SELAMA kurun waktu dua tahun terakhir ini, skena metal di Yogyakarta
mengalami perkembangan yang cukup bagus dan signifikan. Selain semakin
menjamurnya metal store di Yogyakarta, fenomena ini terlihat dengan banyaknya
band-band baru yang mempunyai kemampuan musikalitas dan performance yang bagus.
Menurut Sofyan Hadi, Vokalis dan gitaris Death Vomit, beberapa diantara
band-band baru ini malah sudah ada yang menandatangani kontrak dengan
label-label rekaman.
Hal ini tampak berbeda dengan awal 2000-an lalu, dimana
skena ini serasa mati suri. Yogyakarta memang akan selalu menjadi
sorotan dalam hal budaya. Dan ketika kejayaan death metal mulai ikut dirasakan
oleh kota ini, bagi Oki, pemain bass Death Vomit, pada saat itu pula death
metal sudah menjadi bagian dari budaya Yogya dan budayanya sebagian anak muda.
Komunitas metal di Yogyakarta yang
masih bertahan dan beraktivitas adalah JCG (Jogjakarta Corpse Grinder). Oki
mengaku tidak pernah membayangkan bahwa ketika datang ke acara-acara metal akan
bertemu banyak orang dengan hampir semuanya berpakaian
hitam-hitam. “Coba kita kembali ke tahun 1994-1996, hal yang tidak
mungkin kita temui kan? Bisa anda bayangkan perkembangan metal Yogya saat ini
dengan perbandingan tersebut,” ujarnya.
Band beraliran Death Metal asal Yogyakarta, Death Vomit yang digawangi Sofyan Hadi (guitar, vocals), Oki Haribowo (bass,
vocals), dan Roy Agus (drums) ini sudah menelurkan album 'Eternally Deprecated'
(EP - 1999), Demented Mind Records, 'The Prophecy' (2006) Rottrevore Records,
dan 'Flames of Hate' (DVD - 2009) Rottrevore Records.
Flames Of Hate (DVD) |
Death Vomit sendiri sudah
terbentuk sejak 1995, band ini sudah mengalami beberapa kali bongkar pasang
personel. First line up mereka adalah Dede Suhita (vocal), Wilman Taufik
(guitar), Arie (bass) dan Roy Agus (drums). Setelah Dede keluar, masuklah Agung
(alm) di posisi vokal. Tidak lama kemudian Arie mengundurkan diri yang kemudian
posisinya digantikan Camel. Masuknya kedua personel baru ini membuat konsep
musik Death Vomit berubah menjadi brutal death.
Pada 1998 Wilman keluar, dan
kemudian Sofyan Hadi masuk menggantikan posisi Wilman. Sebelum mereka merilis
EP 'Eternally Deprecated' di tahun 1999, Camel keluar dan posisinya dan digantikan Aryudha. Tahun 2000 lalu, Death
Vomit harus kehilangan Agung untuk selamanya. “Kami benar-benar terpukul dengan
kejadian itu, dan akhirnya kami sepakat tidak akan mencari pengganti Agung, dan
saya akhirnya yang dipilih menggantikan posisinya sebagai vokalis,” ujar Sofyan
menceritakan perjalanan band tersebut.
Tidak sampai disitu, tahun
2002 mereka kembali mengalami pergantian personel. Aryudha keluar dan posisi
bass, dan digantikan Oki Haribowo. Formasi ini bertahan sampai sekarang sampai
dirilisnya album 'The Prophecy' tahun 2006, dan DVD Live 'Flames of Hate' 2009
lalu.
Menurut vokalis yang juga bekerja freelance sebagai
graphic designer ini Death Vomit secara harfiah berarti 'memuntahkan kematian'.
Sofyan berujar tidak ada filosofi khusus mengenai pemilihan nama ini. “Kami memilih
nama ini karena seusai dengan konsep musik dan lirik yang kami bawakan,” imbuh
cowok yang juga koleksi ribuan kaset/cd musik dan film ini.
