DI Dunia panggung, mulai pentas seni sekolahan, hingga
acara-acara alternatif yang digelar secara komunal, Festivalist adalah nama
yang patut diperhitungkan eksistensinya. Keliaran, sound yang kasar, lirik yang
menusuk, hingga attitude yang mereka keluarkan baik di atas panggung, maupun di
baliknya, sudah menjadi tanggung jawab sejatinya sebuah kelompok musik yang
menjadikan Rock sebagai tunggangannya. Sang frontman, Farid Stevy Asta tak
perlu diragui bagaimana cara ia membius penontonnya ketika melantunkan
lirik-lirik yang ditulisnya, dengan gaya yang puitik, lirik-lirik tersebut
bercerita tentang rutinitas sehari-hari, kehidupan, hingga kematian manusia.
Lagu-lagu seperti ‘Maha Oke’, ‘Menangisi Akhir Pekan’, ‘Monster Karaoke’, ‘Mati
Muda’, hingga ‘Hari Terakhir Peradaban’ sudah dihafal luar kepala oleh ribuan
pendengarnya yang juga mereka sebut dengan Festivalist.
Festivalist merupakan kelanjutan dari
sebuah band bernama Jenny yang dibentuk 2003 lalu di kampus seni rupa ISI Yogyakarta, kini mereka adalah
Roby Setiawan (gitar), Human Movid Arifin (bass), Danish Wisnu Nugraha (drum)
dan Farid Stevy Asta (vokal), mereka juga dibantu Rio Faridino (Keyboard).
Di bawah nama Jenny, mereka telah menelurkan album bertitel ‘Manifesto’
(2009) yang di produksi secara independen. Kini bagaimana kelanjutan cerita
dari band yang kian meroket ini, beberapa waktu lalu Tribune Rockers
mengunjungi Farid Stevy Asta dan Roby Setiawan di Libstud, studio mereka di
Selatan Kota Yogyakarta. Berbeda dengan keliarannya di atas panggung, Farid dan
Roby adalah sosok yang ramah, hangat, dan penuh candaan. Keseriusannya terhadap
apa yang dikerjakannya, terlihat lewat sorot matanya saat menjelaskan beberapa
project-nya, baik bersama Festivalist maupun kesibukan pribadi.
TR: Bagaimana
Kelanjutan full album Festivalist, rumornya kan mau dirilis dalam waktu dekat
ini?
Farid: Kami memang belum bisa tepat waktu
menyelesaikan album, selalu saja meleset. Materinya sudah 50%, tapi sudah jadi
kebiasaan dimana materi lagunya datang sesuai pengalaman. Ternyata karakter
prosesnya begitu, penulisan lagu mengalir begitu saja, dan ditulis mengikuti
suatu kejadian.
TR: lalu
apa saja yang saat ini Festivalist kerjakan untuk membuat semacam pertanggung
jawaban terhadap pendengar kalian?
Farid:
Maka itu, sekarang kami membuat project yang terpecah-pecah jadi
beberapa bagian, di antaranya ‘One Gig, One Video’, yaitu setiap manggung, kami
akan memposting satu video di blog. Lalu, kami akan merilis satu lagu secara
akustik setiap bertambah 500 followers di twitter @FSTVLST, sebelumnya lagu
‘The Only Way’ sudah diedarkan. Project selanjutnya adalah ‘Menulis di Blog
Festivalist’, ini membuka buat teman-teman yang mau menulis apapun, tidak harus
tentang Festivalist, apapun tulisannya nanti dikurasi dulu, project ini
dikelola teman kami Belia Paki, yang juga membuka perpustakaan dan Kedai Buku
Jenny di Makassar.
TR: Bagaimana
sih proses berkarya kalian, terutama dalam hal pembuatan lagu?
Farid: Awalnya kami mencoba menulis lagu
ketika jamming di studio atau duduk bersama untuk menulis lagu, tapi kok nggak
bisa ya, akhirnya ya seperti cara saat ini, kami mencipta lagu secara separatis.
Roby bikin komposisi kosong yang dia kasih judul seenaknya, seperti ‘Mati
Muda’, ‘Monster Karaoke’ dan sebagainya, lalu saya mengisi teksnya.
TR: Nah,
lagu ‘Monster Karaoke’ itu akhirnya jadi judul lagu, liriknya bercerita tentang
apa, dan bagaimana latar belakang penciptaan lirik di lagu ‘Hari Terakhir
Peradaban’?
Farid: Ketika sedang bekerja di
rutinitasnya, manusia cenderung tidak menjadi dirinya sendiri, dan selepas
bekerja barulah terbebas keluar menjadi diri sendiri, lalu merayakan
kesenangannya. ‘Monster Karaoke’ terinspirasi dari sini. Lirik ‘Hari Terakhir
Peradaban’ saya rangkai dari beberapa frase yang selalu saya tulis di ‘Buku
Hitam Festivalist’ (buku kecil yang selalu dibawanya, bahkan ke atas
panggung,red). Buku tersebut selalu merekam setiap pengalaman dan kejadian di
sekitar, saya hanya menuliskan frase seperti ‘Barbarian Bersorban’, ‘Gila
belanja’, ‘Bangga berdosa’, ‘Cendikia pendusta’, dan sebagainya. untuk lagu
‘Hari Terakhir Peradaban’, frase tersebut kemudian dirangkai seperti lagu
karnaval yang isinya adalah dekadensi, sepertinya tidak sedang terjadi apa-apa,
padahal kita sedang merayakan karnaval ‘kemunduran’.
