Tuesday, December 11, 2012

Sangkakala: Aerobic Glam Rock Bantul


BANYAK band yang memainkan musik bagus, namun  masih banyak yang kurang memiliki kesadaran performa. Sangkakala adalah band yang mempunyai keduanya. Permainan musik mereka ciamik, penampilan mereka benar-benar total, attitude mereka benar-benar mencerminkan apa yang mereka mainkan. Sangkakala adalah sebuah band yang setia mengusung musik  heavy metal sejak berdirinya Oktober 2005 lalu.


Grup cadas yang beranggotakan Baron Capulet Araruna a.k.a Hendra “Blankon” Priyadhani (Vocal), Rudy “Atjeh “ Dharmawan (Bass), Ikbal S Lubis (Gitar), dan Riono Tanggul Nusantara  a.k.a Tatsoy   (drum) ini memang berlatar belakang  seni rupa dan musik, maka tak heran jika mereka sangat terampil memadukan kedua unsur disiplin tersebut. Dengan musik cadas yang  dipadukan dandanan ala glam rock, rambut mullet, sepatu hi-top, hingga celana ketat bermotif ular, macan, atau berwarna mencolok ini maka jadilah Sangkakala sebagai "No Wave Bantul Heavy Metal".






Bentuk visual penampilan Sangkakala sevara totalitas mengacu pada zaman keemasan glam metal era 80an. Tidak hanya itu, dengan kesadaran penuh mereka membuat bentuk-bentuk visual lainnya seperti, banner dan percikan kembang api yang meriah. Sebagai grup musik, mereka pernah beberapa kali menggelar pameran yang menyajikan karya visual dan audio visual. Beragam artwork, t-shirt, poster, banner, hingga komik yang mereka produksi secara sendiri.

Pada 2010 lalu, Sangkakala merilis ‘Macanista’, album yang dirilis oleh netlabel Yes No Wave tersebut merupakan rekaman konser mereka di Taman Budaya Yogyakarta. ‘Macanista’ berisikan lagu-lagu yang selalu mereka bawakan di atas panggung yaitu ‘Into The Row’, ‘Rock Live At Roller Coaster’, ‘Gang Bang Glam Rawk’, ‘Hotel Berhala’, dan ‘Tong Setan’. Kini sebelum meluncurkan album perdana, sebagai pemanasan, Sangkakala baru saja merilis single ‘Kansas’ yang bisa diunduh gratis di YesNoWave.com.
Menurut Blankon, ‘Kansas’ ini didedikasikan untuk mereka yang selalu mengapresiasi lagu-lagu Sangkakala. ‘Kansas’ merupakan akronim yang populer di era 90-an, yaitu "Kami Anak Nakal Suatu Saat Akan Sadar". “Lagu ini untuk semua Macanista, Paskibraka (Pasukan pengibar bendera Sangkakala), Aerobic Rock Fighting Club’, dan semua yang panas saat menonton, mereka tidak banyak, tapi mematikan,” tegas sang biduan rock ini dengan gaya khasnya. Kepada Tribune Rockers, di Studio Blankon, keempat Glam Rockers ini berkumpul dan bercerita banyak hal tentang band mereka, dan propaganda mereka akan glam rock.





Menurut Rudy, di kampus mereka (ISI Yogyakarta) ternyata banyak sekali yang menggemari heavy metal, termasuk para dosen. Pada perkembangannya, terbentuklah scene sendiri yang merupakan komunitas metal yang diberi nama Maroko (Mantrigawen Rock Community). Mereka membuat khusus backdrop, tata artistik, hingga event sendiri yang hingga kini dikenal dengan nama ‘Rock Siang Bolong’.  “Kami tidak pernah berharap ada event yang mengundang, jadi mending bikin event sendiri,” tukas bassist yang juga aktif sebagai perupa ini.  Bersama band lainnya seperti Sekar Jagad, Sangkakala membuat event bertajuk ‘Tribute Rock Indonesia’, ‘Tribute To Nicky Astria’, ‘Tribute To Anggun C Sasmi’, dan sebagainya.
Menurut Rudy juga, awalnya Sangkakala tidak berniat untuk menjadi band serius. Sebelum formasi saat ini, tercatat Tomo Widayat (kini gitaris Everlong), dan Acep Caroline (Drum) sempat bergabung dengan band tersebut. Acep kemudian meninggalkan band karena bekerja di luar kota, “Blankon nggak pede pakai Tomo, dia terlalu jago, jadi kami nggak ajak lagi,hahaha,” ucapnya tergelak.