Sedangkan menurut Oki, sang bassist, Death Vomit ini adalah nama pilihan Dede Suhita. Ia sendiri mengaku
tidak tahu kenapa Dede memilih nama ini. “Tapi nama ini keren untuk sebuah band
death metal, dan Death Vomit bagi saya pribadi adalah pengungkapan sisi gelap
dan amarah,” ucap pria yang menggemari beberapa band old school death metal
seperti Monstrosity, Deicide, Malevolent Creation, dan Suffocation ini.
Lirik-lirik Death Vomit rata-rata menceritakan tentang
pengalaman pribadi, terutama lagu-lagu yang diciptakan (alm) Agung. “Kalau saya
sendiri lebih banyak mengadopsi film sebagai inspirasi lirik. Serial killer,
abnormality dan sejenisnya. Saya banyak terinspirasi dengan film-film Stephen
King,” ujar musisi yang menyukai gitaris yang merangkap sebagai vokalis
seperti, James Hetfield (old Metallica), Mille Petrozza (Kreator), Alex
Skolnick (Testament, Alex Skolnick Trio) dan Rob Barrett (Malevolent Creation).
****
SEPANJANG September 2010 lalu, Death
Vomit menjalani Tour Australia. Selama sebulan penuh mereka menggebrak kota
Perth, Geelong, Sydney, Melbourne, dan Brisbane. Menurut Oki bassist band
beraliran death metal ini, hal ini merupakan yang biasa terjadi dimana saja
Bermula dari ketertarikan Jason Hutagalung, pemilik xenophobic records terhadap
Death Vomit, lantas setelah berembug untuk beberapa waktu, berangkatlah band
asal Yogyakarta ini ke negeri kangguru tersebut.
Di sana mereka sepanggung dengan
band-band metal raksasa yaitu, Napalm Death dan Dying Fetus. Menurut Sofyan
banyak sekali perbedaan mencolok antara scene metal di Australia dengan scene
metal dalam negeri. Pelajaran utama bagi mereka adalah, di sana setiap panggung
hanya ada mikrofon dan kabel-kabel saja, semua band membawa alat, dan
perlengkapannya sendiri. Namun Death Vomit sudah disediakan oleh promotor, dari
Yogya, mereka cukup membawa gitar, efek, bass, dan snare drum.
Sofyan menceritakan
kalau di sana tidak ada istilah checksound, yang ada hanyalah checkline atau
prepare selama 20 menit sebelum perform. Hal ini pun berlaku bagi band-band
besar seperti Napalm Death, dan Dying Fetus.
Para musisi, dan penonton di sana
sangat mengapresiasi terhadap band-band yang memang bermain bagus, termasuk
Death Vomit. Hal itu bisa dilihat dari
merchandise mereka berupa CD dan T-Shirt yang sudah terjual habis di gigs ke
tiga. Di beberapa tempat sewaktu tur
Australia, Death Vomit berkesempatan menjadi headliners, dan saat itulah mereka
berkesempatan memasang bendera Merah Putih dan mengibarkannya.
Hanya satu hal, yang mereka akui sulit
untuk beradaptasi hingga akhir tur, yaitu faktor cuaca. “Bisa anda bayangkan
ketika kami disana, saat itu musim dingin, kita yang terbiasa dengan suhu 25-
30 derajat, harus berhadapan dengan suhu dibawah 10 derajat celcius,” kenang
Oki.
Di depan patung Bon Scott (AC/DC) Perth |
Menurut bassist Death Vomit tersebut,
yang paling mengesankan adalah ketika tampil di Sidney. Saat itu udara sangat
dingin, mereka bertiga terserang demam, dan harus membawakan sekitar 10 sampai
12 lagu dalam kondisi demam berat. Karena kecintaan pada musik yang mereka
mainkan, hal tersebut bisa teratasi.
Ada
sembilan lagu di album terbaru mereka. Lagu-lagu yang berdurasi
lebih panjang. ini, Death Vomit lebih mengutamakan emosi
dan agresifitas. “Percuma skill tinggi, tapi emosi dan agresifitasnya kurang,
karena itulah yang membedakan kami dengan band-band sejenis,” ucap Sofyan.
No comments:
Post a Comment