Tuesday, July 2, 2013

Membaca Mata Rantai Pemberhalaan (Catatan dari Soundrenaline 2013)


...Sebuah Kajian Budaya dengan pisau semiotika... 
ditulis oleh ghembrang

“Only sick music makes money today,” Nietzsche.

Pernyataan Nietzsche mengenai musik membuka mata kita akan suatu wacana baru. Lebih tepatnya ketika dunia telah dihantui musik-musik sakit. Apa yang menjadi penyebab kesakitan tersebut adalah bibit-bibit penyakit yang dicetak oleh sistem kapitalisme global. Seluruh sektor kehidupan, dialihfungsikan menjadi lahan kapital untuk menghasilkan laba secara besar-besaran. Dalam tulisan kali ini, lebih menitikberatkan bagaimana sistem tersebut mewabah pada dunia musik Indonesia. konsekuensi yang dimunculkan dari penyakit 'musik yang sakit' adalah orang-orang fanatik (Fans).


Hari itu 29 Juni 2013, Yogyakarta dimeriahkan dengan perhelatan musik Soundrenaline yang disponsori oleh salahsatu perusahaan rokok ternama. Dalam acara tersebut didatangkan puluhan group band besar Indonesia. Tersebutlah Slank, SID, The SIGIT, Koil, BIP, Endank Soekamti, Netral, dan masih banyak lagi. Dari tiap band memiliki klub fans dengan nama tertentu. Fans tersebut datang dari beragam daerah bukan hanya dalam wilayah Yogyakarta.
Banyak manusia yang mengatasnamakan diri sebagai ‘pemuja’ dari suatu band datang dengan berbagai cara. Mereka datang dengan menggunakan kendaraan pribadi, ada pula yang menggunakan kendaraan umum. Bahkan yang tergabung dalam organisasi tertentu, datang menggunakan bus yang sengaja disewa. Mereka membayar bus sewaan tersebut dengan cara patungan (iuran bersama-sama). Nominal yang mereka keluarkan dirasa sebanding dengan apa yang akan mereka dapatkan. Meskipun melihat band yang mereka sayangi dari jauh.
Slankers Blora

Foto: Hendra Krisdianto

foto: Ghembrang

Adanya penjaga yang mengamankan jalannya acara mengakibatkan tidak sembarang usia bisa masuk ke dalam acara tersebut. Alhasil, mereka yang dinyatakan oleh KTP kurang dari 18 terdampar di stadion Maguwoharjo. Sembari mengibarkan bendera band yang mereka puja, mereka menghibur diri dengan sabar-tawakal dan ikut bernyanyi ketika band tersebut pentas di atas panggung.

Apa yang menjadi menarik dalam fenomena kali ini adalah membanjirinya bendera Slank di area acara. Kejayaan Slank selama 30 tahun mampu menanamkan pesona tersendiri bagi para pemujanya. Setiap fans memiliki cara tersendiri untuk menyatakan rasa cinta mereka terhadap band yang mereka puja. Ada yang memilih untuk memakai benda-benda tertentu (baju, tas, emblem yang bertuliskan Slank), ada pula yang membalut tubuhnya dengan bendera Slank.



Foto: Hendra Krisdianto

Di lain hal, banyak pula pedagang yang memanfaatkan kesempatan tersebut sebagai lahan laba untuk menghidupi asap dapur mereka. Dari mulai menjajakan baju, foto personil band, bendera, jam tangan, gelang dan slayer.

Sebuah Industri, Komoditas dan Kelas-kelas Pemberhalaan.

Industri dan komoditas merupakan subjek-objek yang bekerja secara dialektis dalam proses produksi. Dimana suatu industri tidak dapat hidup tanpa adanya komoditas yang bisa dijual. Dan begitu juga sebaliknya, komoditas merupakan produk yang dihasilkan oleh industri. Dengan kata lain, komoditas merupakan buah dari sebatang pohon industri.

Setiap sektor yang telah di-industri-kan mau tak mau akan menjadi komoditas yang nantinya akan diperjual-belikan. Satu di antaranya dalam dunia musik. Seniman yang berada dalam industri musik kebanyakan (hanya) akan bekerja karena tuntutan pasar yang ada. Seperti menciptakan genre dan lirik yang sesuai dengan permintaan pasar. Band yang tidak mengikuti arus pasar dipastikan akan memiliki pendengar yang sedikit.


foto2 jepretan @kikiepea extra zoom non cropp anti landscape
Dalam kasus “Soundrenaline” sangat terlihat seberapa besar dominasi band yang telah memiliki Track-Record terbanyak dalam dunia musik Indonesia. Hal tersebut berbanding terbalik dengan band yang hanya muncul karena adanya keinginan untuk menciptakan karya. Tidak melulu berproduksi mengikuti permintaan pasar.

