Saturday, October 28, 2017

Mus Mujiono Bicara Festival Jazz dan Hal-Hal yang Dilupakan

Mus Mujiono adalah legenda hidup musik Indonesia. Musisi kelahiran Surabaya, 15 Maret 1960 ini dikenal dengan konsistensinya di jalur musik jazz. Sebagai penyanyi solo, Mus Mujiono telah menelurkan tujuh album. Ia menguasai hampir semua alat musik, dari keyboard, gitar, drum, dan saksofon. Satu di antara lagunya yang 'evergreen' adalah ‘Arti Kehidupan’.  

"Kau menjelma seperti khayalan
Kau impian dalam kenyataan
Perjalanan yang penuh likunya
Kini t'lah tiba di sisimu selamanya

Engkau bukan yang pertama
Tapi pasti yang terakhir, Di cintamu kutemui arti hidupku"

sumber foto: tribunnews.com

Beberapa kali saya berkesempatan menyaksikan konser beliau secara langsung, biasanya sih di pagelaran musik jazz. Lagu-lagu beliau, termasuk musisi di zamannya; Oddie Agam, Dheddy Dhukun, Dian PP, Utha Likumahuwa sangat akrab di telinga saya sejak kecil. Kenapa, ya pastinya karena kedua orangtua saya mendengarkan musik mereka. Di sebuah restoran di kawasan utara kota Jogja, saya berkesempatan ngobrol ngalor-ngidul dengan Mus Mujiono. Sosoknya tenang, santai, dan pastinya ramah. 

Setelah bersalaman, tak lupa saya berbasa-basi mengatakan kalau saya mendengarkan musiknya sejak kecil, kita juga pernah bertemu beberapa tahun lalu di sebuah acara jazz di Jogja, “oh iya? wuah sudah lama juga ya?” ujarnya lalu tersenyum.
“jangan tanya soal kehidupan pribadi ya, kita ngobrol soal musik aja.” katanya kemudian tertawa.
“Tenang aja om, saya juga gak tertarik dengan urusan dapur orang lain kok,” kata saya, lalu kami tertawa.


Tanpa kebanyakan basa-basi, pertanyaan pertama saya adalah tentang album ‘Joni Teler’ milik Junaedi Salat. Di album itu Mus Mujiono mengisi semua bagian gitar. Namun sayang seribu sayang, beliaunya mengaku ‘lupa’ dan nggak inget sama sekali tentang cerita di balik album yang buat saya cukup ‘nyeleneh’ dan ‘brutal’ di zamannya. Ah, mungkin saja beliau ‘malu’ dan gak ingin membuka aib masa lalu di era rokok, alkohol dan narkotika masih bebas direpresentasikan di sebuah karya musik. Tapi, nggak apa-apa saya pun melanjutkan perbincangan soal dunia musik saat ini. 

*Ulasan khusus tentang Joni Teler bakal saya kupas di catatan selanjutnya.

Perbincangan rada serius pun dimulai dengan banyaknya festival jazz di kota-kota besar di Indonesia. Mus Mujiono menyesalkan ada beberapa festival jazz yang dianggapnya melenceng, lari, dan keluar jalur. “Kita banyak sekali kecolongan festival (jazz) yang kabur idealismenya, kok bisa ada banyak musisi di luar jazz yang bisa main di festival jazz, ini mau bikin festival atau cuma mau cari duit sih,” kritiknya santai.
Menurut Mus Mujiono sebuah festival harus memiliki kuratorial yang jelas. Festival jazz juga harus bisa mendatangkan penonton-penonton baru. “Kalau di Jogja idealisnya masih kuat banget, pelaku-pelakunya mumpuni, bukan sekedar anak kemarin sore,” tambahnya.

Mus Mujiono menyebutkan beberapa nama musisi yang ia acungi jempol. Sebagai musisi, menurutnya, mereka mampu menjaga posisinya, mereka adalah; Tohpati, Indro Hadjodikoro, dan Dewa Budjana.

"Lantas, gimana sih bedanya musisi zaman sekarang, sama di zaman om?” tanya saya.

Mus Mujiono mengerucutkan pembahasan ke soal pasar musik. Menurutnya di era digital sekarang ini, market atau pasar musik jadi berantakan. “kita nggak bisa lagi jualan CD sekarang, musisi dan pencipta lagu juga semakin sulit mengurus royalti, kalau marketnya terus begini ya jadi nggak berkembang,” tegasnya.

sumber foto: radio volare

Menurutnya musisi sekarang sulit untuk dikenal secara nasional, karena media distribusinya sudah buram. “Kasihan musisi sekarang, kalau dulu kan ada televisi, radio, jadi sekarang ya harus pinter-pinter bagaimana mendistribusikan karya mereka,” kata musisi yang mendalami jazz dari Jun Sen, gitaris jazz terkemuka asal Surabaya seangkatan Bubi Chen. Karena itu bersama Reno Castello anaknya yang juga musisi, Mus Mujiono selalu berusaha membuat musik di studio rumah mereka. “Studio di rumah saya harus selalu bernafas, kalau sampai berhenti ya bakal rugi banyak,” katanya.