TR: Apa
sih yang menjadi dasar hingga kalian menjadi Festivalist seperti sekarang ini?
Farid: Sejak jaman band ini masih bernama
Jenny, kami selalu meneriakkan kesetaraan meski lewat hal-hal yang sederhana. Sudah
menjadi ‘common sense’ bahwa setiap orang butuh dihormati, dan merasa nyaman
dengan ‘Kesetaraan’, itu yang dilakukan anak-anak, maka tidak ada jarak lagi
antara band-penggemar, band kami bernama Festivalist dan pendengarnya pun
bernama Festivalist. Festivalist itu kan harfiahnya orang datang,
bersenang-senang, merayakan apa saja,lalu pulang, begitu pun dengan siklus
hidup manusia.
TR: Secara
pribadi, bagaimana kamu mendeskripsikan musik Festivalist?
Farid: ‘Almost Rock Barely Art’, tanpa tendensi
berlebih, kami hanya ingin memberikan pesan dan berbagi kebahagiaan lewat
musik, banyak yang bilang musik kami ‘garage rock’, tapi kalau mengaku-ngaku
‘Garage’, sungkan juga sama yang ‘garage’ beneran. (tertawa..)
TR: Dalam
waktu dekat ini, lagu baru apa yang dirilis Festivalist?
Farid: Kami punya lagu baru yang beberapa
kali sudah dimainkan di atas panggung, judulnya ‘Menantang Rasi Bintang’. lagu
itu bercerita tentang bagaimana kita membalik garis tangan, banyak orang-orang
yang lahir, besar, berpikir lalu tersadar bahwa ia anak orang biasa, dan bukan
siapa-siapa lalu melawan apa yang sudah digariskan. Misalnya saya yang lahir di
Wonosari dan dianggap sebagai daerah tertinggal, lalu bagaimana cara dengan
keterbatasan kita bisa melawannya dengan prinsip ‘Bahagia itu Sederhana’. (tersenyum)
TR: Sebagai individu, saat ini apa yang menjadi
uneg-unegmu?
Farid: Hidup
manusia itu singkat, paling hanya 70 tahun, sedangkan setiap hari adalah
pengalaman kecil dari hidup. Apa yang kita lakukan sehari-hari menjadi penting,
kalau kita nggak bisa memberikan apa-apa terhadap banyak orang, maka perbuat
apa yang bisa dilakukan dengan kalimat ‘Bahagia itu Sederhana’. Senang bisa
mensyukuri hal-hal sederhana, dan disampaikan lewat band, itulah yang membuat
saya masih bisa berdiri sampai sekarang.
*****
SELAIN bermusik, Farid Stevy Asta
juga dikenal sebagai seorang desainer dan perupa. Pria kelahiran Wonosari, 20
Oktober 1982 ini kerap mengikuti berbagai eksebisi seni rupa kontemporer.
Beberapa hasil desainnya juga digunakan untuk banyak kalangan, termasuk logo PT
Kereta Api Indonesia yang merupakan buah karyanya. Farid memulai main musik
sejak kuliah di Fakultas Seni Rupa Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta
tahun 2000 silam. Bersama teman kuliahnya, Anis Setiaji ia membentuk band yang
pernah beberapa kali tampil di Wonosari. Setelah bertemu dengan Roby Setiawan
dan Arjuna Bangsawan, ia membentuk Jenny. Sejak kecil, ternyata Farid memang
bercita-cita untuk menjadi seniman. Di kancah seni rupa, kini ia sedang
menyiapkan Solo Exebition di Deux Ex Machina, Jakarta. Pameran tersebut juga
menjadi pameran perdana di galery yang baru dibuka di wilayah Kemang tersebut.
Pameran berjudul ‘GDRS GTH’ ini juga merupakan kelanjutan dari eksebisi di Deus
Ex Machina Bali pada 2010 lalu. Apa yang dikerjakan Farid baik itu
lewat musik, seni rupa bisa dibilang tidak ada perbedaan karakter. Ia
menganggap ketika bernyanyi, menulis, dan melukis adalah hal yang sama,
perbedaannya hanya pada, nada, kata, dan warna. Kesehariannya, pria yang kini
gemar berjalan-jalan dengan vespanya ini juga sibuk di Libstud, studio yang
melayani jasa desain komersial. Di studio yang merupakan kantornya tersebut,
Farid bersama beberapa teman, dan adik-adik kelasnya mengerjakan desain untuk
beberapa sekolah, kampus, dan instansi pemerintahan.
FOTO: Sebagian oleh saya, sebagian boleh membajak!
No comments:
Post a Comment