibanggakan. Pada dasarnya, turban Sikh ini adalah sepotong kain yang digunakan untuk mengatur rambut panjang mereka, karena agama itu mereka penganutnya memotong rambut. Begitu juga pada kaum Sadhu, orang-orang suci Hindu di Nepal. Shadu adalah seseorang yang memiliki pengetahuan tertinggi tentang Tuhan dan semua ciptaanNya.


 


Pada tradisi agama Abrahamik (Yahudi, Nasrani, Islam) penggunaan turban juga menjadi satu keutamaan tersendiri. Kini kaum Yahudi di Palestina biasa mengenakan kippa, yang juga disebut yarmulke. Topi ini digunakan pria Yahudi untuk mengingatkan bahwa Tuhan mengawasi dari atas kepala mereka. Mereka juga memakai semacam topi koboi berukuran besar. Berbeda halnya dengan kaum Beta Israel (komunitas yahudi berkulit hitam di Ethiopia) yang hingga saat ini masih tampak konsisten mengenakan turban mereka. Beta Israel berarti “Rumah Israel”. Mereka juga di sebut Falasha (Orang Asing atau Orang Buangan). Suku ini menurut legenda berasal dari kisah Ratu Sheeba dan Raja Salomon yang membuahkan seorang anak, Menelik I. Legenda lain menyebutkan bahwa asal usul Beta Israel berasal dari suku Yehuda yang mengungsi ke Mesir saat Kerajaan Israel terpecah di masa Raja Yeroboam.

Kaum Sabean/Sabiin atau Mandean di Irak Selatan juga mengenakan Turban. Mereka adalah kelompok yang mengakui dirinya sebagai pewaris ajaran Yohanes Pembaptis dan Adam. Menurut Al-Biruni (penulis abad ke 9), Mandean Sabean adalah sisa-sisa Yahudi pada pembuangan pertama yang masih tinggal di Irak, mereka tidak kembali ke Jerusalem pada jaman Cyrus dan Artaxerxes. Kaum Sabean kemudian mencampurkan Magisme dengan Judasime. Orang-orang Mandean Sabean menyebut diri mereka monotheisme, mereka percaya kepada nabi-nabi dan malaikat, tetapi menolak Musa dan Yesus. Nabi mereka adalah nabi-nabi Yahudi sebelum Musa, seperti Adam, Seth, Nuh ,Sem, Enoch, plus Zakaria dan Yohanes Pembaptis (Yahya).



Mandean Sabean di Irak
Suku Yahudi di Baghdad, Irak
Kaum Essene Nasrani sedang membaca Teks Qumran (Dead Sea Scrolls)

Rastaman di Kenya, Afrika
Beta Israel di Ethiopia 



Berkorelasi dengan Beta Israel, pada generasi kulit hitam selanjutnya muncul penganut Rastafarian. Pada tahun 1920-an ajaran ini berkembang melalui ajaran Marcus Garvey, yang memimpin gerakan 'Kembali ke Afrika'. Kaum Rasta biasanya juga mengikat rambut mereka dengan turban, dan membungkusnya dalam bahan yang berwarna-warni. Untuk mengikat rambutnya di turban, seorang Rasta membutuhkan karet gelang untuk mengamankan sebagian besar gimbal yang mereka kuncir dengan gaya ekor kuda. Seringkali, Rasta menggunakan kain dengan emas, hijau dan merah di atasnya. 

Komunitas Rasta paling populer saat ini adalah Bobo Shanti yang didirikan pada tahun 1958 oleh Pangeran Charles Emanuel Edwards di Jamaika. “Bobo” berarti hitam dan “Ashanti” mengacu pada kelompok etnis Asante di Ghana. Rambut gimbal adalah sebagian dari ibadah sekte ini. Mereka meyakini bahwa selain Haile Selassie, Pangeran Emmanuel merupakan reinkarnasi Kristus dan perwujudan Jah (YHWH), Mereka menekankan pada 'pemulangan' ke Afrika, dan tuntutan penggantian keuangan untuk perbudakan. 

Selain turban anggota Bobo Shanti juga memakai jubah panjang. Mereka mematuhi erat Hukum Hukum Agama Yahudi, termasuk ketaatan Sabat hari ketujuh dari matahari terbenam Jumat, sampai matahari terbenam Sabtu, serta hukum untuk kebersihan menstruasi wanita. Mereka hidup terpisah dari masyarakat Jamaika dan Rastafarian lain. Terlepas dari ajaran agamanya, kaum Bobo Shanti ini sedikit mengingatkan kita pada suku Badui yang tinggal di bagian paling barat pulau Jawa.

