Thursday, October 24, 2013

Blora Bergelora: Dari Samin Hingga Pramoedya Ananta Toer

DI ANTARA kota penting di Provinsi di Jawa Tengah, Blora menyimpan banyak kisah sejarah. Uniknya dari jaman ke jaman, sejarah yang tercatat pada wilayah yang di dominasi oleh hutan jati ini tidak pernah lepas dari konflik kepentingan. Memang, sejak jaman kerajaan, hingga saat ini, Blora menjadi primadona para pemilik kepentingan, terutama karena hasil buminya. Sebut saja kayu jati, minyak bumi, dan sebagainya. 
Alun-Alun Blora, foto oleh Helena Lea
Sejak jaman kerajaan Demak, Mataram, hingga saat ini masih saja terjadi gejolak konflik antara masyarakat dengan instansi dan perusahaan besar baik nasional, maupun internasional. Karenanya pantas saja banyak tokoh-tokoh yang tidak kalah kontroversialnya yang dilahirkan di Blora. Di antaranya, Arya Penangsang yang berkuasa di jaman sebelum kerajaan Mataram berdiri, tokoh jurnalistik Tirto Adhi Soerjo, MarcoKartodikromo, sastrawan Pramoedya Ananta Toer, Tokoh DI/TII Sekarmadji MaridjanKartosoewirjo, hingga tokoh kharismatik Samin Surosentiko. 

Kota Blora punya sejarah panjang dan banyak cerita yang kadang sudah dilupakan, bahkan nama tokoh-tokoh tersebut sengaja tidak ditulis dalam sejarah, atau menjadi musuh dari sejarah itu sendiri. Semua nama-nama yang disebut tak lepas dari aroma-aroma perjuangan, pemberontakan, dan penuh kharisma sehingga sepertinya hanya konflik lah yang ada dikenal dari daerah ini.

Menurut cerita rakyat, nama Blora berasal dari kata belor (Lumpur) yang berkembang menjadi mbeloran. Ada juga yang melihat dari kata wai (Air) dan lorah (Jurang/Dataran Rendah), sehingga disebut wailorah atau bailorah yang kemudian berkembang menjadi balora atau Blora. Kabupaten Blora terletak di pinggiran Jawa Tengah, dan berbatasan langsung dengan provinsi Jawa Timur. Sungai Lusi yang merupakan sungai terbesar di Kabupaten Blora yang sumber mata airnya dari pegunungan Kapur Utara (Rembang).
tokoh jurnalistik Tirto Adhi Soerjo  
Sebelah selatan Kota Blora terdapat sebuah kecamatan bernama Randublatung. Di wilayah ini terdapat banyak pohon jati yang dimanfaatkan warganya untuk kebutuhan sehari-hari. Di Randublatung juga terdapat beberapa seniman ukir kayu yang membuat karya-karya dari pohon jati. Para seniman ukir tersebut memanfaatkan akar jati untuk dijadikan sesuatu yang bisa digunakan untuk kehidupan sehari-hari. Bukan hanya kayunya, namun akar jati juga bisa digunakan untuk bahan meubel seperti kursi, meja, pajangan dinding bahkan bisa dibuat patung. Tidak hanya itu saja, batang pohonnya bisa digunakan untuk penyangga genting yang biasa disebut usuk, sedangkan daun jati bisa dijual, dan dijadikan pembungkus makanan.

bersama pemuda sekitar
Bermain musik di studio yang terletak di tengah
lebatnya hutan jati, Blora
Di ranah sosial, politik, dan kebudayaan dalam berbagai perspektif, Blora telah melahirkan orang-orang yang sangat penting bagi sejarah Indonesia.  Satu di antaranya adalah Raden Kohar atau Samin Surasentiko. Beliau adalah seorang tokoh perlawanan kaum petani pada jaman kolonial Belanda yang menggunakan aksi protes pasif, yaitu tidak menggunakan senjata. Pergolakan di Blora pada jaman penjajahan tersebut terutama disebabkan oleh penerapan berbagai macam pajak, perubahan pemakaian tanah komunal, pembatasan dan pengawasan oleh penjajah mengenai penggunaan hasil hutan oleh masyarakat.

