Sejak jaman kerajaan Demak, Mataram,
hingga saat ini masih saja terjadi gejolak konflik antara masyarakat dengan
instansi dan perusahaan besar baik nasional, maupun internasional. Karenanya
pantas saja banyak tokoh-tokoh yang tidak kalah kontroversialnya yang
dilahirkan di Blora. Di antaranya, Arya Penangsang yang berkuasa di jaman sebelum
kerajaan Mataram berdiri, tokoh jurnalistik Tirto Adhi Soerjo, MarcoKartodikromo, sastrawan Pramoedya Ananta Toer, Tokoh DI/TII Sekarmadji MaridjanKartosoewirjo, hingga tokoh kharismatik Samin Surosentiko.
Kota Blora punya sejarah panjang dan banyak cerita yang kadang sudah dilupakan, bahkan nama tokoh-tokoh tersebut sengaja tidak ditulis dalam sejarah, atau menjadi musuh dari sejarah itu sendiri. Semua nama-nama yang disebut tak lepas dari aroma-aroma perjuangan, pemberontakan, dan penuh kharisma sehingga sepertinya hanya konflik lah yang ada dikenal dari daerah ini.
Menurut cerita rakyat, nama Blora
berasal dari kata belor (Lumpur) yang berkembang menjadi mbeloran. Ada juga
yang melihat dari kata wai (Air) dan lorah (Jurang/Dataran Rendah), sehingga
disebut wailorah atau bailorah yang kemudian berkembang menjadi balora atau
Blora. Kabupaten Blora terletak di pinggiran
Jawa Tengah, dan berbatasan langsung dengan provinsi Jawa Timur. Sungai Lusi
yang merupakan sungai terbesar di Kabupaten Blora yang sumber mata airnya dari
pegunungan Kapur Utara (Rembang).
tokoh jurnalistik Tirto Adhi Soerjo |
bersama pemuda sekitar |
Bermain musik di studio yang terletak di tengah lebatnya hutan jati, Blora |
Raden Kohar lahir pada 1859 , ia berasal
dari Desa Ploso Kedhiren, Randublatung, Blora. Lelaki yang buta aksara ini kemudian
lebih memilih daerah Klopoduwur, Blora, Jawa Tengah sebagai tempat pengembangan
ajarannya. Bagi para pengikutnya, Raden Kohar atau Samin Surosentiko dipandang
sebagai pemimpin spiritual, dan pada tahun 1907, ia diangkat sebagai Ratu Adil
dengan gelar Prabu Panembahan Suryangalam.
Lukisan Potret Samin Surosentiko di rumah Sariman Lawantiran, aktivis pemuda Blora, (foto: Helena Lea) |
Karena dipandang cukup membahayakan,
maka mulai 1907 banyak pengikut Samin yang ditangkap dan dipenjarakan oleh
pemerintah Belanda. Raden Kohar sendiri beserta delapan pengikutnya, ditangkap,
dan dibuang ke Sawahlunto, Sumatra Barat hingga meninggal pada tahun 1914. Meski
kurang dikenal dalam catatan sejarah Indonesia, namun belum lama ini pemerintah
Kabupaten Blora memasang wajah Samin Surosentiko di depan alun-alun kota,
bahkan sebuah gedung serbaguna juga diberi nama Samin Surosentiko.
Di Pusat Kota Blora |
Bersama komunitas Anak Seribu Pulau, Randublatung, dan Warga Samin di Desa Sumber Balong, Kecamatan Kradenan,Blora. |
Para pengikut Samin biasa disebut
dengan Sedulur Sikep. Hingga kini keunikan masyarakat ini bisa ditemui di
beberapa desa, di antaranya di timur Randublatung, tepatnya Desa Sumber Balong,
Kecamatan Kradenan, Kabupaten Blora. Salim
adalah satu di antara para penerus ajaran Samin, sehari-harinya ia sibuk bertani
di kampungnya. Salim dan keluarganya menanam padi organik dan juga membuat
pupuk alami. Wong Samin memang penuh dengan keramah tamahannya, mereka tidak
ingin diberi, selalu ingin memberi dan mengeluarkan senyum dari wajah yang
bersahaja.
Meski begitu, perlawanan mereka
terhadap bentuk kesewenang-wenangan tidak berhenti hingga berakhirnya masa
kolonial Belanda. Sejak beberapa tahun ini, bersama beberapa organisasi
masyarakat, mereka menolak pembangunan
pabrik semen yang didukung Pemprov Jawa Tengah di Pegunungan Kendeng. Penolakan
yang dilakukan mayoritas kaum petani ini dikarenakan kepedulian mereka terhadap
kelestarian alam lingkungan, pendirian pabrik semen dikhawatirkan akan merusak
lingkungan, dan juga tatanan sosial di sana.
