BANYAK
band yang memainkan musik bagus, namun
masih banyak yang kurang memiliki kesadaran performa. Sangkakala adalah
band yang mempunyai keduanya. Permainan musik mereka ciamik, penampilan mereka
benar-benar total, attitude mereka benar-benar mencerminkan apa yang mereka
mainkan. Sangkakala adalah sebuah band yang setia mengusung musik heavy metal sejak berdirinya Oktober 2005
lalu.
Grup
cadas yang beranggotakan Baron Capulet Araruna a.k.a Hendra “Blankon” Priyadhani
(Vocal), Rudy “Atjeh “ Dharmawan (Bass), Ikbal S Lubis (Gitar), dan Riono
Tanggul Nusantara a.k.a Tatsoy (drum)
ini memang berlatar belakang seni rupa
dan musik, maka tak heran jika mereka sangat terampil memadukan kedua unsur
disiplin tersebut. Dengan musik cadas yang dipadukan dandanan ala glam rock, rambut
mullet, sepatu hi-top, hingga celana ketat bermotif ular, macan, atau berwarna
mencolok ini maka jadilah Sangkakala sebagai "No Wave Bantul Heavy
Metal".
Bentuk
visual penampilan Sangkakala sevara totalitas mengacu pada zaman keemasan glam
metal era 80an. Tidak hanya itu, dengan kesadaran penuh mereka membuat bentuk-bentuk
visual lainnya seperti, banner dan percikan kembang api yang meriah. Sebagai
grup musik, mereka pernah beberapa kali menggelar pameran yang menyajikan karya
visual dan audio visual. Beragam artwork, t-shirt, poster, banner, hingga komik
yang mereka produksi secara sendiri.
Pada
2010 lalu, Sangkakala merilis ‘Macanista’, album yang dirilis oleh netlabel
Yes No Wave tersebut merupakan rekaman konser mereka di Taman Budaya
Yogyakarta. ‘Macanista’ berisikan lagu-lagu yang selalu mereka bawakan di atas
panggung yaitu ‘Into The Row’, ‘Rock Live At Roller Coaster’, ‘Gang Bang Glam
Rawk’, ‘Hotel Berhala’, dan ‘Tong Setan’. Kini sebelum meluncurkan album
perdana, sebagai pemanasan, Sangkakala baru saja merilis single ‘Kansas’ yang
bisa diunduh gratis di YesNoWave.com.
Menurut
Blankon, ‘Kansas’ ini didedikasikan untuk mereka yang selalu mengapresiasi
lagu-lagu Sangkakala. ‘Kansas’ merupakan akronim yang populer di era 90-an,
yaitu "Kami Anak Nakal Suatu Saat Akan Sadar". “Lagu ini untuk semua
Macanista, Paskibraka (Pasukan pengibar bendera Sangkakala), Aerobic Rock
Fighting Club’, dan semua yang panas saat menonton, mereka tidak banyak, tapi
mematikan,” tegas sang biduan rock ini dengan gaya khasnya. Kepada Tribune Rockers, di Studio Blankon, keempat Glam Rockers ini berkumpul dan bercerita
banyak hal tentang band mereka, dan propaganda mereka akan glam rock.
Menurut
Rudy, di kampus mereka (ISI Yogyakarta) ternyata banyak sekali yang menggemari
heavy metal, termasuk para dosen. Pada perkembangannya, terbentuklah scene
sendiri yang merupakan komunitas metal yang diberi nama Maroko (Mantrigawen
Rock Community). Mereka membuat khusus backdrop, tata artistik, hingga event
sendiri yang hingga kini dikenal dengan nama ‘Rock Siang Bolong’. “Kami tidak pernah berharap ada event yang
mengundang, jadi mending bikin event sendiri,” tukas bassist yang juga aktif
sebagai perupa ini. Bersama band lainnya
seperti Sekar Jagad, Sangkakala membuat event bertajuk ‘Tribute Rock
Indonesia’, ‘Tribute To Nicky Astria’, ‘Tribute To Anggun C Sasmi’, dan
sebagainya.
