Saturday, April 9, 2011

Menonton Duo Kribo

artikel ini pernah saya muat di www.akumassa.org, Jumat, 26 Maret 2010

Apakah anda mengenal Giring ‘Nidji’ atau Edi Brokoli? Ya, Keduanya memang musisi berambut kribo yang tampil eksentrik, namun yang dimaksud Duo Kribo bukanlah mereka berdua.

Kalau begitu, apakah anda mengenal lagu ‘Neraka Jahanam’, lagu rock lawas Indonesia yang sempat dipopulerkan kembali oleh Boomerang dan di trash-kan oleh Suckerhead. Apakah anda juga mengenal lagu ‘Dunia Panggung Sandiwara’ yang liriknya ditulis oleh Taufik Ismail, salah satu penyair mashyur Indonesia. God Bless sering membawakan lagu tersebut di setiap kali pementasan mereka. Lagu tersebut juga pernah dipopulerkan kembali oleh Grace Simon, Nicky Astria, (alm) Nike Ardilla, Ramli Syarif (rocker Singapura), hingga Sheila On 7.




Ya, lagu-lagu tersebut adalah milik Duo Kribo, duet maut dua musisi rock papan atas di tahun 70-an. Mereka adalah Achmad Albar dan Ucok Harahap.
Kolaborasi ini muncul ketika AKA (Apotik Kali Asin), grup rock pimpinan Ucok pecah. Kebetulan Achmad Albar dengan God Bless-nya mulai sepi order manggung. Duet Duo Kribo cukup berhasil dan meledak di pasaran sampai albumnya terjual 100.000 kaset.

Keberhasilan album-album mereka didasarkan pada rasa penasaran para pecinta musik rock. Mereka ingin tahu seperti apa kalau duo superstar bersatu dalam satu album rekaman. Hasilnya adalah tiga album Duo Kribo Volume I, II dan III sepanjang tahun 1977-1978.




Selain meramaikan industri musik rock saat itu, Duo Kribo juga merambah dunia perfilman Indonesia. Kesuksesan album-albumnya membuat mereka dilirik oleh Perusahaan Film Intercine untuk membuat Film Duo Kribo yang dirilis tahun 1978 dan disutradarai oleh Eduard Pesta Sirait yang menampilkan Achmad Albar, Ucok Harahap, Grace Simon, dan Eva Arnaz.

Film ini bercerita tentang kembalinya Achmad Albar setelah lulus cumlaude dari sebuah konservatori di Eropa. Dia lalu memainkan musik rock, seperti juga Ucok yang berasal dari kampung dan mengadu nasib di Jakarta untuk menggapai impiannya: penyanyi tenar dan mobil mewah. Mereka masing-masing pun menjadi tenar dan sama-sama memiliki banyak penggemar. Setelah beberapa kali terjadi persaingan, akhirnya mereka bertemu dan kemudian diduetkan oleh cukong musik di Indonesia.



Setelah hilang selama 30 tahun, copy film ini ditemukan kembali dalam format 35 mm di Inter Studio, Jakarta. Pada 14 Maret 2010 yang lalu film ini diputar di Kineforum, Taman Ismail Marzuki Jakarta, pada acara tahunan Kineforum yang bertemakan Sejarah Adalah Sekarang 4. Pada kesempatan ini Eduard Pesta Sirait selaku sutradara hadir dan memberikan kata sambutan diawal pemutaran. Ia mengaku tidak begitu menggemari musik rock dan tidak begitu suka dengan film yang digarapnya ini, namun ia tetap mengerjakannya dengan profesional. Cukup banyak penonton yang hadir, bahkan menurut pandangan mata kami, seluruh kursi terisi penuh. Pemutaran ini tidak dipungut biaya apapun. Di sepanjang pemutaran banyak sekali adegan dan dialog yang lucu, terutama lewat gaya nyentrik Ucok ‘AKA’ Harahap yang membuat para penonton tertawa.

Film ini diproduksi atas dasar sejarah musik rock Indonesia yang dahulu begitu terkenal dengan meledaknya lagu-lagu Godbless dan AKA yang akhirnya membawa perubahan style dan memberikan warna baru pada kaum muda Indonesia. Di film ini juga terbaca bahwa seniman musik dahulu masih diatur bahkan dikendalikan oleh cukong industri. Hal itu terlihat dalam adegan ketika cukong menghitung menggunakan kalkulator ketika Ucok dan grupnya hengkang dari perusahaan rekamannya dan ia mengganti dengan grup Achmad Albar.

Pemutaran selesai jam empat sore dan dilanjutkan dengan sesi diskusi tentang “Musik Rock, Film dan Anak Muda” yang di gelar di Teater Kecil TIM. Diskusi dimoderatori oleh Indra Ameng dan menghadirkan empat nara sumber yaitu Hikmat Darmawan (Kritikus Film), David Tarigan (Produser, Kolektor Musik) Denny Sakrie (Pengamat dan Kritikus Musik) dan Soleh Solihun (Jurnalis Musik- Rolling Stone).