Karena dengan kesadaran penuh bahwa bermain musik rock harus memiliki gitaris yang punya skill mumpuni, personel yang tersisa mencari gitaris di Fakultas Seni Pertunjukkan, bertemulah mereka dengan Ikbal dan Chosin. Beberapa kali tampil, ternyata skill Chosin terlalu mumpuni, bahkan menurut Rudy band mereka akhirnya jadi lebih mirip solo gitar. Maka Ikbal yang cocok dengan Blankon dan Rudy, kemudian didaulat sebagai gitaris tetap setelah sebelumnya dicekoki berbagai dandanan ala glam rockers.
Kampanye glam rock ala Sangkakala makin meluas. Pada hajatan seni rupa Bienalle Jogja X, Sangkakala menggelar proyek seni multi-disiplin bertajuk ‘Macanista’. Proyek ini terdiri dari beberapa kegiatan yang menekankan glam rock sebagai highlight, seperti glam-rock hairstyling, custom costume dan pembuatan fans attribute berupa poster, flyer dan banner yang kemudian diakhiri dengan konser tunggal di Amphitheatre Taman Budaya Yogyakarta.






Di antara rangkaian eksebisi tersebut adalah School Of  Rock, yaitu membuka klinik seperti layaknya sekolah musik, mereka menyediakan lima ampli guitar, ampli bass, dan tiga drum set untuk belajar bersama cara memainkan lagu Sangkakala.  Bentuk propaganda lainnya adalah Dressing Glam Raw, yaitu workshop  meng-custome baju untuk berdandan ala glam raw. Tidak hanya itu, mereka juga mengadakan Hairstyling, yaitu workshop  potong rambut ala Sangkakala. Meski banyak tawaran untuk Sangkakala tampil di luar kota, namun menurut Blankon mereka masih fokus untuk menggarap album, karena bagi dirinya pribadi, jika di dunia seni rupa maka, album ibaratnya adalah sebuah pameran. Menurutnya, dan diamini ketiga temannya, selain berusaha merampungkan album, Sangkakala juga berniat mengadakan tur. “Kami juga ingin punya SPG sendiri, Sangkakala Promotion Girl, jadi kalau album kami kelar, silakan mendaftar jadi SPG untuk bantu promo,” ujarnya serius. 



SEBELUM mendengarkan musik rock, sebenarnya Blankon lebih dulu menyukai visual dari banyak grup musik cadas yang populer ketika ia masih SD. Lelaki kelahiran Ponorogo, 29 Juni 1981 ini sejak kecil mengoleksi poster band glam rock macam, Poison, Pretty Boy Floyd, Metallix, dan sebagainya. Latar 
belakang seniman dan vokalis bernama asli Hendra Priyadhani  ini memang suka berdandan.
“Saat koleksi poster aku belum tahu musiknya, baru kenal musik kelas enam SD ketika ibu beli album Festival Rock Kompilasi seharga Rp 4500, di album itu ada lagu favorit saya ‘Kerangka Langit’, Kaisar,” ujar Blankon. Dari semua penampilannya bersama Sangkakala, hal yang paling berkesan baginya adalah ketika tampil membawakan lagu ‘Kerangka Langit’ milik Kaisar. Saat itu mereka main tidak begitu bagus, namun yang membuat Blankon berkesan adalah pertunjukkan tersebut ditonton oleh ibunya. “Ibuku masih ingat dengan lagu itu, dia membonceng saya pakai sepeda dan beliin kaset itu,” katanya.
Selain berkreasi bersama Sangkakala, Blankon juga masih sibuk menggambar, ia masih melanjutkan pameran tunggalnya yang bertema ‘Fine Art Rock’. 


