BAND pionir Rockabilly Revival asal
Bali, The Hydrant sedang proses merilis album. Pekan lalu sepanjang 7-9 Mei
2015, mereka merekam materi lagu secara live di studio legendaris di kota Solo,
yakni Lokananta. Album ini merupakan album pertama setelah satu dekade
eksistensi mereka di blantika musik. The Hydrant kini adalah Marshello (vokal),
Vincent (gitar), Adi (bass) dan Christopper (drum) ini. Dengan spirit dan lagu-lagu baru yang memiliki
nuansa ala The Hydrant, album yang direkam secara ‘full live’ ini juga untuk mengenalkan
gitaris baru mereka, Vincent.
![]() |
foto oleh Kiki Pea, lokasi Belakang Lokananta |
Melakukan proses rekaman di Lokananta
tentu saja bukan tanpa alasan, menurut Adi Hydrant konsep ini adalah sebagai
aksi ‘menolak lupa’. Mereka berusaha menolak lupa akan sejarah musik Indonesia,
terutama di era 1950-1960-an. Kualitas musik Indonesia pada jaman itu juga layak
disandingkan dengan band-band dari seluruh dunia. “Sebagian besar hasil karya
emas anak bangsa juga direkam di Studio Lokananta,” tambahnya.
Bangunan Lokananta memang sudah
ditetapkan menjadi situs cagar budaya, studio ini berlokasi di Jalan Ahmad Yani
387, Surakarta, sekitar dua kilometer dari Stasiun Purwosari. Tercatat nama-nama
besar seperti Gesang, Waldjinah, Titiek Puspa, Bing Slamet, dan Sam Saimun
"lahir" di Lokananta. Di tempat ini juga tersimpan rapi berbagai
koleksi musik dan rekaman dari Remadja Bahana, Orkes Aneka Warna, Orkes
Kerontjong Tjendrawasih, Zaenal Combo, Titiek Puspa, hingga rekaman suara
Pidato Bung Karno.
Pada album ini The Hydrant bakal
menyuguhkan 13 lagu dengan aroma Rockabilly, Surf Rock, dan Ballad, tak
ketinggalan mereka juga memasukan nuansa musik Bali, bahkan Mandarin di
beberapa lagunya. Hal ini menurut Marshello adalah sebagai bentuk pengembangan
warna musik yang The Hydrant mainkan. “Musik itu sangat kaya, maka jangan
terpatok hanya pada satu warna musik saja,” ujarnya di sela-sela rekaman.
Warna yang unik ini bisa disimak pada
lagu berjudul ‘Penyanyi Bali’. Lagu dengan pesan moral ini dikemas menggunakan
bahasa Bali yang mudah dimengerti dalam kehidupan sehari-hari. Menurut Adi pesan
di lagu ini adalah agar para musisi selalu sportif, tidak saling iri, dan
dengki dalam berkarya.
Lewat lagu ‘Hati-Hati Ada Proyek’,
The Hydrant mengangkat tema tentang sosial politik. lagu yang mengritik para
pemangku kebijakan tersebut menceritakan akan maraknya pembangunan yang tidak bertanggung
jawab, khususnya Bali Selatan. Pembangunan tersebut secara tidak langsung
merubah nilai-nilai sosial dan adat, serta menjadi polemik dalam masyarakat
Bali.
Nuansa kritik juga terdengar pada lagu ‘Terombang-Ambing’, pada lagu ini The Hydrant mengangkat tema hukum ‘tabur tuai’, yakni sampah yang dibuang sembarangan dan mengotori lautan akan membuat si pelaku berujung seperti sampah tersebut.
Nuansa kritik juga terdengar pada lagu ‘Terombang-Ambing’, pada lagu ini The Hydrant mengangkat tema hukum ‘tabur tuai’, yakni sampah yang dibuang sembarangan dan mengotori lautan akan membuat si pelaku berujung seperti sampah tersebut.
Tema yang tak jauh dari kehidupan
Rock & Roll juga bertaburan di antara 13 lagu di album ini, sebut saja ‘Riot
Angels’ yang bercerita tentang pesta pora tanpa ampun para pengendara motor
dengan pasangannya. Lagu ‘Get Up All Boys And Girls’ mengajak pemuda pemudi bangkit
untuk ikut berdansa, lantunan nada Rock & Roll pada lagu ini pastinya membuat
emosi pendengar ikut berteriak dan berjingkrak.
Sedangkan tembang ‘Our Music Is
Rock N Roll’ menceritakan bagaimana genre musik dan lifestyle; Rock & Roll
yang telah menyatukan keberagaman manusia. Di album ini mereka juga memakai
musisi tambahan yakni, Adi Wiraguna (Keyboard) dan Galih Yoga (Biola). Selanjutnya, The Hydrant akan melakukan proses mixing dan mastering di Bali. Setelah selesai, mereka akan menggelar rangkaian tur Jawa-Bali untuk mempromosikan album terbarunya. Rangkaian tur tersebut rencananya akan diakhiri di Lokananta, Solo.