Mus Mujiono mengaku beruntung memiliki beberapa tembang hits yang masih menempel di generasi saat ini. Seperti yang kita tahu, lagu ‘Arti Kehidupan’, ‘Keraguan’, ‘Tanda-Tandanya’ banyak disuka baik kalangan tua, muda, pendengar musik jazz, maupun pop. Namun yang menjadi tantangannnya adalah bagaimana selalu membuat arasemen yang berbeda setiap kali hits tersebut dibawakan di hadapan penonton. 
“Dulu kan saya terlalu melebar, mulai solo karir, membuat 7 Bintang, dan sebagainya, jadi saya punya banyak segmen, jadi bisa main di acara pop, jazz, acara orang tua, anak muda, orang kantoran, dan itu cukup menguntungkan,” ucapnya lalu tersenyum.

****
Bicara soal Yogyakarta, bagi Mus Mujiono kota ini merupakan kota kedua setelah Surabaya. Di era 70-an ia pernah tinggal di Jogja selama beberapa tahun, tepatnya di daerah Gowongan. Di Jogja, Mus Mujiono juga pernah bergabung dengan kelompok Kartika Sapta, “Waktu itu saya selalu nongkrong di Pengok, dan bermusik sama anak muda di sana,” katanya.

Sebagai musisi, karir Mus Mujiono dimulai dari kota kelahirannya, Surabaya. Ia besar di keluarga musisi. Sebagaimana kakaknya, Mus Mulyadi, Ayahnya adalah musisi keroncong. Sejak kelas enam SD, Mus sudah belajar gitar. Salah satu gurunya adalah Harris Sormin dari group band AKA. Pada usianya yang baru 18 tahun, ia sudah rekaman dengan bandnya, De Hand’s. Mereka sangat terkenal terutama dengan lagu "Hallo Sayang". Sayangnya tak lama kemudian, mereka bubar jalan.


Suatu ketika di tahun 80-an, ia mendapat tawaran ke Jakarta dan bermain di beberapa ‘nite club’ di sana. Di ibukota, Mus Mujiono membentuk band bernama Jakarta Power Band. Selang beberapa tahun, beberapa personel band tersebut hengkang dan pindah dari Jakarta, namun Mus tetap bertahan di sana hingga mendapat tawaran membuat solo album. Tawaran dari label Aquarius tersebut disanggupinya asalkan konsep albumnya sesuai dengan keinginannya. “saya mau asalkan konsepnya jazz dan semua musisi top harus ikutan di album saya,” katanya mengenang saat itu.


Jazz menjadi pilihan utamanya, karena sewaktu tinggal di Surabaya ia selalu mengikuti kakaknya bermain keroncong dan langgam jawa. Selain itu pilihannya pada musik jazz karena kebanyakan gitaris bermain musik rock dengan mengeksplorasi segala macam efek aneh-aneh yang baru ditemukan kala itu. Mus Mujiono lebih tertarik pada permainan gitar George Benson, karena kesederhanaan permainannya. Jika gitaris lain sibuk dengan efek-efek gitar, Mus Mujiono terinpirasi pada George Benson yang hanya memakai mulut saja. Ia pun mulai mendalami teknik scating yakni membunyikan nada-nada yang dimainkan gitar dengan menggunakan suara mulut, alias melodi gitar featuring melodi bacot. “Saya terinspirasi oleh George Benson, bahkan sampai sekarang,” ungkapnya.

Bagi seorang Mus Mujiono, jazz bukanlah musik yang gampang. Jazz itu punya bahasanya sendiri, meskipun memainkan lagu yang sama, tapi beda pemain, maka berbeda juga bahasanya.
Menurutnya jika ingin menjadi musisi jazz, ya harus selalu mendengarkannya, latihan tanpa putus. 


“Loh kamu main musik juga, punya band?” kata Mus pada saya.
“hehe.. iya om, saya main Rockabilly!” balas saya.

“Oh, kayak The Changcuters ya,” tanyanya lagi.
"..glek… “ (saya menelan ludah lalu menyeruput green sands campur lemon yang sudah habis setengah gelas. 

“Alhamdulillah bukan om, musik saya seperti Elvis, Gene Vincent, hingga Stray Cats,” 

“Pakai bass betot juga, wow gila,” katanya.

Hehe tapi tenang aja om, sebagaimana yang tertera pada "Rock and Roll Music”, lirik lagu milik Chuck Berry yang dipopulerkan lagi oleh The Beatles, "I got no kick against modern jazz".


"I have no problems with modern jazz, I’ve no complaints about it. (*)

pagi-paginya abis ngobrol ngalor ngidul
 justru ada yang komplain... hehehe

No comments:

Post a Comment

Featured