Raden Kohar lahir pada 1859 , ia berasal dari Desa Ploso Kedhiren, Randublatung, Blora. Lelaki yang buta aksara ini kemudian lebih memilih daerah Klopoduwur, Blora, Jawa Tengah sebagai tempat pengembangan ajarannya. Bagi para pengikutnya, Raden Kohar atau Samin Surosentiko dipandang sebagai pemimpin spiritual, dan pada tahun 1907, ia diangkat sebagai Ratu Adil dengan gelar Prabu Panembahan Suryangalam.
Lukisan Potret Samin Surosentiko di rumah
Sariman Lawantiran, aktivis pemuda Blora,
(foto: Helena Lea)
Pada 1890 pergerakan Samin berkembang di dua desa hutan kawasan Randublatung dan di Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur. Gerakan ini lantas dengan cepat menjalar ke desa-desa lainnya. Wong Samin terkenal dengan konsep negara bathin yang jauh dari sikap ‘drengki srei, tukar padu, dahpen kemeren’. Dalam diri mereka tertanam konsep ‘lakonana sabar trokal. Sabari dieling-eling. Trokali dilakoni’.  Negara batin yang mereka jalani memang jauh dari sikap iri, dan dengki. Mereka pun selalu harmonis dan saling melengkapi. Bagi sebagian orang, ideologi Samin sering dikaitkan dengan anarkisme, sebuah pemikiran yang menolak segala bentuk intervensi otoritas kekuasaan dan hidup bersama dalam komunitas. Hebatnya Saminisme lahir di tengah-tengah masyarakat Jawa yang saat itu sangat feodalistik, baik dari dalam (Kesultanan), maupun dari luar (Penjajah Belanda).

Karena dipandang cukup membahayakan, maka mulai 1907 banyak pengikut Samin yang ditangkap dan dipenjarakan oleh pemerintah Belanda. Raden Kohar sendiri beserta delapan pengikutnya, ditangkap, dan dibuang ke Sawahlunto, Sumatra Barat hingga meninggal pada tahun 1914. Meski kurang dikenal dalam catatan sejarah Indonesia, namun belum lama ini pemerintah Kabupaten Blora memasang wajah Samin Surosentiko di depan alun-alun kota, bahkan sebuah gedung serbaguna juga diberi nama Samin Surosentiko.
Di Pusat Kota Blora
Bersama komunitas Anak Seribu Pulau, Randublatung,
dan Warga Samin di Desa Sumber Balong, Kecamatan Kradenan,Blora.
Para pengikut Samin biasa disebut dengan Sedulur Sikep. Hingga kini keunikan masyarakat ini bisa ditemui di beberapa desa, di antaranya di timur Randublatung, tepatnya Desa Sumber Balong, Kecamatan Kradenan, Kabupaten Blora.  Salim adalah satu di antara para penerus ajaran Samin, sehari-harinya ia sibuk bertani di kampungnya. Salim dan keluarganya menanam padi organik dan juga membuat pupuk alami. Wong Samin memang penuh dengan keramah tamahannya, mereka tidak ingin diberi, selalu ingin memberi dan mengeluarkan senyum dari wajah yang bersahaja.

Meski begitu, perlawanan mereka terhadap bentuk kesewenang-wenangan tidak berhenti hingga berakhirnya masa kolonial Belanda. Sejak beberapa tahun ini, bersama beberapa organisasi masyarakat,  mereka menolak pembangunan pabrik semen yang didukung Pemprov Jawa Tengah di Pegunungan Kendeng. Penolakan yang dilakukan mayoritas kaum petani ini dikarenakan kepedulian mereka terhadap kelestarian alam lingkungan, pendirian pabrik semen dikhawatirkan akan merusak lingkungan, dan juga tatanan sosial di sana.
Mbak Gunarti, Warga Samin di Pati

Aksi JM-PPK (Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng)
foto: Helena Lea
*****
Nama lain yang juga sosok fenomenal kelahiran Blora adalah Pramoedya Ananta Toer, penulis paling produktif dalam sejarah sastra Indonesia dan penuh kontroversial. Lebih dari 50 karya sastra yang ditulisnya telah diterjemahkan lebih dari 41 bahasa asing. Satu di antara karyanya berjudul ‘Cerita dari Blora’ (1952) dan menjadi meraih penghargaan sebagai karya sastra terbaik dari Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional, Jakarta, 1953. Pramoedya Ananta Toer ialah seorang sastrawan besar yang hampir sebagian besar hidupnya dihabiskan di dalam penjara, mulai jaman kolonial Belanda, Jepang, hingga rezim Orde Baru. 