Menurut
Rudy juga, awalnya Sangkakala tidak berniat untuk menjadi band serius. Sebelum
formasi saat ini, tercatat Tomo Widayat (kini gitaris Everlong), dan Acep
Caroline (Drum) sempat bergabung dengan band tersebut. Acep kemudian
meninggalkan band karena bekerja di luar kota, “Blankon nggak pede pakai Tomo,
dia terlalu jago, jadi kami nggak ajak lagi,hahaha,” ucapnya tergelak.
Karena
dengan kesadaran penuh bahwa bermain musik rock harus memiliki gitaris yang
punya skill mumpuni, personel yang tersisa mencari gitaris di Fakultas Seni
Pertunjukkan, bertemulah mereka dengan Ikbal dan Chosin. Beberapa kali tampil,
ternyata skill Chosin terlalu mumpuni, bahkan menurut Rudy band mereka akhirnya
jadi lebih mirip solo gitar. Maka Ikbal yang cocok dengan Blankon dan Rudy,
kemudian didaulat sebagai gitaris tetap setelah sebelumnya dicekoki berbagai
dandanan ala glam rockers.
Kampanye
glam rock ala Sangkakala makin meluas. Pada hajatan seni rupa Bienalle Jogja X,
Sangkakala menggelar proyek seni multi-disiplin bertajuk ‘Macanista’. Proyek
ini terdiri dari beberapa kegiatan yang menekankan glam rock sebagai highlight,
seperti glam-rock hairstyling, custom costume dan pembuatan fans attribute
berupa poster, flyer dan banner yang kemudian diakhiri dengan konser tunggal di
Amphitheatre Taman Budaya Yogyakarta.
Di
antara rangkaian eksebisi tersebut adalah School Of Rock, yaitu membuka klinik seperti layaknya
sekolah musik, mereka menyediakan lima ampli guitar, ampli bass, dan tiga drum
set untuk belajar bersama cara memainkan lagu Sangkakala. Bentuk propaganda lainnya adalah Dressing Glam
Raw, yaitu workshop meng-custome baju
untuk berdandan ala glam raw. Tidak hanya itu, mereka juga mengadakan Hairstyling,
yaitu workshop potong rambut ala Sangkakala. Meski
banyak tawaran untuk Sangkakala tampil di luar kota, namun menurut Blankon
mereka masih fokus untuk menggarap album, karena bagi dirinya pribadi, jika di
dunia seni rupa maka, album ibaratnya adalah sebuah pameran. Menurutnya,
dan diamini ketiga temannya, selain berusaha merampungkan album, Sangkakala juga
berniat mengadakan tur. “Kami juga ingin punya SPG sendiri, Sangkakala
Promotion Girl, jadi kalau album kami kelar, silakan mendaftar jadi SPG untuk
bantu promo,” ujarnya serius.
SEBELUM
mendengarkan musik rock, sebenarnya Blankon lebih dulu menyukai visual dari
banyak grup musik cadas yang populer ketika ia masih SD. Lelaki kelahiran
Ponorogo, 29 Juni 1981 ini sejak kecil mengoleksi poster band glam rock macam,
Poison, Pretty Boy Floyd, Metallix, dan sebagainya. Latar
belakang seniman dan
vokalis bernama asli Hendra Priyadhani
ini memang suka berdandan.
“Saat
koleksi poster aku belum tahu musiknya, baru kenal musik kelas enam SD ketika
ibu beli album Festival Rock Kompilasi seharga Rp 4500, di album itu ada lagu favorit
saya ‘Kerangka Langit’, Kaisar,” ujar Blankon. Dari
semua penampilannya bersama Sangkakala, hal yang paling berkesan baginya adalah
ketika tampil membawakan lagu ‘Kerangka Langit’ milik Kaisar. Saat itu mereka
main tidak begitu bagus, namun yang membuat Blankon berkesan adalah
pertunjukkan tersebut ditonton oleh ibunya. “Ibuku masih ingat dengan lagu itu,
dia membonceng saya pakai sepeda dan beliin kaset itu,” katanya.
Selain berkreasi bersama Sangkakala, Blankon juga
masih sibuk menggambar, ia masih melanjutkan pameran tunggalnya yang bertema
‘Fine Art Rock’.
