Thursday, August 25, 2011

Wabah di Cirebon, dan berkhayal Mendirikan Keraton Cikungwati


tulisan ini pernah dimuat di www.akumassa.org, 28 Desember 2008


Hari Minggu pagi, suhu demam ditubuh saya semakin tinggi, perut pun terasa mual tapi enggan memuntahkan isi nya, begitu juga dengan kepala yang terasa ingin pecah. Teman-teman semuanya menyarankan agar saya di rumah sakit-kan saja. Saya menolak dan meminta untuk dibawa ke Puskesmas terdekat. Sekitar jam sembilan pagi saya diseret ke rumah sakit. Ada Mahardika Yudha dan Bayu Alfian yang mengiringi saya dengan motor, sedangkan saya menggigil diatas becak ditemani Putri, adik Bayu. Baru keluar dari area rumah Bayu, saya melihat spanduk bertuliskan peringatan flu burung.




Pertama-tama kami ke Laboratorium Pramitha karena hari Minggu tempat ini pun tutup lalu kami ke RS Gunung Jati di jalan Kesambi. Karena terlihat tutup (padahal pintu masuknya ada dibelakang yang diperuntukkan sebagai Unit Gawat Darurat) maka kami ke sebuah klinik di jalan Sunyaragi, kali ini benar-benar tutup, lalu kami berputar arah kembali pulang ke rumah. Alhasil, kawan-kawan hanya membawa saya yang sedang terkapar sakit berkeliling kota Cirebon dengan becak.




Tepat jam 12 tengah hari, saya kembali digiring ke rumah sakit. Sebelumnya saya menolak karena seluruh tubuh saya benar-benar tidak mau kompromi lagi. Dengan alasan abang becak sudah menunggu di luar dan rumah sakitnya pun sudah disurvei, maka dengan amat bersusah payah, saya bangkit lalu kembali menaiki becak menuju RS Ciremai, rumah sakit milik tentara. Setibanya di sana, saya dibawa ke ruang Unit Gawat Darurat. Dengan sedikit berbasa-basi dari suster jaga, “Sakit apa Dik? Sudah lama? Perutnya mual gak?” maka di tangan kiri saya mendaratlah sebuah jarum dengan selang panjang dan botol berisi cairan yang menggantung pada sebuah tiang. Kelak botol infus inilah yang setia menemani saya selama di rumah sakit, sampai ke toilet sekalipun.

Sekilas saya melihat Mahardika Yudha yang sibuk mengurusi administrasi. Karena ruang rawat inap kelas satu, kelas dua bahkan VIP sudah sold-out, maka dengan kursi roda saya dibawa ke ruang Pratama —tempat rawat inap kelas tiga. Di situ saya bertetangga dengan seorang pensiunan tentara yang berusia 72 tahun. Pak Hapsari namanya. Ia selalu ditemani istrinya yang tampak duapuluh tahun lebih muda. Suasana di ruang inap kelas tiga, terasa tak jauh berbeda dengan menaiki kereta api ekonomi jurusan Tanah Abang, Jakarta–Lempuyangan, Yogyakarta. Ranjangnya amat sederhana. Keramaian keluar masuk pedagang asongan, pedagang koran hingga nasi bungkus ditambah dengan jam besuk yang tidak jelas —karena memang kawasan ini selalu ramai 24 jam. Di saat malam, para penjenguk bergeletak tidur memenuhi lantai membuat pasien yang punya hobi pipis seperti saya sulit untuk ke toilet di tengah malam. Belum lagi antrian toilet di pagi hari. Mungkin saya sakit di saat kota Cirebon sedang terwabah tren demam berdarah, tifus dan penyakit musiman lainnya —dan saya pun mengikuti tren tersebut.

Di hari pertama dirawat inap, banyak teman saya yang bermalam di rumah sakit. Dan di pagi harinya saya harus rela sendirian dan hanya ditemani handphone untuk berkomunikasi atau sekedar mengecek facebook, Mp4 player yang hanya berisi tembang-tembang Elvis Presley dan Tom Waits favorit saya dan kamera handycam. Saya tidak keberatan ditinggal sendirian di rumah sakit karena untuk sekedar berjalan ke toilet dan makan saya tak kesulitan. Di siang harinya sepupu dan tante saya datang menjenguk membawakan Kue Tart. Disusul sorenya Edi Bomber, adik bapak saya yang sejak saya kecil berpenampilan bak Ozzy Osbourne datang bersama seorang kawannya. Malamnya kembali Mahardika Yudha dan kawan-kawan dari Gardu Unik datang menjenguk. Sebagian dari mereka menginap di rumah sakit.


Ruang inap kelas tiga tidak dilengkapi oleh tirai/hijab yang menutupi antar pasien. Ada sebuah jendela di sisi belakang ranjang pasien sayat, ketika melihat ke luar tampak beberapa orang lewat membawa sesosok orang meninggal dunia karena di sebelah ruangan saya adalah kamar mayat.