Pramoedya lahir pada 6 Februari 1925 dan meninggal di Jakarta, 30 April 2006. Setelah tragedi 1965, ia ditahan rezim Soeharto karena ideologi sosialis yang dianutnya. Buku-bukunya pun dilarang untuk beredar. Pramoedya ditahan di Nusakambangan tanpa menjalani proses pengadilan, selanjutnya dengan status tahanan politik, ia dipindahkan ke Pulau Buru, dan menghabiskan masa hidupnya selama 14 tahun.
Pramoedya sewaktu di Belanda 1954
Kini di rumahnya yang terletak di Jalan Sumbawa 40, Jetis, Blora didirikan Perpustakaan PATABA yang merupakan akronim dari Pramoedya Ananta Toer Anak Semua Bangsa. Di depannya terdapat papan dengan tulisan tegas: BACALAH, BUKAN BAKARLAH!! Rumah tersebut kini menjadi kediaman Soesilo Toer, adik bungsu Pramoedya yang juga menjadi pengasuh perpustakaan.
Rumah Pram di Blora, tampak Pak Koesalah
(Kakak Pram) di depan pintu
Foto: Helena Lea
Kurang lebih sebanyak 5.000 buku, mulai sastra, filsafat, hingga buku lainnya yang menjadi koleksi perpustakaan PATABA, buku-buku tersebut juga terdiri dari berbagai bahasa. Menurut Soesilo, koleksi tersebut sebagian adalah miliknya, milik Pramodya Ananta Toer, dan Koesalah Soebagya Toer, yang juga saudara kandungnya. Pengunjung perpustakaan PATABA tidak hanya masyarakat setempat, banyak juga mereka yang sengaja datang dari luar kota, bahkan dari mancanegara yang ingin membaca dan melakukan studi literatur. Bagi para pengunjung yang datang dari luar kota, Soes selalu memberi kesempatan untuk menginap di rumah tersebut. Bahkan dengan kesederhanaannya, ia juga memberi makanan dan minuman kepada para pengunjung perpustakaan.


Jika memasuki bagian dalam dari depan rumah,  kita bisa melihat berbagai foto Pramoedya Ananta Toer dan keluarga. Foto-foto tersebut terdiri dari ketika masa kecil, masa muda, hingga foto masa tua sang maestro. Selain itu juga terdapat foto tokoh-tokoh bangsa seperti, Soekarno, Tan Malaka, dan R.A Kartini.
Berpose bersama Soesilo Toer dan Sariman Lawantiran
Seperti kakaknya, Soesilo adalah seorang penulis sekaligus intelektual, ia menyelesaikan studi Master di Universitas Patrice Lumumba, serta PhD (Doktoral) di Institut Plekhanov Uni Soviet, kini Rusia. Tahun 1973, ketika kembali ke Indonesia, Soesilo terpaksa dipenjara oleh rezim yang berkuasa karena perbedaan pandangan politik. Zaman sudah berlalu, rezim sudah berganti, namun pemerintah setempat tetap saja tidak mengakui perpustakaan tersebut, bahkan menjulukinya sebagai perpustakaan liar. Meski begitu lelaki kelahiran Jetis, Blora, 17 Februari 1937 ini akan terus mengelolanya dengan sepenuh hati. 

Bacalah, Bukan Bakarlah!! (*)
Soesilo Toer
                                                                 
 ****** Sekapur Barus (kalau gak doyan sirih)*******

Sebagian dari tulisan ini pernah dimuat di Koran Tribun Jogja, Maret 2013. Ini adalah perjalanan ke sekian kali saya ke Blora, kali ini bersama Helena Lea Manhartsberger, jurnalis lepas dan fotografer dan Austria yang juga membuat artikel soal Pergerakan Sosial di Asia Tenggara, ada pun essay yang ditulis Helena ini mendapat penghargaan apa gitu saya lupa (soalnya pake bahasa Jerman). Sebelumnya sepanjang Oktober-November 2009, saya pernah mengadakan lokakarya dan tinggal bersama warga di Randublatung. Lokakarya tersebut merupakan bagian dari program akumassa yang dimotori oleh Forum Lenteng, Jakarta. Di sana saya bertindak sebagai fasilitator, dan memproduksi teks, foto, video tentang narasi kecil yang terjadi pada orang-orang biasa. Ada pun beberapa karyanya bisa di simak di akumassa, Randublatung. Jika masih ingin tahu pergerakan Sedulur Sikep Kekinian? silakan klik  Pabrik Semen Penjajah Kendeng dan terjemahkan sendiri isinya. 

SALAM  ANAK SEMUA BANGSA! 
@kikiepea


VIVA LA SAMINISTA !!

1 comment:

Featured