******
SELAIN
sebagai pencabik bass untuk Sangkakala, Rudy ‘Atjeh’ Dharmawan juga dikenal
sebagai seorang perupa. Lulusan desain grafis ini juga aktif berkarya dengan
media sablon, cukil dan semua teknik grafis. Sejak kecil Atjeh sudah
diperdengarkan abang beserta para sepupunya akan musik heavy metal seperti Iron
Maiden, Overkill, dan sebagainya. “Di Aceh yang senang musik metal itu banyak
banget, kalau dari kecil nggak kenal Metal mungkin sekarang aku bisa suka musik
dangdut atau melayu,” ungkap bassis kelahiran Aceh 15 Mei 1982 ini. Ketika
SMA, Rudy membentuk band Black Metal. Jenuh dengan musik-musik underground yang
supercadas, ia pun banting stir dan berubah haluan memainkan Heavy Metal.
Setelah hijrah ke Yogyakarta dan bertemu Blankon yang ternyata memiliki visi
dan selera yang sama, mereka sepakat untuk bermain musik bersama. Uniknya
mereka tidak langsung mengusung heavy metal, namun sempat juga memainkan musik
rock Malaysia dan Melayu. Ketika menyanyikan lagu Malaysia, Atjeh dan Blankon selalu
saja dilempari dan dijadikan bulan-bulanan penonton yang tidak lain adalah
teman-teman mereka sendiri.
********
BERSAMA
Sangkakala, Ikbal merasa nyaman berekspresi meraungkan gitarnya, pasalnya
ketiga temannya tidak pernah memaksakan pakem tertentu. “Demokratis, mau main
gitar kayak apa aja nggak ada batasan, saya dibebaskan di wilayah gitar,” ujar
lulusan Seni Musik ISI Yogyakarta ini.Gitaris
bernama lengkap Ikbal S Lubis ini juga seorang pemilik rumah musik bernama
Etniktro. Di tempat yang selalu ramai menjadi tempat tongkrongan tersebut ia
membuka workshop, klinik, dan kursus musik.Menurut
lelaki yang mengidolakan Dimebag Darrell (Pantera) Eet Syahrani, dan Totok
Tewel ini sepanjang pengalamannya bermain bersama Sangkakala adalah ketika
sebuah pembukaan pameran lukisan di Bentara Budaya Yogyakarta beberapa waktu
lalu.“Itu
adalah penampilan paling ambyar, kami dianggap band dagelan, pas datang ke
venue, di sana nggak ada drum, yang ada cuma sound dan mikropon, jadi pas
manggung langsung cari alat,” ucap Ikbal lalu tertawa.Meski begitu, Sangkakala tetap tampil prima dan
totalitas. Hingga ketika mereka menggelar proyek Macanista, orang-orang yang
sebelumnya menganggap Sangkakala adalah band dagelan semakin percaya bahwa band
tersebut merupakan band sungguhan.
******
SEBENARNYA
Tatsoy bukanlah penggemar fanatik musik heavy metal. Drummer bernama lengkap Riono
Tanggul Nusantara ini mengaku lebih menyukai band-band seperti Oasia, Coldplay,
dan sebagainya. Cowok kelahiran Yogyakarta, 17 Agustus 1984 ini sudah bermain
drum sejak SMP, ‘Radja’ milik /rif merupakan lagu yang sering dibawakannya.
Sebelum
bergabung bersama Sangkakala, Tatsoy bermain untuk band garage rock bernama
Herpess. Setelah band tersebut vakum, ia ditawarkan untuk bergabung dengan
Sangkakala.Ia
mengatakan sempat tidak betah di band tersebut, karena tidak nyaman berdandan
ala glam rockers. “Saya didandani celana ketat, pas main malah nggak betah,
hahaha,” ujarnya. Namun
Tatsoy pun berinisiatif untuk mencoba fashion sendiri yang tidak timpang jauh
dengan karakter Sangkakala. Sebagai seorang perupa, Tatsoy sedang menyuapkan
pameran tunggalnya. Karya-karyanya terinspirasi dari komik street art.
Sebelumnya ia pernah berpameran di beberapa negara di antaranya Swiss, dan
Italia.
*Foto2
sangkakala di atas stage oleh: Tendi
No comments:
Post a Comment