Pemandangan di depan saya, tepat di seberang ranjang saya, tampak seorang berbadan besar yang seluruh tubuhnya terkena luka bakar serius. Pemandangan ini membuat tubuh saya terasa semakin lemas. Ruangan “Pak Bakar” (begitu saya dan teman-teman menyebutnya) selalu dipenuhi para penjenguknya. Usut punya usut, ternyata Pak Bakar adalah seorang nelayan. Kapalnya terbakar karena kompor gasnya meledak di saat ia sedang membakar kepiting untuk santap malam. Kapal nelayan itu ber-awak-kan lima orang. Ketika kapal terbakar ke dua temannya spontan terjun ke laut, begitu juga dengan kedua temannya yang sedang tidur lalu terbangun dan menceburkan dirinya ke laut. Pak Bakar yang yang tidak bisa berenang pun panik, bak makan buah simalakama “diam kena, loncat kena”. Tetapi si jago merah pun tak kenal kompromi, tanpa menunggu Pak Bakar berpikir panjang, sekujur tubuhnya pun terbakar dan ia menceburkan dirinya ke lautan. Saya semakin lemas mendengar cerita tersebut. Membayangkan apa jadinya saya jika berada di kapal itu —karena saya juga tidak bisa berenang.


Dua hari berlalu, tiga botol infus sudah mengalir di tubuh ini. Saya semakin membaik meski dokter belum juga menerangkan jenis penyakit yang saya derita. Mual saya perlahan menghilang. Pusing di kepala saya pergi tanpa pamit. Hanya beberapa bagian tubuh yang terasa keram dan demam yang datang dan pergi. Pagi itu saya kembali menjadi pasien “sebatang kara”. Teman-teman kembali mengerjakan workshop dan aktifitasnya masing-masing. Pak Bakar dipulangkan dan menjalani rawat jalan. Tetangga saya masih ditemani istrinya yang setia. Makanan menu rumah sakit berupa bubur, sup, rendang lembek, tahu kuning dan pisang sudah saya lahap walau tak bersih. Suasana ruangan semakin bising, anak kecil berlari-larian, ibu-ibu ngerumpi berbahasa Jawa logat pesisir, dan entah siapa yang memutar lagu-lagu dangdut Pantura dengan loudspeaker di handphonenya. Karena bosan, saya memberanikan diri untuk berjalan-jalan menenteng botol infus sampai suster perawat menegur saya. Siang harinya saya semakin tak kerasan di kelas tiga. Maka saya mendatangi ruang penjaga dan meminta untuk dipindahkan. Ruang VIP masih penuh. Ada ruang kelas dua yang kosong tetapi saya harus menunggunya hingga sore hari. Saya pun menelpon Nico untuk menolong saya berkemas pindah.


Di ruang inap kelas dua terasa sedikit berbeda, udara yang berhembus dari taman depan kamar saya, dan pemandangan Mesjid tanpa tembok dan jendela sehingga bisa melihat orang-orang yang mendirikan shalat membuat pemandangan mata tampak lebih ringan dari hari-hari kemarin. Di kamar berukuran kira-kira 4 x 5 M itu tersekat tiga kamar tidur. Namun, di antara pasiennya diberikan tirai hijau yang membentuk ruang privat. Berbeda dengan ruang inap kelas tiga yang hampir 100% nya adalah ruang publik (kecuali toilet dan ranjang tidur). Di ruang ini saya merasa seperti hidup di komplek perumahan. Hubungan dengan tetangga saya hanya sekedar basa-basi atau bertanya, ”Sakit apa, Dik?” Dan selanjutnya urusan masing-masing. Berbeda dengan di kelas tiga, di mana saya sering bertukar cerita dan berbagi makanan seperti kue tar yang saya tukar dengan telur asin, dan buah apel saya tukar dengan segelas teh hangat tetangga saya.

Empat hari sudah saya menjalani perawatan di RS Ciremai, lima botol infus sudah habis meresap tubuh, kapsul, tablet dan puluhan suntikan telah mengalir dalam tubuh ini. Keadaan saya mulai membaik, demam mereda dalam dua hari ini, dan perlahan benar-benar menghilang. Hanya beberapa bagian tubuh saya masih lemas. Dokter pun mengizinkan saya pulang dan memvonis bahwa saya mengidap penyakit Chikungunya.

“Waduh, penyakit apaan tuh?” tanya saya.

Itu adalah penyakit yang berasal dari nyamuk demam berdarah yang membuat saraf persendian kacau. Fatalnya bisa lumpuh dan meninggal. Penyakit ini katanya memang sedang nge-tren di Cirebon. Sebelumnya terdengar baru sampai di Indramayu. Untungnya saya hanya terkena gejalanya. Nama penyakit ini lucu. Sekilas teringat Pakungwati, nama keraton tertua di Cirebon. Saya berkhayal untuk mendirikan Keraton Cikungwati dengan saya sebagai sultannya yang bergelar Pangeran Cikungunya I menaiki kereta kencana berbentuk nyamuk deman berdarah keliling kota Cirebon sambil mengkampanyekan hidup sehat.


No comments:

Post a Comment

Featured