Ada pendapat menarik dari Wreda Sudra Bronto Laras (drummer El Milky Racers/ KKK) yang membantu jalannya proses rekaman ini. Ia mengatakan kalau Lokananta dibangun di Solo karena waktu itu ibukota Indonesia ada di Yogyakarta, dan RRI kekurangan materi siaran, terutama lagu-lagu rakyat. Misi awal Lokananta adalah untuk menekan pengaruh musik barat terutama Rock & Roll dari Elvis juga Frank Sinatra. Tapi kemarin lagu "My Music Is Rock & Roll" milik The Hydrant berkumandang di sana! Haha....
Ada pendapat menarik dari Wreda Sudra Bronto Laras (drummer El Milky Racers/ KKK) yang membantu jalannya proses rekaman ini. Ia mengatakan kalau Lokananta dibangun di Solo karena waktu itu ibukota Indonesia ada di Yogyakarta, dan RRI kekurangan materi siaran, terutama lagu-lagu rakyat. Misi awal Lokananta adalah untuk menekan pengaruh musik barat terutama Rock & Roll dari Elvis juga Frank Sinatra. Tapi kemarin lagu "My Music Is Rock & Roll" milik The Hydrant berkumandang di sana! Haha....
Belum lama ini The Hydrant menjadi
pemenang untuk event Hard Rock Rising yang puncak acaranya bakal digelar di
Barcelona, Spanyol. Kini mereka masih menunggu keputusan juri Internasional event bergengsi tersebut. “Masih
harus dilakukan voting akhir sebelum berangkat, kami akan bersaing dengan band-band
hebat dari seluruh Asia. Mohon doa dan bantuannya,” ujar Adi. Sebelumnya The
Hydrant telah dua kali menjajahi panggung musik di benua Eropa dalam rangkaian
tur Eurobilly di tahun 2009 dan 2010.
***
Usai melakukan proses ibadah rekaman
album The Hydrant di studio Lokananta, Solo, semua musisi, kru, dan pecinta
musik Rockabilly berpesta di OxenFree, Jl Sosrowijayan, Yogyakarta. Acara yang
diadakan atas inisiasi Rockin Spades Rockabilly Club Yogyakarta ini juga
menampilkan EL Milky Racers dan Ancaman Kota sebagai band pembuka.
Mengenai geliat skena musik di Yogyakarta,
The Hydrant mengakui bahwa penggemar musik Rockabilly di kota ini adalah yang
paling ramai dan solid. Skena musik, khususnya Rockabilly di Yogyakarta semakin
berkembang dari era ke era. Hal ini menurut Adi bisa dilihat dari semakin bertambahnya jumlah band Rock
& Roll/ Psychobilly/ Rockabilly. “mereka bisa dikatakan pure, dalam arti
benar-benar mencintai dan mengerti scene Rockabilly, atau apapun scene yang
mereka tekuni.
Sedangkan menurut Marshello, Yogyakarta
menghasilkan banyak bibit musisi handal. “Mereka terbuka dengan semua aliran
musik, dan mampu tampil memukau, hanya waktu yang berbicara untuk perjalanan karir
mereka. As long you love what you do, and
do what you love,” ujar vokalis yang juga bekerja sebagai Lifeguard ini.
Malam itu Seluruh amarah, gelisah,
resah, luapan kegembiraan, hawa nafsu birahi dan syahwat dilampiaskan di
sana... pesta ini bisa jadi membuktikan bahwa Rockabilly dan tetek bengeknya
bukan sekedar subkultur yang bicara tentang sehebat apa kalian bermain musik,
semahal mana kendaraan kalian, selangka apa pomade kalian, setampan-secantik
apa wajah kalian...
Tapi subkultur ini ialah tentang
sehebat apa kalian berpesta, seerat apa kalian berkawan, dan sedekat apa
hubungan kalian dengan Tuhan ! Hahhha... ??? (*)
Oy, aku pingin denger ttg pengalaman yg aneh2 di Lokananta - tempat bersejarah itu dihuni banyak hantu musikus jadul. Mana ceritanya? TQ sebelumnya
ReplyDeletehehehe banyak.... rasanya hampir sama dengan musisi lainnya yang rekaman di sana belakangan ini, misalnya gamelan/ gong zaman Pangeran Diponegoro yang disimpan di depan studio suka bunyi sendiri, trus ada yang lewat2 dalem studio, sepertinya mereka ikutan berdansa, juga ada satu hasil rekaman kok bisa ada suara marshelo nyanyi dan ada suara harmonika,,, padahal mana mungkin Marshelo bisa menyanyi dan disaat yang sama bisa sambil memainkan harmonikanya,,, hihihihii..... yaa gitulah,,, masing masing :p
ReplyDelete