Mbak Gunarti, Warga Samin di Pati |
Aksi JM-PPK (Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng) foto: Helena Lea |
Nama lain yang juga sosok fenomenal kelahiran Blora adalah Pramoedya Ananta Toer, penulis paling produktif dalam sejarah sastra Indonesia dan penuh kontroversial. Lebih dari 50 karya sastra yang ditulisnya telah diterjemahkan lebih dari 41 bahasa asing. Satu di antara karyanya berjudul ‘Cerita dari Blora’ (1952) dan menjadi meraih penghargaan sebagai karya sastra terbaik dari Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional, Jakarta, 1953. Pramoedya Ananta Toer ialah seorang sastrawan besar yang hampir sebagian besar hidupnya dihabiskan di dalam penjara, mulai jaman kolonial Belanda, Jepang, hingga rezim Orde Baru.
Pramoedya lahir pada 6 Februari 1925
dan meninggal di Jakarta, 30 April 2006. Setelah tragedi 1965, ia ditahan rezim
Soeharto karena ideologi sosialis yang dianutnya. Buku-bukunya pun dilarang
untuk beredar. Pramoedya ditahan di Nusakambangan tanpa menjalani proses pengadilan,
selanjutnya dengan status tahanan politik, ia dipindahkan ke Pulau Buru, dan menghabiskan
masa hidupnya selama 14 tahun.
Pramoedya sewaktu di Belanda 1954 |
Rumah Pram di Blora, tampak Pak Koesalah (Kakak Pram) di depan pintu |
Foto: Helena Lea |
Jika memasuki bagian dalam dari depan rumah, kita bisa melihat berbagai foto Pramoedya
Ananta Toer dan keluarga. Foto-foto tersebut terdiri dari ketika masa kecil,
masa muda, hingga foto masa tua sang maestro. Selain itu juga terdapat foto
tokoh-tokoh bangsa seperti, Soekarno, Tan Malaka, dan R.A Kartini.
Berpose bersama Soesilo Toer dan Sariman Lawantiran |
Seperti kakaknya, Soesilo adalah
seorang penulis sekaligus intelektual, ia menyelesaikan studi Master di
Universitas Patrice Lumumba, serta PhD (Doktoral) di Institut Plekhanov Uni
Soviet, kini Rusia. Tahun 1973, ketika kembali ke Indonesia, Soesilo terpaksa
dipenjara oleh rezim yang berkuasa karena perbedaan pandangan politik. Zaman sudah berlalu, rezim sudah
berganti, namun pemerintah setempat tetap saja tidak mengakui perpustakaan
tersebut, bahkan menjulukinya sebagai perpustakaan liar. Meski begitu lelaki
kelahiran Jetis, Blora, 17 Februari 1937 ini akan terus mengelolanya dengan
sepenuh hati.
Bacalah, Bukan Bakarlah!! (*)
Bacalah, Bukan Bakarlah!! (*)
****** Sekapur Barus (kalau gak doyan sirih)*******
Sebagian dari tulisan ini pernah dimuat di Koran Tribun Jogja, Maret 2013. Ini adalah perjalanan ke sekian kali saya ke Blora, kali ini bersama Helena Lea Manhartsberger, jurnalis lepas dan fotografer dan Austria yang juga membuat artikel soal Pergerakan Sosial di Asia Tenggara, ada pun essay yang ditulis Helena ini mendapat penghargaan apa gitu saya lupa (soalnya pake bahasa Jerman). Sebelumnya sepanjang Oktober-November 2009, saya pernah mengadakan lokakarya dan tinggal bersama warga di Randublatung. Lokakarya tersebut merupakan bagian dari program akumassa yang dimotori oleh Forum Lenteng, Jakarta. Di sana saya bertindak sebagai fasilitator, dan memproduksi teks, foto, video tentang narasi kecil yang terjadi pada orang-orang biasa. Ada pun beberapa karyanya bisa di simak di akumassa, Randublatung. Jika masih ingin tahu pergerakan Sedulur Sikep Kekinian? silakan klik Pabrik Semen Penjajah Kendeng dan terjemahkan sendiri isinya.
SALAM ANAK SEMUA BANGSA!
@kikiepea
SALAM ANAK SEMUA BANGSA!
@kikiepea
suka suka.
ReplyDelete