Dari sejarah panjang perfilman Indonesia, perempuan rasanya memang hanya ditakdirkan sebagai pemanis dalam sebuah film. Dalam banyak hal, kaum hawa selalu dianggap sebagai gula-gula yang hadir menjadi pemanis cerita. Hal ini barangkali sudah umum dalam film-film Indonesia bahkan hingga saat ini. Diskursus mengenai perempuan di Film Indonesia tak bakal habis dikupas dengan teori feminisme manapun. Adat dan latar belakang sosial yang kental juga membuat semakin kompleksnya penggambaran perempuan pada sebuah film.
BAGAIMANA
peran wanita pada dunia perfilman Indonesia pada era sebelum tahun 2000-an? perhelatan Jogja Netpac Asian Film Festival (JAFF) 2014 menggelar public lecture bertema “Women Perspective on Cinema”. Diskusi yang
menghadirkan pembicara David Hanan (periset dari Australia), Novi Kurnia
(periset), Olin Monteiro (penulis, editor, produser film dokumenter), dengan
moderator Dyna Herlina (periset) ini bertempat di Bentara Budaya Yogyakarta, Selasa,
(2/11) lalu.
David Hanan
adalah seorang periset, pengajar, dan pegiat perfilman. Kini ia sedang
menyelesaikan buku mengenai perbedaan kultural pada sinema Indonesia (dari
tahun 1950 sampai 2010). Pada diskusi ini David menyoroti mengapa di Indonesia
tak banyak wanita yang muncul dalam dunia film, dan kalaupun muncul pasti
perempuan ini memiliki jaringan, baik suami, atau saudara yang sudah terlebih
dahulu masuk ke dunia film. Selain itu,
dalam menghubungkan kajian perempuan film di Indonesia, masih dijumpai beberapa
stereotype mengenai keterlibatan perempuan merupakan objek tatapan laki-laki,
sehingga peran perempuan dalam film diangap sebagai perpanjangan tangan
laki-laki.
David
mengatakan bahwa sebelum era Orde Baru, film perempuan yang diproduksi oleh
perempuan kurang laku di pasaran. Maka dari itu, untuk mengatasinya para
pembuat film perempuan mulai mengadopsi persepsi peran laki-laki terhadap
pembuatan film, sehingga film yang diproduksi dapat bersaing di lapangan.
Sebagai contoh, pengadopsian peran laki-laki tersebut melalui adanya kolabrasi
dalam pembuatan film terkait dengan jumlah peran laki-laki maupun perempuan
dalam peran sebagai produser, sutradara, dan lain lain.
benarkah sutradara perempuan Indonesia ternyata
lebih maju di banding negara lain?
Peran
perempuan di dunia perfilman awalnya mengalami hambatan yang dipengaruhi oleh
berbagai faktor, di antaranya adanya dominasi laki-laki dalam perfilman serta
masih berkembangnya stereotype mengenai peran perempuan dalam film. Tetapi
semenjak Orde Baru, terjadi peningkatan adanya sutradara perempuan yang mulai
menunjukkan karyanya seperti Ratna Sarumpaet (Jamila dan Presiden).
Menurut temuan
penelitian yang dilakukan oleh Novi Kurnia melalui tesisnya terhadap 28
sutradara perempuan, ada enam sutradara sebelum tahun 1998 yakni: Ratna Asmara,
Roostijati, Chitra Dewi, Ida Farida dan Rima Melati. Keenam sutradara tersebut
kebetulan memiliki suami, maupun hubungan kerabat dengan keartisan maupun
produser, hanya Ida Farida saja yang memulai karinya tidak dari kedekatan dunia
keartisan, melainkan sebagai asisten sutradara.
Dalam penelitiannya Novi Kurnia menyebutkan bahwa sutradara perempuan
Indonesia ternyata lebih maju di banding dengan negara lain. Hal tersebut
dibuktikan dengan adanya penghargaan film dengan sutradara perempuan
yang diperoleh oleh Ratna Asmara tahun 2004 (Sedap Malam), sedangkan di luar negeri
baru tahun 2010 oleh Magelo di Hollywood. (*)
No comments:
Post a Comment