******
SELAIN sebagai pencabik bass untuk Sangkakala, Rudy ‘Atjeh’ Dharmawan juga dikenal sebagai seorang perupa. Lulusan desain grafis ini juga aktif berkarya dengan media sablon, cukil dan semua teknik grafis. Sejak kecil Atjeh sudah diperdengarkan abang beserta para sepupunya akan musik heavy metal seperti Iron Maiden, Overkill, dan sebagainya. “Di Aceh yang senang musik metal itu banyak banget, kalau dari kecil nggak kenal Metal mungkin sekarang aku bisa suka musik dangdut atau melayu,” ungkap bassis kelahiran Aceh 15 Mei 1982 ini. Ketika SMA, Rudy membentuk band Black Metal. Jenuh dengan musik-musik underground yang supercadas, ia pun banting stir dan berubah haluan memainkan Heavy Metal. Setelah hijrah ke Yogyakarta dan bertemu Blankon yang ternyata memiliki visi dan selera yang sama, mereka sepakat untuk bermain musik bersama. Uniknya mereka tidak langsung mengusung heavy metal, namun sempat juga memainkan musik rock Malaysia dan Melayu. Ketika menyanyikan lagu Malaysia, Atjeh dan Blankon selalu saja dilempari dan dijadikan bulan-bulanan penonton yang tidak lain adalah teman-teman mereka sendiri. 
********
BERSAMA Sangkakala, Ikbal merasa nyaman berekspresi meraungkan gitarnya, pasalnya ketiga temannya tidak pernah memaksakan pakem tertentu. “Demokratis, mau main gitar kayak apa aja nggak ada batasan, saya dibebaskan di wilayah gitar,” ujar lulusan Seni Musik ISI Yogyakarta ini.Gitaris bernama lengkap Ikbal S Lubis ini juga seorang pemilik rumah musik bernama Etniktro. Di tempat yang selalu ramai menjadi tempat tongkrongan tersebut ia membuka workshop, klinik, dan kursus musik.Menurut lelaki yang mengidolakan Dimebag Darrell (Pantera) Eet Syahrani, dan Totok Tewel ini sepanjang pengalamannya bermain bersama Sangkakala adalah ketika sebuah pembukaan pameran lukisan di Bentara Budaya Yogyakarta beberapa waktu lalu.“Itu adalah penampilan paling ambyar, kami dianggap band dagelan, pas datang ke venue, di sana nggak ada drum, yang ada cuma sound dan mikropon, jadi pas manggung langsung cari alat,” ucap Ikbal lalu tertawa.Meski begitu, Sangkakala tetap tampil prima dan totalitas. Hingga ketika mereka menggelar proyek Macanista, orang-orang yang sebelumnya menganggap Sangkakala adalah band dagelan semakin percaya bahwa band tersebut merupakan band sungguhan. 
******

SEBENARNYA Tatsoy bukanlah penggemar fanatik musik heavy metal. Drummer bernama lengkap Riono Tanggul Nusantara ini mengaku lebih menyukai band-band seperti Oasia, Coldplay, dan sebagainya. Cowok kelahiran Yogyakarta, 17 Agustus 1984 ini sudah bermain drum sejak SMP, ‘Radja’ milik /rif merupakan lagu yang sering dibawakannya. 
Sebelum bergabung bersama Sangkakala, Tatsoy bermain untuk band garage rock bernama Herpess. Setelah band tersebut vakum, ia ditawarkan untuk bergabung dengan Sangkakala.Ia mengatakan sempat tidak betah di band tersebut, karena tidak nyaman berdandan ala glam rockers. “Saya didandani celana ketat, pas main malah nggak betah, hahaha,” ujarnya. Namun Tatsoy pun berinisiatif untuk mencoba fashion sendiri yang tidak timpang jauh dengan karakter Sangkakala. Sebagai seorang perupa, Tatsoy sedang menyuapkan pameran tunggalnya. Karya-karyanya terinspirasi dari komik street art. Sebelumnya ia pernah berpameran di beberapa negara di antaranya Swiss, dan Italia.

*Foto2 sangkakala di atas stage oleh: Tendi 




No comments:

Post a Comment

Featured