Pada kesempatan ini David Tarigan banyak bercerita tentang sejarah musik di Indonesia. Sebelum musik rock terkenal dan booming-nya Godbless maupun AKA, musik era itu sudah dimulai oleh Usmar Husni yang menyanyikan lagu Bengawan Solo dengan irama rock. Hal ini ia lakukan karena pada jaman pemerintahan Soekarno para musisi dilarang menyanyikan lagu barat karena dianggap propaganda Amerika dan kapitalisme.

Menurut Hikmat Darmawan, film ini dibuat mengingat pertemuan superstar musik rock pada masa itu dalam satu panggung. Idenya muncul dari salah seorang wartawan dan dijalankan di beberapa kota besar. Acaranya disponsori oleh perusahaan rekaman musik di negeri ini mengingat banyaknya keuntungan yang akan diraup. Pada diskusi ini juga ada sesi tanya jawab dan hanya sedikit peserta yang bertanya. Prima Rusdi, seorang penulis buku, penulis skenario film dan serta produser juga ikut dalam acara diskusi. Ia bertanya kepada para narasumber mengenai pengaruh stasiun pemancar radio di era tersebut dalam perkembangan musik rock di Indonesia. Denny Sakrie, salah seorang narasumber menjawab:

”Ya, saya akan menjawab pertanyaan ini berhubung saya dan Prima dulu pernah bekerja di Radio. Jaman dahulu berbeda seperti yang sekarang, industri musik rock kurang begitu dapat perhatian dari kalangan media. Hal ini dikarenakan kurangnya tanggapan masyarakat umum terhadap jenis musik ini. Karena musik ini lebih identik dengan anak muda dan perlawanan, sehingga masyarakat kurang menyukainya. Pada jaman itu, baik di media televisi maupun radio masih ada sistim seleksi penyiaran yang didampingi TNI untuk layak dipublikasikan, hanya sedikit musik rock yang dapat diputar di radio. Saat itu, dalam satu album ada dua atau beberapa lagu yang benuansa rock, selainnya hanya lagu-lagu yang seperti Kangen band atau ST 12,” jelasnya.

Semua yang ikut dalam diskusi itu pun tertawa. Tak lama kemudian disambung lagi pertanyaan dari seorang peserta diskusi “Apa bedanya antara film Duo Kribo dengan Realita, Cinta dan Rock’n Roll, dan tolong sebutkan 10 grup band rock yang masuk chart tangga lagu?” Tak lama kemudian Hikmat Darmawan mengatakan bahwa film Duo Kribo lebih bagus dari pada film Realita, Cinta dan Rock’n Roll. Kenapa? Karena menurutnya dalam film ini kita bisa mendapatkan banyak sekali informasi bahwa dalam persaingan grup rock zaman dahulu untuk bisa mendapatkan gelar superstar, mereka saling sabotase dan mematikan grup musik sainganya. Dan juga bahwa grup band pada zaman dulu masih dicukongi oleh industri dan diatur agar dapat keuntungan yang lebih. Lain halnya dengan grup musik rock jaman sekarang yang mayoritas bermain untuk kesenangan pribadi. Mereka banyak yang terjun ke jalur independen. Adapun yang masuk ke dapur rekaman dan televisi biasanya hanya beberapa lagu dalam satu album seperti yang pernah dialami pendahulu musik rock. “Untuk chart 10 band rock teratas lebih baik kita bahas sendiri aja setelah acara ini ya mas,” kata Denny Sakrie. Setelah puas dengan jawaban yang diberikan, acara diskusi pun berakhir jam 7 malam.

setahu saya, selain mereka, di tahun 1976 ada juga duo rock maut yang kebetulan juga berambut kribo. Mereka adalah sepasang sahabat, Gito Rollies dan Dedy Stanzah yang melahirkan album ‘Higher N’ Higher’ (1976) dan ‘Lepas Sensor’ (1991).


Tahun 2001, Duo Kribo sempat muncul mengisi acara di salah satu stasiun televisi swasta. Mereka bahkan pernah menyatakan akan rekaman lagi. Namun sayang, itu semua hanya khayalan. Pada Desember 2009 lalu Ucok ‘AKA’ Harahap, meninggal di Rumah Sakit Dharmo, Surabaya, Jawa Timur, dalam usia 70 tahun. Kanker paru-paru stadium 4 telah menggerogoti tubuhnya.

Kini Duo Kribo memang mustahil untuk beraksi. Yang tersisa hanya tiga dari enam kribo setelah Ucok ‘AKA’ Harahap, Gito Rollies dan Dedy Stanzah meninggal dunia. Kini tinggal apakah cukong industri musik kita mau menduetkan Achmad Albar dengan Edi Brokoli atau Giring ‘Nidji’? atau Giring Nidji dan Edi Brokoli diduetkan menjadi Neo Duo Kribo? Tapi kami rasa hasilnya akan basi.

No comments:

Post a Comment

Featured