Bobo Shanti di Ekuador 


Bobo Shanti di Jamaika
Suku Badui di Banten, Pulau Jawa bagian barat 
Para orang tua di Yaman sering mengenakan sorban melilit topi yang dikenal dalam bahasa Arab sebagai kalansuwa. Gaya dan bentuknya pun bervariasi, mulai dari setengah bola, atau kerucut, berwarna-warni atau putih. Demikian pula, warna turban melilit kalansuwa bervariasi. Para laki-laki di Afganistan juga memakai berbagai turban, dan bahkan di dalam Taliban, ada perbedaan dalam cara menutup kepala mereka. Misalnya, mengenakan turban yang sangat panjang, dengan satu ujung tergantung longgar di bahu. 

Pashtun/Pathan Dresses

mix race & culture.... we are human

Kata turban/sorban diduga berasal dari Persia yang sekarang dikenal sebagai Iran, mereka menyebut tutup kepala dengan istilah dulband. Para pemimpin Iran mengenakan turban hitam atau putih yang dibungkus dalam beberapa gaya, satu di antaranya datar melingkar yang ditampilkan dalam citra pemimpin tertinggi Iran Ayatollah Ali Khomenei. Turban Hitam dalam tradisi mazhab Syiah hanya boleh dikenakan oleh Ulama dari keturunan Nabi Muhammad SAW. Sedangkan ulama Syiah yang bukan dari dzuriyah Nabi saw dikenal dengan Surban Putihnya. Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa: Orang-orang Syiah senantiasa bertanya kepada Imam Ja'far Shadiq terkait dengan pakaian hitam yang biasa dikenakannya. Sang Imam berkata: "Putihkanlah hatimu, dan kenakanlah warna pakaian sesukamu."

 
Para Pemuka Syiah, Iran
Putih oleh beberapa Muslim menjadi warna turban yang suci, hal ini berdasarkan teks bahwa Nabi Muhammad mengenakan sorban putih. Sedangkan warna Hijau, dianggap warna surga, warna juga disukai oleh beberapa muslim. Sebagaimana yang terjadi bagi penganut agama lain, di kalangan Muslim penggunaan turban juga menjadi bahan diskusi tersendiri. Ada yang mengatakan bahwa turban ini awalnya berasal dari budaya Arab. Yang menjadi sedikit perdebatan adalah apakah memakai turban ini dikatakan pakaian yang Islami? Apakah memakai turban ini lebih utama dan dinilai sebagai ibadah yang berpahala?

Seorang Kyai yang akrab disapa Gus Mus pernah berkata bahwa “Islam kita itu ya Islam Indonesia bukan Islam Saudi Arabia, bukan berarti kalau tidak pakai jubah dan sorban, Islam kita tidak diterima?” katanya. Hal ini ia pesankan kepada umat Islam di Indonesia untuk meneladani Nabi Muhammad SAW secara tepat. Menurut dia, Nabi termasuk pribadi yang menghargai tradisi setempat dan berperangai menyenangkan. “Rasulullah SAW memakai jubah, sorban dan berjenggot ya karena tradisi orang Arab seperti itu. Abu Jahal juga berpakaian yang sama, berjenggot pula. Bedanya kalau Rasul wajahnya mesem (sarat senyum) karena menghargai tradisi setempat. Nah, kalau Abu Jahal wajahnya kereng (pemarah). Silahkan mau pilih yang mana?” katanya.

Naqsbandhi Sufi Way
Jika memang hal tersebut benar adanya, maka sudah selayaknya umat Islam di Indonesia, khususnya di Jawa lebih afdol jika mengenakan blangkon. Ada sejumlah teori yang menyatakan bahwa pemakaian blangkon merupakan pengaruh dari budaya Hindu dan Islam yang diserap oleh orang Jawa. Menurut para ahli, orang Islam yang masuk ke Jawa terdiri dari dua etnis yaitu dari Daratan Tiongkok dan para pedagang Gujarat. Para pedagang Gujarat ini adalah orang keturunan Arab, mereka selalu mengenakan turban. Sorban inilah yang menginspirasi orang jawa untuk memakai iket kepala seperti halnya orang keturunan arab tersebut.
(alm) R. Ng. Surakso Hargo alias Mbah Marijan memakai blangkon
(alm) Habib Munzir dan gurunya, Habib Umar Bin Hafid mengenakan turban dengan Style yang sama. Mereka mengenakan turban dengan ujung imamah diletakkan pada sisi kanan kepala jauh di atas telinga, lalu diarahkan ke depan secara miring hingga diatas dahi, dan diteruskan ke kepala kiri hingga mencapai bagian bawah kepala yang hampir menutupi telinga kiri, lalu diteruskan ke belakang dan ditindihkan pada kain yang sudah menutup sisi kepala bagian kanan, dengan posisi setingkat lebih rendah dengan jarak seperti lebarnya jari telunjuk, dengan posisi tumpuk tapi sedikit lebih rendah, lalu diteruskan kedepan dan diteruskan kearah kiri atas namun sejari lebih tinggi dari yang sudah ada, demikian seterusnya. Panjang kain boleh 5 hasta, 7 hasta atau lebih.