Dalam paragraf sebelumnya telah dijelaskan bahwa Soundrenaline menjadi kesempatan yang baik bagi para pedagang untuk menjajakan dagangannya. Hal tersebut menjadi petanda “creative-comodity” untuk menciptakan komoditas baru yang sesuai dengan orientasi pasar (musik). Apa yang berkaitan dengan band-band tenar diolah menjadi satu bentuk komoditas baru, yang kemudian akan diperjual-belikan dan menghasilkan laba bagi para pemilik modal.


Foto : Hendra Krisdianto
Sementara itu, tercipta pula eksklusivitas bagi beberapa band yang bermain di acara tersebut. Ekslusivitas yang dimaksud disini adalah tiap band memiliki fans yang berbeda latangbelakang. Sebutlah The SIGIT yang mana memiliki fans anak SMA dan mahasiswa kelas menengah-atas. Berbeda dengan Slank yang memiliki fans dari beragam kalangan. Anak muda, dan orang-orang tua. Kaya ataupun papa. THE SIGIT tampil sebagai band yang diekslusifkan dari suatu kultur ‘fans’ bahwa ia sebagian besar adalah milik menengah-atas.

Hal tersebut dimungkinkan terjadi sebab setiap band lahir dengan sejarah yang berbeda-beda. Bagaimana band tersebut tumbuh dan kalangan manakah yang dijadikan sasaran bermusik oleh mereka. Sasaran THE SIGIT yang mayoritas adalah SMA- mahasiswa dapat terlihat dari semangat musik dan lirik yang diciptakannya. Berbeda dengan Slank sekarang yang lebih menyoroti permasalahan sosial. Tak heran jika ia dikatakan salahsatu band yang dekat dengan rakyat biasa kebanyakan.

The SIGIT | foto: Hendra Krisdianto
Band favorite menjadi icon pemberhalaan yang terus-menerus dipuja. Pemberhala-pemberhala baru akan selalu dihasilkan sebanding dengan track record dan keterkenalan dari band tersebut. Menjadi terkenal ataupun tidak terkenal berada dalam cengkraman pasar musik. Sebab pasarlah yang memegang kendali dari lajunya pemasaran dari karya tersebut.

Kelas-kelas pemberhalaan muncul sebagai akibat dari proses pemberhalaan yang dilakukan oleh para fans. Bagaimana seorang fans berusaha menyatakan kecintaannya terhadap band-band yang diberhalakan. Dengan cara dan rupa yang berbeda, fans suatu ‘band’ menghasilkan kelompok kelas yang berbeda-beda.
Kelas atas merupakan kelas yang memuja band kesayangannya dengan cara mengabadikan melalui foto bersama. Hal ini dikarenakan mereka memiliki kuasa atas kepemilikan alat produksi suatu gambar, yaitu kamera. Foto bersama dianggap sebagai bukti otentik akan kecintaan fans terhadap suatu band. Senada dengan kritikan Karen Strassler bahwa foto menjadi satu benda yang diberhalakan.

JRX SID & Endank Soekamti | Foto: @kikiepea
Dory Soekamti | foto: @kikiepea anti cropping
Yang kedua adalah kelas bawah. Kelas tersebut cenderung bersifat lebih berani untuk menyamai band yang mereka sukai. Sebab, mereka yang tidak memiliki kamera dianggap tidak memiliki bukti otentik bahwa dia adalah seorang ‘fans’. Sehingga mereka berusaha untuk meng-otentik-kan diri dengan menyamai band yang mereka suka. Dua kelas pemberhalaan tersebut melebur ketika band yang mereka sama-sama sukai pentas di atas panggung. Sebab, apa yang ingin mereka lakukan adalah menyembah dengan cara bernyanyi dan berteriak bersama-sama. (*)

Watch Your Step | Foto: @kikiepea


@ghembrang adalah Anak Seribu Pulau asal Randublatung, Blora, Jawa Tengah yang tengah menempuh pendidikan antropologi di Yogyakarta. Ketertarikannya pada sosial, politik, budaya, filsafat, dan musik keras membuat The Tribune Rockers memintanya untuk menulis perihal ini.


Friedrich Nietzsche (mungkin) adalah prototipe bagi hipster modern, dia juga adalah filsuf yang telah mendeklarasikan Kematian Tuhan, dan melihat bahwa agama adalah sistem yang digunakan penguasa untuk mengontrol masyarakat


disunting oleh @kikiepea

No comments:

Post a Comment

Featured