Menurut Habib Munzir, ada beberapa riwayat mengatakan Rasul SAW memakai turban berkuncir di belakang antara kedua pundaknya, riwayat lain sorban beliau SAW tak memakai buntut/kuncir, riwayat lain beliau memakai turban dengan kedua telinga terlihat, riwayat lain beliau memakai sorban dan kedua telinganya tertutup. Sang Habib berkata bahwa memakai turban dalam sholat itu sunnah. Ada sebagian umat Islam yang berpendapat bahwa mengenakan sorban harus melakukan haji lebih dulu, menuntut ilmu di pesantren dulu, harus berijazah, dll. Menurut Habib Umar bin Hafidz mengenakan turban hukumnya sunnah, semua muslim boleh memakainya, namun sebagian ulama menjadikan turbannya lebih besar sebagai tanda bahwa ia siap ditanya dan memberi kejelasan atas hukum dan syariah, semakin besar turbannya maka semakin luas ilmunya. 

Habib Munzir dan gurunya, Habib Umar Bin Hafid

Habib Umar Bin Hafid
Berdasarkan pengalaman saya sehari-hari, pakaian dipilih sesuai dengan apa yang akan dilakukan pada hari itu, bagaimana suasana hati. Pakaian sejatinya adalah topeng yang dikenakan untuk memanipulasi tubuh, sebagai cara untuk membangun dan menciptakan citra diri. Saya sendiri cukup senang dan nyaman mengenakan turban pada tempatnya, yaitu ketika berlatih zikr, beribadah di Masjid yang sudah biasa saya datangi dimana masyarakatnya sudah terbiasa dengan turban, dan tidak menganggap seseorang yang menggunakannya adalah teroris, hehehe...

Dalam banyak tradisi sufi, selain untuk menutupi kepala, turban juga digunakan untuk melindungi pusat-pusat spiritual. Ketika berlatih 'rasa', kekuatan spiritual yang terletak di sekitar kepala cenderung naik ke atas, dan turban memegangnya. Menggunakan turban juga mengingat kematian, terutama jika terbuat dari bahan kain kafan. Topi tinggi yang dikenakan penari darwis berputar mengingatkan pada batu nisan. Mahkota seorang darwis itu adalah kematian, dengan cara ini ia membawa kesadaran bahwa tidak ada yang permanen, dan segalanya harus dilepaskan. Darwis adalah seorang yang hidup di ambang pintu, orang yang duduk di ambang antara dua dunia, ia tidak pernah lupa kematian. Pakaian para darwis terinspirasi oleh jubah Surga. Beberapa malaikat mengenakan mantel panjang dan turban seperti yang diadopsi oleh para darwis, semua Nabi telah melihat hal itu. Inilah mengapa mereka mengadopsinya. Darwis memakai pakaian jiwa yang menghubungkan dia ke dunia jiwa.

Naqshbandiyya Nazimiyya Sufi Order
Naqshbandiyya Nazimiyya Sufi Order of America
Dari uraian panjang di atas, maka ketahuilah apa yang kita pakai, jangan cuma mengikuti tren, jadilah pribadi yang berkehendak bebas, sebebas-bebasnya, seluas-luasnya, "Know What You Wear!". Dalam Subculture: The Meaning of Style (1979) Dick Hebdige melihat gaya sebagai sesuatu yang otonom. Ia menyelidiki gaya dalam tingkat keotonomiannya sebagai penanda. Gaya adalah sebuah praktek penandaan, gaya adalah sebuah arena penciptaan makna. Di dalam kode-kode pembeda, gaya merupakan pembentuk identitas kelompok. Dalam subkultur anak muda, barang-barang komoditas melalui konsumsi brikolase dijadikan alat perlawanan terhadap nilai-nilai dominan. Gaya adalah sebuah perang gerilya semiotik.


Perkembangan dunia globalisai mutakhir ini telah menembus batas peradaban dimana batas-batas sosial sudah tak lagi begitu penting, kearifan lokal hanyalah slogan tanpa makna. Semua itu bermuara pada kondisi krisis identitas dan persoalan integritas yang lemah, di kalangan remaja hal ini lebih pada persoalan kebimbangan jati diri menuju ideologi yakni fesyen. Semua hal yang telah dipertontonkan lewat tubuh: gaya pakaian, gaya rambut, serta asesoris pelengkapnya, lebih dari sekedar demonstrasi penampilan, melainkan demonstrasi ideologi. (*)



No comments:

Post a Comment

Featured